Hukum Kasih dari
Matius 22: 37-40 sering disebut-sebut sebagai penggenapan Hukum Taurat, yakni "Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum
yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan
kitab para nabi”. Menarik melihat dalam Hukum Kasih ini, Yesus mengatakan bahwa
mengasihi sesamamu manusia sama dengan mengasihi Tuhan, Allahmu. Seorang filsuf
beraliran psikoanalisis, Sigmund Freud, mengatakan bahwa panggilan untuk “mengasihi
sesamamu seperti dirimu sendiri” adalah salah satu dari prinsip-prinsip dasar
kehidupan yang beradab. Dengan demikian, orang-orang tidak boleh mementingkan
kepentingan pribadi dan mencari kesenangannya sendiri.
Bagaimana Zygmunt Bauman melihat hal visi GKP, “Menjadi
Gereja Bagi Sesama” dalam kacamata pemikiran On the Difficulty of Loving Thy Neighbour dalam bukunya yang
berjudul Liquid Love?
Pemikiran
Bauman Mengenai Mengasihi Sesama
Ketika Freud menulis, “Kasihi
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, ia sebenarnya melontarkan sebuah
pemikiran yang mengulangan ajaran dari Yesus. Ajaran atau pemikiran itu mungkin
masuk akal dan dapat dianut, dan telah dilakukan peradaban, terlepas dari
timbulnya pemahaman peradaban tentang pengejaran kebahagiaan. Namun, banyak
juga orang ketika membaca atau mendengar tentang ajaran atau pemikiran ini,
maka bertanya-tanya, “mengapa aku harus melakukan itu? apa yang baik jika aku
melakukan itu?” (Bauman 2003, 77). Salah satu hal yang penting untuk mengasihi
sesama adalah dengan memastikan bahwa mereka layak untuk dikasihi. Kelayakan
itu, menurut Bauman, dapat diketahui ketika mereka lebih sempurna daripada kita
sehingga kita dapat mencintai diri kita di dalam sesama kita sebagaimana
idealnya cinta. Namun, ini semua tidak dapat dengan mudah dilakukan, ketika
sesama itu adalah “yang asing” bagi kita, yang tidak kita kenal sama sekali;
sehingga kita tidak bisa melihat signifikansi diri kita di dalam dirinya dan ia mungkin telah diperoleh untuk kehidupan
emosional saya. Untuk bisa merealisasikan kasih kepada “yang asing” itu, mereka
harus memiliki daya tarik untuk menarik kita dengan penilaian sendiri (Bauman
2003, 77).
Freud mengatakan bahwa apa titik
poin dari ajaran yang tercantum dengan kesungguhan yang begitu banyak jika
penggenapannya tidak dapat dianjurkan sebagai hasil yang masuk akal?’. Satu
jawaban yang dapat disimpulkan adalah mencintai sesama adalah perintah yang
sangat tepat melalui fakta bahwa tidak ada jalan lain sebagai bandingan kuat
dengan sifat asli manusia (Bauman 2003, 78). Dalam sub bab buku Liquid Love, Bauman mengatakan bahwa mengasihi
sesama mungkin memerlukan lompatan iman, hasilnya adalah lahirnya tindakan kemanusiaan.
Itu juga merupakan bagian naas dari naluri kelangsungan hidup dengan moralitas.
Mengasihi sesama seperti diri
sendiri, secara implisit menyatakan bahwa cinta diri merupakan satu kerumitan
yang ada. Cinta-diri adalah sikap kelangsungan hidup, dan kelangsungan hidup
tidak membutuhkan perintah. Mengasihi sesama seperti diri sendiri membuat
kelangsungan hidup manusia tidak seperti kelangsungan hidup mahkluk hidup lain.
Eksistensi cinta diri menjadi pembeda bagi kelangsungan hidup manusia dengan
binatang. Persepsi untuk mencintai sesama menantang dan menentang insting yang
ditetapkan oleh alam, tetapi juga menantang dan menentang makna hidup yang
ditetapkan oleh alam, dan cinta diri yang melindungi itu (Bauman 2003, 79).
Bauman juga menyatakan dalam sub bab lainnya,
bahwa mencintai sesama
mungkin bukan produk pokok dari insting kelangsungan hidup tetapi cinta-diri,
dipilih sebagai model cinta terhadap sesama, seperti sebuah produk. Memang
benar bahwa cinta-diri mendorong kita untuk "tetap hidup", berusaha
keras untuk tetap
hidup agar menjadi
lebih baik atau menjadi
lebih buruk, untuk melawan dan bertikai kembali, melawan apapun yang mungkin
mengancam yang sebelum waktunya atau melawan akhir yang mendadak dari
kehidupan, dan untuk melindungi, atau tetap lebih baik menaikan kemampuan kita
dan tenaga untuk membuat daya tahan yang efektif (Bauman 2003,
79).
Kelangsungan hidup tidak dapat
terjadi tanpa cinta-diri. Cinta-diri mendorong kita untuk mengundang bahaya dan
menyambut ancaman. Cinta-diri dapat mendorong kita untuk menolak kehidupan yang
akan menjadi standar cinta kita. Menurut Bauman, supaya memiliki Cinta-diri,
kita perlu menjadi yang dicintai. Cinta-diri dibangun di luar cinta yang
ditawarkan untuk kita melalui yang lain. Orang lain harus mengasihi kita lebih
dulu, begitu juga kita dapat memulainya dengan mengasihi diri kita. Mengasihi
sesama kita seperti kita mengasihi diri kita sendiri akan berarti kemudian
melonjak naik menjadi sebuah bentuk penghormatan atas keunikan tiap orang lain
(Bauman 2003, 80).
Menjadi
Gereja Bagi Sesama: Visi Gereja Kristen Pasundan
GKP Menjadi Gereja
Bagi Sesama, merupakan visi dari Gereja Kristen Pasundan yang diusung setelah
Sidang Sinode GKP tahun 2007 silam. Yang dimaksudkan sebagai visi adalah suatu
keadaan atau situasi yang berbeda dan lebih baik dari keadaan saat ini dan
bagaimana usaha untuk mencapainya. Visi juga dapat diartikan sebagai lampu
jarak jauh yang dapat memberian arah untuk setiap upaya. Visi tidak hanya
sebuah ide, tetapi juga sebagai gambaran mengenai masa depan dan masa sekarang.
Visi, sebagai cakrawala pandangan bersama dari keseluruhan warga GKP selaku
persekutuan, merupakan penglihatan yang menyingkapkan keadaan dan peran GKP
selaku pribadi-pribadi dan persekutuan yang ditempatkan Tuhan untuk hadir dan
berkarya dalam konteks ruang dan waktu (Sairoen 2007, 64).
Dalam memahami visi GKP, perhatian tidak hanya sebatas
menyingkapkan keberadaan dan peran seluruh bagian internal GKP semata, tetapi
juga menyingkapkan keberadaan dan peran GKP dalam korelasi dengan lingkungannya
sebagai bagian utuh dari gereja Tuhan yang kudus dan am (oikumenis) dan sebagai
bagian yang utuh dari suatu masyarakat bangsa di dalam segala arasnya (Sairoen 2007,
64). Visi menjadi Gereja Bagi Sesama dicanangkan GKP dengan merujuk pada
hakekat gereja yang merupakan persekutuan umat Allah atau persekutuan umat
milik Allah yang diutus ke dalam dunia (Sinode GKP 2007, 62).
Atas visi yang diusung GKP ini, beberapa jemaat GKP kemudian memiliki pertanyaan dari visi yang
diserukan GKP pada tahun 2007 silam, yakni “siapa sesama yang dimaksudkan?”.
Yonky Karman, dalam tulisannya yang berjudul Gereja Bagi Sesama dalam buku Merentang Sejarah, Memaknai Kemandirian:
Menjadi Gereja Bagi Sesama, menjelaskan melalui pemahaman biblisnya, bahwa
Yesus mengoreksi pertanyaan keliru para Ahli Taurat, “Siapakah sesamaku
manusia?” karena pertanyaan itu mengasumsikan pengelompokan primordial di antara
manusia berdasarkan etnisitas atau agama. Pengelompokan seperti itu memengaruhi
sikap kita terhadap orang lain. Itulah kecenderungan primordial manusia.
Seharusnya, kita menjadi sesama bagi siapa saja sebagai sama-sama makhluk
ciptaan Allah. Kita harus menemui orang lain sebagai sesama dalam perjumpaan
yang konkret (Karman 2009, 7)
Dalam mewujudkan visi ini, GKP harus memiliki kesadaran
berbagai kenyataan yang ada dan yang terjadi di sekitarnya maupun di dalam GKP
sendiri. Kenyataan di sekitar GKP dapat berupa keadaan jaman dengan berbagai
realitanya, dapat pula berupa hadirnya berbagai lembaga, komunitas dan
sebagainya yang dapat bekerja sama tapi juga dapat berseberangan dengan GKP.
Hal ini mengingatkan dan menyadarkan warga jemaat GKP, bagaimana upaya untuk
berperan, membangun, dan menyumbang dalam hidup kebersamaan sebagai masyarakat
yang majemuk. Kenyataan di dalam diri GKP sendiri dapat berupa
keterbatasan-keterbatasan maupun kekuatan-kekuatan dalam berbagai aspeknya,
yakni teologi, daya, dana, dan aspek yang lainnya. Berbagai kenyataan itu harus
disadari, bahkan lebih dari itu, harus dikelola demi pencapaian atau perwujudan
visi (Sinode GKP 2007, 63).
Visi GKP “Menjadi Gereja Bagi Sesama” ini selaras dengan
dan sekaligus merupakan visi oikumenis global hasil perenungan gereja-gereja se
dunia dalam Sidang Raya DGD (WCC) di Porto Alegre, Brasil, Februari 2006. Hal
ini sejalan pula dengan visi dan misi PGI sebagaimana tertuang dalam Dokumen
Keesaan Gereja khususnya dalam Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama
Gereja-gereja di Indonesia, di Palangkaraya, tahun 2000. Dengan cvisi bergereja
seperti inilah, maka kesadaran terhadap semua kenyataan yang menyekitari GKP,
baik kenyataan oikumenis maupun kenyataan masyarakat, merupakan bagian dari
upaya GKP untuk memahami dan memaknai kehadirannya serta keberadaannya sebagai
gereja yang harus setia dan bersungguh-sungguh mewujudkan panggilannya. Oleh
karena itu kesadaran terhadap semua kenyataan yang menyekitari GKP ini harus dipahami
dan dihayati sebagai kemauan segenap bagian GKP untuk memaknai secara nyata tri
wawasan dan tri kemandirian GKP yang sejalan dengan visi GKP mulai tahun 2007
(Sinode GKP 2007, 64).
Visi
GKP dalam Kacamata Zygmunt Bauman
“Menjadi Gereja
Bagi Sesama” merupakan perwujudan mengasihi sesama manusia. Majelis Sinode GKP,
secara tidak sengaja menyusun visi GKP serupa dengan pemikiran Zygmunt Bauman.,
karena saya tidak menemukan di referensi manapun filosofis Bauman dipakai oleh
GKP. GKP mau mencoba menembus batas kebudayaan GKP yang hanya memikirkan
masalah ke-GKP-an. GKP berusaha merambah sisi oikumene dengan mengusung visi
ini.
Melalui visi ini, GKP secara sinodal, “dipaksa” untuk
mengasihi “yang asing”, menjadi perekutuan yang terbuka bukan hanya bagi sesama
GKP, sesama anggota PGI, sesama orang Kristen Protestan, tetapi juga sesama
“yang asing” bagi GKP; menjadi gereja bagi “yang asing” itu; menghormati
mereka, “yang asing”, dalam keunikannya; dan mengasihi mereka, “yang asing”
dengan selalu melihat bahwa mereka juga memiliki potensi yang lebih besar dari
kita.
Analisis
Perwujudan Visi GKP
Menjadi Gereja
Bagi Sesama, adalah visi konkret yang coba dijalani oleh GKP sebagai sebuah
persekutuan umat Kristen. Terkait dengan pemikiran Bauman mengenai mengasihi
sesama, GKP secara tertulis melalui Rencana Kerja Dasar tahun 2007 memahami
sesama yang dimaksudkan ialah juga “yang asing” bagi GKP, yakni lembaga,
komunitas dan sebagainya yang “berseberangan” dengan GKP. GKP tidak menutup
diri dari “yang asing” dan tetap mengasihi “yang asing” itu seperti diri GKP
sendiri. Visi ini diwujudkan oleh salah satu jemaat GKP yakni GKP Jemaat Tanah
Tinggi. GKP Jemaat Tanah Tinggi, dalam rangka mewujudkan arti “Menjadi Gereja
Bagi Sesama”, jemaat melalui Majelis Jemaat pada Juni 2010 membuka ibadah sore.
Ibadah ini sejak semula dimaksudkan untuk umum, artinya tidak terbatas bagi
anggota jemaat GKP Tanah Tinggi saja, dan karena itu sudah dipikirkan bahwa
ibadah ini akna bersifat ekumenis. Pada akhirnya, ibadah ini menjadi ibadah
ekumenis bagi orang-orang Kristen yang termarjinalkan (Pattianakotta 2013,
92).
Perwujudan “Menjadi Gereja Bagi Sesama” yang dilakukan
oleh GKP Jemaat Tanah Tinggi memang belum terlalu luas cakupannya, karena masih
terhadap sesama orang Kristen. Namun, perlu diingat bahwa mereka adalah “yang
asing” dalam jemaat GKP Tanah Tinggi. Bauman mengatakan memang sulit untuk
mengasihi “yang asing” itu, oleh sebab itu diperlukanlah daya tarik dari “yang
asing” itu untuk bisa mewujudkan kasih terhadap mereka. Ketertarikan yang
dilihat oleh Jemaat GKP Jemaat Tanah Tinggi adalah bahwa mereka, “yang asing”
itu, adalah kelompok-kelompok Kristen yang termarjinalkan. Mereka adalah para
pemulung dan pedagang kaki lima di sekitar kawasan Tanah Tinggi yang kumuh itu.
Rata-rata dari mereka tidak dilayani oleh beberapa gereja, sehingga yang
terjadi adalah mereka beribadah di rumah-rumah yang mau terbuka bagi mereka. GKP
Jemaat Tanah Tinggi merasa bahwa mereka, “yang asing” itu, layak untuk
dikasihi, bukan dikasihani.
Mereka tidak hanya “asing” karena bukan bagian dari
jemaat GKP Tanah Tinggi, tetapi juga karena mereka berseberangan dari cara
beribadah GKP. GKP Jemaat Tanah Tinggi yang biasa beribadah secara khusyuk mau menerima mereka yang
beribadah dengan gerakan-gerakan tubuh yang jarang dilakukan saat beribadah di
GKP Jemat Tanah Tinggi, misalnya bertepuk tangan, bersorak “Haleluya”, dan lain
sebagainya. GKP, seperti yang Bauman katakan, mengasihi mereka sebagai sesama
dengan menerima keunikan mereka. GKP Jemaat Tanah Tinggi menghormati keunikan
mereka dengan tidak memaksakan kebiasaan GKP Jemaat Tanah Tinggi yang beribadah
secara khusyuk dan memandang keunikan
itu sebagai suatu kelebihan yang mereka miliki dalam hal penyembahan terhadap
Tuhan.
Gereja Kristen Pasundan, dalam perwujudan visinya masih
bergelut dengan perkembangan masyarakat yang terjadi. Beberapa jemaat GKP masih
menentukan pra-syarat untuk mengasihi “yang asing” itu, belum bisa menghormati
keunikan dari “yang asing” itu. Secara terkhusus belum semua jemaat di GKP bisa
mewujudkan “Menjadi Gereja Bagi Sesama”, terkhusus menjadi gereja bagi “yang
asing” dalam kacamata Zygmunt Bauman.
DAFTAR ACUAN
Bauman, Zygmunt. 2003. Liquid Love. USA: Blackwell Publishing
Inc.
Karman, Yonky. 2009. “Gereja Bagi Sesama.” Dalam Merentang
Sejarah, Memaknai Kemandirian:
Menjadi Gereja Bagi Sesama, oleh Onesimus Dani, Daryatno Supriatno. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Pattianakotta,
Hariman Andrey. 2013. Melihat Masa Lampau
dan Menatap Masa Depan di Kekinian
Waktu: Riwayat 75 Tahun Gereja Kristen Pasundan Jemaat Bethani Tanah Tinggi Jakarta. Jakarta: Biro
Penerbitan, Penelitian, dan Pengembangan GKP Bethani Tanah Tinggi.
Sairoen, Toto Lukito.
2007. Profil Gereja Kristen Pasundan
Dalam Perspektif Kemandirian Teologi,
Daya, dan Dana. Bandung: Badan Binalitbang GKP
Sinode GKP, Majelis.
2007. Buku Himpunan Keputusan-keputusan
Sidang Raya Sinode XXVI Gereja Kristen
Pasundan dan Rencana Kerja Dasar Gereja Kristen Pasundan Tahun Pelayanan 2007-2012. Bandung:
Majelis Sinode Gereja Kristen Pasundan.
Shalom bapak, ibu dan saudara/i yang dikasihi oleh Tuhan. Apakah ada diantara bapak, ibu maupun saudara/i yang pernah mendengar tentang Shema Yisrael dan V'ahavta? Kalimat pernyataan keesaan YHWH ( Adonai/ Hashem ) dan perintah untuk mengasihiNya yang dapat kita temukan dalam Ulangan/ דברים/ Devarim 6 : 4 - 6 yang juga pernah dikutip oleh Yeshua/ ישוע/ Yesus di dalam Injil khususnya dalam Markus 12 : 29 - 31, sementara perintah untuk mengasihi sesama manusia dapat kita temukan dalam Imamat/ ויקרא/ Vayikra 19 : 18. Mari kita pelajari cara membacanya satu-persatu seperti yang akan dijabarkan di bawah ini :
ReplyDeleteUlangan/ דברים/ Devarim 6 : 4 - 6, " שְׁמַ֖ע יִשְׂרָאֵ֑ל יְהֹוָ֥ה אֱלֹהֵ֖ינוּ יְהֹוָ֥ה ׀ אֶחָֽד׃. וְאָ֣הַבְתָּ֔ אֵ֖ת יְהֹוָ֣ה אֱלֹהֶ֑יךָ בְּכׇל־לְבָבְךָ֥ וּבְכׇל־נַפְשְׁךָ֖ וּבְכׇל־מְאֹדֶֽךָ׃. "
Cara membacanya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani yang berlaku, " Shema Yisrael! YHWH [ Adonai ] Eloheinu, YHWH [ Adonai ] ekhad. V'ahavta e YHWH [ Adonai ] Eloheikha bekol levavkha uvkol nafshekha uvkol me'odekha
Imamat/ ויקרא/ Vayikra 19 : 18, " וְאָֽהַבְתָּ֥ לְרֵעֲךָ֖ כָּמ֑וֹךָ. "
Cara membacanya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani yang berlaku, " V'ahavta l'reakha kamokha "
Untuk artinya dapat dilihat pada Alkitab LAI.
Diucapkan juga kalimat berkat seperti ini setelah diucapkannya Shema
" . בָּרוּךְ שֵׁם כְּבוֹד מַלְכוּתוֹ לְעוֹלָם וָעֶד. "
( Barukh Shem kevod malkuto, le'olam va'ed, artinya Diberkatilah Nama yang mulia, KerajaanNya untuk selamanya )
🕎✡️🐟🤚🏻👁️📜✍🏼🕯️❤️🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️⚓🕍✝️🗺️🌫️☀️🌒⚡🌈🌌🔥💧🌊🌬️❄️🌱🌾🍇🍎🍏🌹🍷🥛🍯🦁🦅🐂🐏🐑🐎🦌🐪🕊️🐍₪🇮🇱