Monday, December 16, 2013

“Menjadi Gereja Bagi Sesama”: Telaah Perwujudan Visi GKP Melalui Kacamata Zygmunt Bauman

            Hukum Kasih dari Matius 22: 37-40 sering disebut-sebut sebagai penggenapan Hukum Taurat, yakni "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi”. Menarik melihat dalam Hukum Kasih ini, Yesus mengatakan bahwa mengasihi sesamamu manusia sama dengan mengasihi Tuhan, Allahmu. Seorang filsuf beraliran psikoanalisis, Sigmund Freud,  mengatakan bahwa panggilan untuk “mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri” adalah salah satu dari prinsip-prinsip dasar kehidupan yang beradab. Dengan demikian, orang-orang tidak boleh mementingkan kepentingan pribadi dan mencari kesenangannya sendiri.
            Bagaimana Zygmunt Bauman melihat hal visi GKP, “Menjadi Gereja Bagi Sesama” dalam kacamata pemikiran On the Difficulty of Loving Thy Neighbour dalam bukunya yang berjudul Liquid Love?
Pemikiran Bauman Mengenai Mengasihi Sesama
            Ketika Freud menulis, “Kasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, ia sebenarnya melontarkan sebuah pemikiran yang mengulangan ajaran dari Yesus. Ajaran atau pemikiran itu mungkin masuk akal dan dapat dianut, dan telah dilakukan peradaban, terlepas dari timbulnya pemahaman peradaban tentang pengejaran kebahagiaan. Namun, banyak juga orang ketika membaca atau mendengar tentang ajaran atau pemikiran ini, maka bertanya-tanya, “mengapa aku harus melakukan itu? apa yang baik jika aku melakukan itu?” (Bauman 2003, 77). Salah satu hal yang penting untuk mengasihi sesama adalah dengan memastikan bahwa mereka layak untuk dikasihi. Kelayakan itu, menurut Bauman, dapat diketahui ketika mereka lebih sempurna daripada kita sehingga kita dapat mencintai diri kita di dalam sesama kita sebagaimana idealnya cinta. Namun, ini semua tidak dapat dengan mudah dilakukan, ketika sesama itu adalah “yang asing” bagi kita, yang tidak kita kenal sama sekali; sehingga kita tidak bisa melihat signifikansi diri kita di dalam dirinya dan  ia mungkin telah diperoleh untuk kehidupan emosional saya. Untuk bisa merealisasikan kasih kepada “yang asing” itu, mereka harus memiliki daya tarik untuk menarik kita dengan penilaian sendiri (Bauman 2003, 77).
            Freud mengatakan bahwa apa titik poin dari ajaran yang tercantum dengan kesungguhan yang begitu banyak jika penggenapannya tidak dapat dianjurkan sebagai hasil yang masuk akal?’. Satu jawaban yang dapat disimpulkan adalah mencintai sesama adalah perintah yang sangat tepat melalui fakta bahwa tidak ada jalan lain sebagai bandingan kuat dengan sifat asli manusia (Bauman 2003, 78). Dalam sub bab buku Liquid Love, Bauman mengatakan bahwa mengasihi sesama mungkin memerlukan lompatan iman, hasilnya adalah lahirnya tindakan kemanusiaan. Itu juga merupakan bagian naas dari naluri kelangsungan hidup dengan moralitas.
            Mengasihi sesama seperti diri sendiri, secara implisit menyatakan bahwa cinta diri merupakan satu kerumitan yang ada. Cinta-diri adalah sikap kelangsungan hidup, dan kelangsungan hidup tidak membutuhkan perintah. Mengasihi sesama seperti diri sendiri membuat kelangsungan hidup manusia tidak seperti kelangsungan hidup mahkluk hidup lain. Eksistensi cinta diri menjadi pembeda bagi kelangsungan hidup manusia dengan binatang. Persepsi untuk mencintai sesama menantang dan menentang insting yang ditetapkan oleh alam, tetapi juga menantang dan menentang makna hidup yang ditetapkan oleh alam, dan cinta diri yang melindungi itu (Bauman 2003, 79).
            Bauman juga menyatakan dalam sub bab lainnya, bahwa mencintai sesama mungkin bukan produk pokok dari insting kelangsungan hidup tetapi cinta-diri, dipilih sebagai model cinta terhadap sesama, seperti sebuah produk. Memang benar bahwa cinta-diri mendorong kita untuk "tetap hidup", berusaha keras untuk tetap hidup agar menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk, untuk melawan dan bertikai kembali, melawan apapun yang mungkin mengancam yang sebelum waktunya atau melawan akhir yang mendadak dari kehidupan, dan untuk melindungi, atau tetap lebih baik menaikan kemampuan kita dan tenaga untuk membuat daya tahan yang efektif (Bauman 2003, 79).
            Kelangsungan hidup tidak dapat terjadi tanpa cinta-diri. Cinta-diri mendorong kita untuk mengundang bahaya dan menyambut ancaman. Cinta-diri dapat mendorong kita untuk menolak kehidupan yang akan menjadi standar cinta kita. Menurut Bauman, supaya memiliki Cinta-diri, kita perlu menjadi yang dicintai. Cinta-diri dibangun di luar cinta yang ditawarkan untuk kita melalui yang lain. Orang lain harus mengasihi kita lebih dulu, begitu juga kita dapat memulainya dengan mengasihi diri kita. Mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri kita sendiri akan berarti kemudian melonjak naik menjadi sebuah bentuk penghormatan atas keunikan tiap orang lain (Bauman 2003, 80).
Menjadi Gereja Bagi Sesama: Visi Gereja Kristen Pasundan
            GKP Menjadi Gereja Bagi Sesama, merupakan visi dari Gereja Kristen Pasundan yang diusung setelah Sidang Sinode GKP tahun 2007 silam. Yang dimaksudkan sebagai visi adalah suatu keadaan atau situasi yang berbeda dan lebih baik dari keadaan saat ini dan bagaimana usaha untuk mencapainya. Visi juga dapat diartikan sebagai lampu jarak jauh yang dapat memberian arah untuk setiap upaya. Visi tidak hanya sebuah ide, tetapi juga sebagai gambaran mengenai masa depan dan masa sekarang. Visi, sebagai cakrawala pandangan bersama dari keseluruhan warga GKP selaku persekutuan, merupakan penglihatan yang menyingkapkan keadaan dan peran GKP selaku pribadi-pribadi dan persekutuan yang ditempatkan Tuhan untuk hadir dan berkarya dalam konteks ruang dan waktu (Sairoen 2007, 64).
            Dalam memahami visi GKP, perhatian tidak hanya sebatas menyingkapkan keberadaan dan peran seluruh bagian internal GKP semata, tetapi juga menyingkapkan keberadaan dan peran GKP dalam korelasi dengan lingkungannya sebagai bagian utuh dari gereja Tuhan yang kudus dan am (oikumenis) dan sebagai bagian yang utuh dari suatu masyarakat bangsa di dalam segala arasnya (Sairoen 2007, 64). Visi menjadi Gereja Bagi Sesama dicanangkan GKP dengan merujuk pada hakekat gereja yang merupakan persekutuan umat Allah atau persekutuan umat milik Allah yang diutus ke dalam dunia (Sinode GKP 2007, 62).
            Atas visi yang diusung GKP ini, beberapa jemaat GKP  kemudian memiliki pertanyaan dari visi yang diserukan GKP pada tahun 2007 silam, yakni “siapa sesama yang dimaksudkan?”. Yonky Karman, dalam tulisannya yang berjudul Gereja Bagi Sesama dalam buku Merentang Sejarah, Memaknai Kemandirian: Menjadi Gereja Bagi Sesama, menjelaskan melalui pemahaman biblisnya, bahwa Yesus mengoreksi pertanyaan keliru para Ahli Taurat, “Siapakah sesamaku manusia?” karena pertanyaan itu mengasumsikan pengelompokan primordial di antara manusia berdasarkan etnisitas atau agama. Pengelompokan seperti itu memengaruhi sikap kita terhadap orang lain. Itulah kecenderungan primordial manusia. Seharusnya, kita menjadi sesama bagi siapa saja sebagai sama-sama makhluk ciptaan Allah. Kita harus menemui orang lain sebagai sesama dalam perjumpaan yang konkret (Karman 2009, 7)
            Dalam mewujudkan visi ini, GKP harus memiliki kesadaran berbagai kenyataan yang ada dan yang terjadi di sekitarnya maupun di dalam GKP sendiri. Kenyataan di sekitar GKP dapat berupa keadaan jaman dengan berbagai realitanya, dapat pula berupa hadirnya berbagai lembaga, komunitas dan sebagainya yang dapat bekerja sama tapi juga dapat berseberangan dengan GKP. Hal ini mengingatkan dan menyadarkan warga jemaat GKP, bagaimana upaya untuk berperan, membangun, dan menyumbang dalam hidup kebersamaan sebagai masyarakat yang majemuk. Kenyataan di dalam diri GKP sendiri dapat berupa keterbatasan-keterbatasan maupun kekuatan-kekuatan dalam berbagai aspeknya, yakni teologi, daya, dana, dan aspek yang lainnya. Berbagai kenyataan itu harus disadari, bahkan lebih dari itu, harus dikelola demi pencapaian atau perwujudan visi (Sinode GKP 2007, 63).
            Visi GKP “Menjadi Gereja Bagi Sesama” ini selaras dengan dan sekaligus merupakan visi oikumenis global hasil perenungan gereja-gereja se dunia dalam Sidang Raya DGD (WCC) di Porto Alegre, Brasil, Februari 2006. Hal ini sejalan pula dengan visi dan misi PGI sebagaimana tertuang dalam Dokumen Keesaan Gereja khususnya dalam Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama Gereja-gereja di Indonesia, di Palangkaraya, tahun 2000. Dengan cvisi bergereja seperti inilah, maka kesadaran terhadap semua kenyataan yang menyekitari GKP, baik kenyataan oikumenis maupun kenyataan masyarakat, merupakan bagian dari upaya GKP untuk memahami dan memaknai kehadirannya serta keberadaannya sebagai gereja yang harus setia dan bersungguh-sungguh mewujudkan panggilannya. Oleh karena itu kesadaran terhadap semua kenyataan yang menyekitari GKP ini harus dipahami dan dihayati sebagai kemauan segenap bagian GKP untuk memaknai secara nyata tri wawasan dan tri kemandirian GKP yang sejalan dengan visi GKP mulai tahun 2007 (Sinode GKP 2007, 64).
Visi GKP dalam Kacamata Zygmunt Bauman
            “Menjadi Gereja Bagi Sesama” merupakan perwujudan mengasihi sesama manusia. Majelis Sinode GKP, secara tidak sengaja menyusun visi GKP serupa dengan pemikiran Zygmunt Bauman., karena saya tidak menemukan di referensi manapun filosofis Bauman dipakai oleh GKP. GKP mau mencoba menembus batas kebudayaan GKP yang hanya memikirkan masalah ke-GKP-an. GKP berusaha merambah sisi oikumene dengan mengusung visi ini.
            Melalui visi ini, GKP secara sinodal, “dipaksa” untuk mengasihi “yang asing”, menjadi perekutuan yang terbuka bukan hanya bagi sesama GKP, sesama anggota PGI, sesama orang Kristen Protestan, tetapi juga sesama “yang asing” bagi GKP; menjadi gereja bagi “yang asing” itu; menghormati mereka, “yang asing”, dalam keunikannya; dan mengasihi mereka, “yang asing” dengan selalu melihat bahwa mereka juga memiliki potensi yang lebih besar dari kita.
Analisis Perwujudan Visi GKP
             Menjadi Gereja Bagi Sesama, adalah visi konkret yang coba dijalani oleh GKP sebagai sebuah persekutuan umat Kristen. Terkait dengan pemikiran Bauman mengenai mengasihi sesama, GKP secara tertulis melalui Rencana Kerja Dasar tahun 2007 memahami sesama yang dimaksudkan ialah juga “yang asing” bagi GKP, yakni lembaga, komunitas dan sebagainya yang “berseberangan” dengan GKP. GKP tidak menutup diri dari “yang asing” dan tetap mengasihi “yang asing” itu seperti diri GKP sendiri. Visi ini diwujudkan oleh salah satu jemaat GKP yakni GKP Jemaat Tanah Tinggi. GKP Jemaat Tanah Tinggi, dalam rangka mewujudkan arti “Menjadi Gereja Bagi Sesama”, jemaat melalui Majelis Jemaat pada Juni 2010 membuka ibadah sore. Ibadah ini sejak semula dimaksudkan untuk umum, artinya tidak terbatas bagi anggota jemaat GKP Tanah Tinggi saja, dan karena itu sudah dipikirkan bahwa ibadah ini akna bersifat ekumenis. Pada akhirnya, ibadah ini menjadi ibadah ekumenis bagi orang-orang Kristen yang termarjinalkan (Pattianakotta 2013, 92). 
            Perwujudan “Menjadi Gereja Bagi Sesama” yang dilakukan oleh GKP Jemaat Tanah Tinggi memang belum terlalu luas cakupannya, karena masih terhadap sesama orang Kristen. Namun, perlu diingat bahwa mereka adalah “yang asing” dalam jemaat GKP Tanah Tinggi. Bauman mengatakan memang sulit untuk mengasihi “yang asing” itu, oleh sebab itu diperlukanlah daya tarik dari “yang asing” itu untuk bisa mewujudkan kasih terhadap mereka. Ketertarikan yang dilihat oleh Jemaat GKP Jemaat Tanah Tinggi adalah bahwa mereka, “yang asing” itu, adalah kelompok-kelompok Kristen yang termarjinalkan. Mereka adalah para pemulung dan pedagang kaki lima di sekitar kawasan Tanah Tinggi yang kumuh itu. Rata-rata dari mereka tidak dilayani oleh beberapa gereja, sehingga yang terjadi adalah mereka beribadah di rumah-rumah yang mau terbuka bagi mereka. GKP Jemaat Tanah Tinggi merasa bahwa mereka, “yang asing” itu, layak untuk dikasihi, bukan dikasihani.
            Mereka tidak hanya “asing” karena bukan bagian dari jemaat GKP Tanah Tinggi, tetapi juga karena mereka berseberangan dari cara beribadah GKP. GKP Jemaat Tanah Tinggi yang biasa beribadah secara khusyuk mau menerima mereka yang beribadah dengan gerakan-gerakan tubuh yang jarang dilakukan saat beribadah di GKP Jemat Tanah Tinggi, misalnya bertepuk tangan, bersorak “Haleluya”, dan lain sebagainya. GKP, seperti yang Bauman katakan, mengasihi mereka sebagai sesama dengan menerima keunikan mereka. GKP Jemaat Tanah Tinggi menghormati keunikan mereka dengan tidak memaksakan kebiasaan GKP Jemaat Tanah Tinggi yang beribadah secara khusyuk dan memandang keunikan itu sebagai suatu kelebihan yang mereka miliki dalam hal penyembahan terhadap Tuhan.
            Gereja Kristen Pasundan, dalam perwujudan visinya masih bergelut dengan perkembangan masyarakat yang terjadi. Beberapa jemaat GKP masih menentukan pra-syarat untuk mengasihi “yang asing” itu, belum bisa menghormati keunikan dari “yang asing” itu. Secara terkhusus belum semua jemaat di GKP bisa mewujudkan “Menjadi Gereja Bagi Sesama”, terkhusus menjadi gereja bagi “yang asing” dalam kacamata Zygmunt Bauman.
DAFTAR ACUAN
Bauman, Zygmunt. 2003. Liquid Love. USA: Blackwell Publishing Inc.
Karman, Yonky. 2009. “Gereja Bagi Sesama.” Dalam Merentang Sejarah, Memaknai        Kemandirian: Menjadi Gereja Bagi Sesama, oleh Onesimus Dani, Daryatno            Supriatno. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Pattianakotta, Hariman Andrey. 2013. Melihat Masa Lampau dan Menatap Masa Depan di          Kekinian Waktu: Riwayat 75 Tahun Gereja Kristen Pasundan Jemaat Bethani Tanah            Tinggi Jakarta. Jakarta: Biro Penerbitan, Penelitian, dan Pengembangan GKP Bethani            Tanah Tinggi.
Sairoen, Toto Lukito. 2007. Profil Gereja Kristen Pasundan Dalam Perspektif Kemandirian          Teologi, Daya, dan Dana. Bandung: Badan Binalitbang GKP

Sinode GKP, Majelis. 2007. Buku Himpunan Keputusan-keputusan Sidang Raya Sinode    XXVI Gereja Kristen Pasundan dan Rencana Kerja Dasar Gereja Kristen Pasundan        Tahun Pelayanan 2007-2012. Bandung: Majelis Sinode Gereja Kristen Pasundan. 

1 comment:

  1. Shalom bapak, ibu dan saudara/i yang dikasihi oleh Tuhan. Apakah ada diantara bapak, ibu maupun saudara/i yang pernah mendengar tentang Shema Yisrael dan V'ahavta? Kalimat pernyataan keesaan YHWH ( Adonai/ Hashem ) dan perintah untuk mengasihiNya yang dapat kita temukan dalam Ulangan/ דברים/ Devarim 6 : 4 - 6 yang juga pernah dikutip oleh Yeshua/ ישוע/ Yesus di dalam Injil khususnya dalam Markus 12 : 29 - 31, sementara perintah untuk mengasihi sesama manusia dapat kita temukan dalam Imamat/ ויקרא/ Vayikra 19 : 18. Mari kita pelajari cara membacanya satu-persatu seperti yang akan dijabarkan di bawah ini :

    Ulangan/ דברים/ Devarim 6 : 4 - 6, " שְׁמַ֖ע יִשְׂרָאֵ֑ל יְהֹוָ֥ה אֱלֹהֵ֖ינוּ יְהֹוָ֥ה ׀ אֶחָֽד׃. וְאָ֣הַבְתָּ֔ אֵ֖ת יְהֹוָ֣ה אֱלֹהֶ֑יךָ בְּכׇל־לְבָבְךָ֥ וּבְכׇל־נַפְשְׁךָ֖ וּבְכׇל־מְאֹדֶֽךָ׃. "

    Cara membacanya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani yang berlaku, " Shema Yisrael! YHWH [ Adonai ] Eloheinu, YHWH [ Adonai ] ekhad. V'ahavta e YHWH [ Adonai ] Eloheikha bekol levavkha uvkol nafshekha uvkol me'odekha

    Imamat/ ויקרא/ Vayikra 19 : 18, " וְאָֽהַבְתָּ֥ לְרֵעֲךָ֖ כָּמ֑וֹךָ. "

    Cara membacanya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani yang berlaku, " V'ahavta l'reakha kamokha "

    Untuk artinya dapat dilihat pada Alkitab LAI.

    Diucapkan juga kalimat berkat seperti ini setelah diucapkannya Shema

    " . בָּרוּךְ שֵׁם כְּבוֹד מַלְכוּתוֹ לְעוֹלָם וָעֶד. "
    ( Barukh Shem kevod malkuto, le'olam va'ed, artinya Diberkatilah Nama yang mulia, KerajaanNya untuk selamanya )

    🕎✡️🐟🤚🏻👁️📜✍🏼🕯️❤️🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️⚓🕍✝️🗺️🌫️☀️🌒⚡🌈🌌🔥💧🌊🌬️❄️🌱🌾🍇🍎🍏🌹🍷🥛🍯🦁🦅🐂🐏🐑🐎🦌🐪🕊️🐍₪🇮🇱

    ReplyDelete