Monday, March 3, 2014

Ikutilah Hati Nurani!

Studi Kasus
Dodi adalah seorang mahasiswa yang terkenal pendiam, namun ia disegani oleh teman-temannya. Suatu ketika, ada Ujian Tengah Semester. Dodi duduk di barisan ketiga dari depan. Dia duduk di sebelah Johan yang terkenal tukang mencontek. Ketika ujian berlangsung, Dodi berpikir keras untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian tersebut. Sementara pengawas sedang berkeliling untuk mengawasi jalannya ujian, Johan mencontek melalui catatan yang sudah ia tuliskan di tangannya sebelum ujian berlangsung. Melihat hal tersebut, Dodi bingung, apakah harus melaporkan perbuatan Johan kepada pengawas atau dia membiarkannya saja. Dodi terus memperhatikan tingkah laku Johan tanpa melaporkannya kepada pengawas ujian. Hati Dodi bergejolak ketika itu juga. Rasanya mulut dia bergetar ingin berbicara, namun ia tak mau dianggap sebagai tukang mengadu. Lagipula kalau sampai Johan gagal, ia pasti merasa sangat bersalah. Akhirnya Dodi memutuskan untuk bungkam. Kata hatinya tak diikuti, ia lebih memilih memainkan logikanya. Selesai ujian, Dodi pun terus memikirkan perbuatannya tadi yang memilih diam dan tidak mengatakan yang sesungguhnya tentang perbuatan Johan. Ia merasa berdosa karena telah membiarkan kecurangan terjadi di dalam ujian. Apakah keputusan Dodi itu benar karena sudah membiarkan hati nuraninya dan lebih memilih pemikiran logisnya?
Hati Nurani
            Banyak sekali definisi yang ditawarkan mengenai hati nurani. Calvin berpendapat bahwa hati nurani adalah ‘suatu perantara’ diantara Allah dan manusia, karena Allah tidak membiarkan manusia memendam dalam dirinya apa yang diketahuinya, tetapi mengejarnya sampai membuat dia mengakui kesalahannya (Douma 2002, 99). Ini berarti bahwa hati nurani menjadi media perantara antara Allah dan manusia dalam mengambil keputusan dalam sebuah permasalahan. White dalam bukunya menuliskan pendapat Hallesby yang mengatakan bahwa hati nurani tidak dapat bertindak, melainkan hanya dapat menyampaikan penilaian. Hati nurani hanya membandingkan perbuatan kita atau kata-kata kita atau seluruh keberadaan kita dengan hukum moral dan kehendak Allah (White 1987, 16). Dengan demikian, hati nurani memiliki sifat yang pasif, namun sangat berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan di dalam kehidupan manusia.
            Dalam upaya menjelaskan hati nurani, Bertens membedakan hati nurani menjadi dua bentuk, yakni hati nurani retrospektif dan prospektif. Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang sudah lewat. Ia menyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan baik atau tidak baik. Jadi, hati nurani menjadi semacam instansi kehakiman dalam batin tentang perbuatan yang telah berlangsung (Bertens 1993, 54). Sementara itu, hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu, misalnya mengatakan “jangan” atau melarang untuk melakukan sesuatu. Dalam hati nurani prospektif ini sebenarnya terkandung semacam ramalan. Ia menyatakan, hati nurani pasti akan menghukum kita andaikata kita melakukan perbuatan itu. Dalam arti ini, hati nurani prospektif menunjuk kepada hati nurani retrospektif yang akan datang, jika perbuatan ini menjadi kenyataan.
            Berbeda dengan Bertens dalam menjelaskan hati nurani, White mengutip pemikiran Hallesby dalam bukunya yang menjelaskan hati nurani dengan membaginya ke dalam empat cara penilaian hati nurani. Pertama, hati nurani tidak mempertimbangkan kembali bukti, tetapi hanya membuat penilaian terakhir. Hati nurani tidak memihak, sebab ia menerima informasi yang diberikan kepadanya dan menyatakan penilaiannya. Kedua, hati nurani tidak dapat dibantah, mutlak, dan tidak dapat dibawa naik banding. Ketiga, hati nurani bersifat pasti, sebab hati nurani memberikan penilaian tanpa mengungkapkan alasan-alasannya. Keempat, hati nurani bersifat individu. Hati nurani seseorang tidak akan menilai dia dengan cara yang persis sama dengan hati nurani orang lain yang menilai orang itu juga (White 1987, 17).   
            Cara kerja hati nurani dalam diri manusia adalah sebelum suatu tindakan yang direncanakan dimulai, hati nurani mencoba berkomunikasi kepada manusia, tentang apakah tindakan tersebut benar atau salah. Pada tingkat ini, pertempuran berada di pikiran manusia. Hati nurani bergulat dalam keadaan yang agak kacau-balau dengan macam-macam usul, alasan, desakan hati, dan motivasi. Seberapa kuat ia berbicara sangat dipengaruhi oleh informasi yang telah dimasukkan ke dalam pikiran manusia dan oleh hal-hal tentang mana manusia telah berpikir paling banyak  pada waktu itu. Ketika suatu tindakan sedang dilakukan, hati nurani biasanya ada pada tingkat pengaruhnya yang paling lemah. Manusia menjadi begitu terlibat dalam apa yang sedang dikerjakannya, sehingga tidak lagi peka mendengar jeritan hati nurani. Mungkin saja yang jeritan itu terdengar, namun seringkali manusia tetap maju dengan cepat dalam melakukan tindakan sambil membuat usaha lemah tertentu dalam pikiran untuk membenarkan tindakan. Setelah tindakan itu selesai dilakukan, maka hati nurani sangat jelas terdengar. Hati nurani mendesak untuk membuat restitusi atas kerugian yang disebabkan oleh tindakan tersebut (White 1987, 21).
Peranan Hati Nurani dalam Mengambil Tindakan
            Dalam kehidupan moral manusia, hati nurani memiliki kedudukan kuat di dalamnya. Bahkan bisa dikatakan bahwa secara subyektif, hati nurani adalah norma terakhir untuk perbuatan-perbuatan kita. Namun demikian, belum tentu perbuatan yang dilakukan atas desakan hati nurani adalah baik juga secara obyektif. Hati nurani bisa keliru. Bisa saja hati nurani menyatakan sesuatu adalah baik, bahkan wajib dilakukan, padahal seara obyektif perbuatan itu buruk. Misalnya saja pembunuhan dan penganiayaan dilakukan oleh orang fanatik atau teroris yang menganggap dirinya diwajibkan oleh suara hati. Padahal, semua orang dengan pemikiran yang sehat akan menolak hal-hal tersebut. Hati nurani memang dapat membimbing kita dan dapat menjadi patokan untuk perilaku kita, tetapi apa yang sebenarnya diungkapkan oleh hati nurani bukan baik buruknya perbuatan itu sendiri, melainkan bersalah atau tidaknya si pelaku. Bila suatu perbuatan secara obyektif baik, tetapi suara hati menyatakan bahwa perbuatan itu buruk, maka dengan melakukan perbuatan itu secara moral orang tersebut bersalah (Bertens 1993, 62).
            Pada contoh kasus diatas, sebelum dodi mengambil suatu tindakan untuk melaporkan perbuatan Johan, hati nuraninya mencoba berkomunikasi kepada dirinya, tentang apakah tindakan tersebut benar atau salah. Pada titik ini, hati nurani Dodi bergulat dalam keadaan yang kacau-balau dengan macam-macam usul, alasan, dan desakan hati. Ketika melihat perbuatan Johan, bibir Dodi rasanya bergetar seolah ingin memberitahukan perbuatan Johan kepada pengawas ujian, tetapi Dodi lebih memilih untuk bungkam. Ketika pilihan itu dipilih Dodi, maka pada saat itu pula hati nurani Dodi mulai melemah. Jeritan hati nurani Dodi mungkin dengan lantang menjerit, namun jeritan pemikiran logis Dodi mengenai sebab-akibat yang akan terjadi bila dia melaporkan perilaku Johan lebih jelas terdengar oleh Dodi.
            Setelah pilihan yang diambil Dodi berlawanan dengan hati nuraninya, maka yang terjadi selanjutnya adalah Dodi merasa bersalah dan berdosa karena telah membiarkan kecurangan terjadi. Inilah yang dinamakan sebagai hati nurani retrospektif. Hati nurani ini seakan-akan menoleh mengingatkan Dodi akan kejadian pencontekan yang dilakukan Johan ketika ujian tadi. Hati nurani retrospektif Dodi menilai perbuatan-perbuatan Dodi yang telah membiarkan Johan mencontek saat ujian. Hati nurani Dodi menyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan Dodi itu tidak baik, sehingga muncul kegelisahan dalam hati Dodi.
            Lalu kemudian, apakah yang dilakukan Dodi itu sepenuhnya salah? Ataukah yang dilakukan Dodi memiliki kebenarannya tersendiri? Secara moral, jelas keputusan yang diambil Dodi untuk bungkam dengan kejadian pencontekan yang dilakukan oleh Johan adalah salah. Dodi tidak menuruti hati nuraninya yang menyatakan harus melaporkan kejadian itu kepada pengawas. Namun, ada alasan logis yang ditawarkan oleh Dodi. Jika dia memberitahu pengawas mengenai kejadian pencontekan yang dilakukan oleh Johan, maka dia akan mendapat label baru sebagai tukang mengadu, dan Johan akan mengalami kegagalan ujian. Alasan-alasan ini hanya dipakai untuk memperkuat argumen Dodi agar tidak dipersalahkan karena membiarkan kecurangan terjadi. Namun, alasan-alasan itu menjadi bukti bahwa memang pikiran logis manusia dapat menjatuhkan atau merendahkan kedudukan hati nurani yang tinggi dalam kehidupan manusia. Secara tidak langsung, pikiran logis Dodi membuat hati nuraninya tidak berfungsi untuk berkata jujur ditengah ketidakjujuran yang terjadi.
            Dodi bisa dikatakan bersalah secara moral dan etis. Perbuatan Dodi tidak dapat dibenarkan. Dodi menyampaikan apa yang tidak dikatakan oleh hati nurani. Secara etis, keputusan Dodi merugikan semua orang, termasuk Johan karena dengan tanpa sadar terjadi pembodohan secara tidak langsung yang dilakukan Dodi karena membiarkan Johan mencontek; juga merugikan teman-teman mereka yang lainnya karena mereka sudah susah payah belajar namun Johan dapat mencontek dan itu merupakan suatu ketidakadilan bagi mereka. Namun, secara etis keputusan Dodi juga bisa dikatakan benar secara subjektif (dalam hal ini Johan) karena jika dia memberitahu perbuataan Johan, maka Johan akan digagalkan dalam ujian tersebut.
            Jadi, dapatkah kita menghakimi sebuah perbuatan itu salah atau benar? Baik atau tidak? Sekali-kali tidak. Namun yang perlu diingat adalah ikuti hati nurani kita dalam bertindak, sebab hati nurani sesungguhnya berasal dari Allah. Memang tidak mudah untuk mengikuti hati nurani, membutuhkan keberanian dan kekuatan. Ikutilah hati nurani kita dengan memakai sedikit saja pertimbangan logis dari pemikiran kita, sebab jika terlalu banyak mempertimbangkan logika pemikiran kita maka hati nurani semakin tak terdengar. Mari dengarkan hati nurani.
Daftar Acuan
Bertens, Kees. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Douma, J. Kelakuan Yang Bertanggung jawab: Pembimbing ke dalam Etika Kristen.     Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

White, Jerry. Kejujuran, Moral, dan Hati Nurani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.

Etika Perjanjian Lama

Pengantar
              Etika Perjanjian Lama sangat erat kaitannya dengan intervensi Allah terhadap kehidupan bangsa Israel. Allah menunjukkan perbuatan-perbuatan yang besar bagi bangsa Israel. Etika Perjanjian Lama merupakan salah satu titik-tolak Etika Kristen, sebab dalam Etika Perjanjian Lama terdapat penyataan kehendak Allah kepada Musa dan kepada Para Nabi. Perjanjian Lama terdiri dari Taurat, Nabi-nabi, dan kitab-kitab, yang bukan hanya diterima oleh orang Yahudi sebagai Firman Allah, tetapi juga diterima oleh orang-orang Kristen (Jongeneel 1980, 29). Etika Perjanjian Lama memiliki hubungan yang erat dengan hukum Taurat yang tertulis dalam kitab Taurat dan penjelasan para nabi mengenai hukum Taurat.
Hukum Taurat
              Hukum Taurat merupakan suatu yang berisikan rangkaian sederhana mengenai ketentuan-ketentuan hubungan perjanjian dan juga tingkah laku manusia sebagai umat Allah. Hukum Taurat dijadikan sebagai suatu bentuk yang menentukan etos dan memberi pembatasan terhadap perilaku umat Allah. Peranan Hukum Taurat sangat kuat di tengah-tengah umat Allah karena tidak hanya menentukan tindakan kehidupan tetapi juga peribadatan bangsa Israel. Hukum Taurat yang telah diberikan Allah melalui Musa bukan hanya sekadar untuk menanggapi perbuatan Allah, tetapi juga untuk memperlihatkan sifat Allah melalui perilaku manusia. Hukum Taurat menuntut manusia untuk hidup sesuai kehendak Allah dan juga memperhatikan kehidupan sosial dan individu manusia (Jongenel 1980, 81).
              Hukum Taurat dapat dikatakan sebagai bentuk respon umat atas tindakan Allah di dalam sejarah kehidupan mereka. Allah telah menunjukkan perbuatan-perbuatanya kepada umatnya melalui perjanjian kepada bapa leluhur, pembebasan dan sebagainya. Allah ingin umatnya juga menunjukkan suatu tindakan yang menunjukkan adanya suatu respon umat atas perbuatan Allah tersebut. Allah yang telah bertindak ke dalam kehidupan manusia menginginkan manusia hidup dalam kedaulatannya, melalui apa yang telah Allah berikan (Wright 1995, 153). Kehendak Allah-lah yang menjadi dasar utama dalam kehidupan manusia. Kehendak Allah bukan hanya sekadar mengabdikan diri kepada Allah, namun pengabdian kepada sesama manusia. Pengabdian tersebut ditunjukkan melalui perlakuan kita terhadap sesama manusia. Dalam melalukan kehendak Allah tersebut manusia membutuhkan batasan untuk mengetahui sejauh mana tindakan mereka yang sesuai dengan kehendak Allah (Fletcher 2007, 147).
              Di dalam Hukum Taurat kita dapat melihat bahwa Allah memberikan kesepuluh hukum Allah kepada bangsa Israel. Kesepuluh hukum tersebutlah yang dijadikan sebagai sebuah patokan tindakan umat. Kesepuluh hukum itu mengatur dan mengarahkan perilaku umat yang tetap berfokus pada kehendak Allah. Aturan yang diberikan tersebut sebenarnya bukan hanya semata-mata bentuk pengabdian kepada Allah, tetapi berupa pemberian “kebebasan” umat. Kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana memperlakukan sesama manusia. Hal ini juga ingin menunjukkan adanya tanggung jawab sosial, sehingga tidak boleh melakukan sesama dengan semena-mena (Kieser 1987, 182).
              Hukum Taurat sebenarnya merupakan sebagai karunia, karena hukum taurat membantu umat untuk mengetahui bagaimana cara mengasihi Allah dan juga sesama manusia. Jika hukum tersebut dipatuhi maka tercapailah kehidupan yangs sesuai dengan kehendak Allah. Namun, jika Hukum Taurat tidak dijalankan maka akan ada tuduhan/hukuman yang diberikan (Fletcher 2007, 164).
Pengajaran Nabi-nabi dan Kaitannya dengan Hukum Taurat
              Israel berbeda dari bangsa-bangsa di sekitarnya bukan hanya karena mereka percaya kepada TUHAN, tetapi juga karena mereka mempunyai utusan-utusan Allah yaitu para nabi, di tengah-tengah mereka. Nabi-nabi bertindak atas nama Tuhan. Para nabi melawan penindasan orang-orang miskin yang dilakukan oleh orang-orang kaya dan mengemukakan keberatan-keberatan azasi terhadap pembagian harta benda yang tidak seimbang (Jongeneel 1980, 81).
              Para nabi berpolemik dengan etika agama suku dari dunia sekitar Israel, dan berseru kepada seluruh bangsa Israel untuk tinggal tetap dan setia kepada YHWH dan hukum-Nya; menyampaikan kepada Israel kabar baik tentang menyingsingnya fajar hari baru dalam sejarah manusia, yaitu bahwa pada waktu yang ditentukan Tuhan, semua suku dan bangsa sedunia akan berkumpul di Yerusalem dan akan berdiri dan berbaris di sana dalam kebenaran dan damai sejahtera (Jongeneel 1980, 81)
              Nabi-nabi Israel (sesudah Musa) bertitik-tolak dari hukum Taurat. Kecaman-kecaman mereka (yang berbentuk nubuat) terhadap sikap hidup bangsa mereka, mereka dasarkan pada hukum Taurat. Tanpa ada hukum Taurat sebagai norma, mereka tidak punya hak dan panggilan untuk mengecam. Nabi-nabi Israel juga bertitik-tolak dari perjanjian anugerah yang menjadi dasar Hukum Taurat. Oleh sebab itu, melanggar Hukum Taurat tidak dipandangnya hanya sebagai pelanggaran sebuah hukum semata-mata, tetapi sebagai berubah setia atau murtad, tidak setia kepada Allah yang hidup (Verkuyl 1997, 117). Namun, di dalam tulisan-tulisan para nabi itu semakin mendalam keinsafan bahwa di dalam jalan Hukum Taurat tidak terdapat kebahagiaan. Hukum Taurat membuka tabir yang menyelubungi perlawanan kodrat manusia terhadap Hukum Taurat. Kebahagiaan hanya dapat diharapkan apabila Tuhan menjadikan kebahagiaan itu (Verkuyl 1997, 118).
Ciri-ciri Etika Perjanjian Lama
              Etika Perjanjian lama sangat memperlihatkan adanya suatu interaksi timbal-balik, Allah memberi suatu tindakan kepada manusia dan ditindak lanjuti dengan respon umat terhadap Allah. Allah bertindak kepada manusia dan ia menuntut manusia untuk hidup di dalam kedaulatanya, yaitu sesuai dengan kehendak Allah yang tertulis dalam kesepuluh hukum (hukum taurat). Etika Perjanjian Lama sangat menekankan Hukum Taurat yang diberikan Allah kepada bangsa Israel melalui Musa sebagai the ways of life bagi bangsa Israel. Di kemudian hari para Nabi yang adalah utusan Allah selalu bertolak pada Hukum Taurat ketika hendak bernubuat. Hukum Taurat tersebut yang dijadikan sebagai patokan utama untuk melihat apakah kehidupan umat masih dalam koridor Allah atau tidak.
              Hukum Taurat adalah bentuk kedaulatan Allah yang telah membebaskan sehingga harus menaati Hukum Taurat. Etika dalam Perjanjian Lama menitikberatkan hubungan yang bukan hanya diperuntukan bagi kemuliaan Allah saja, tetapi juga untuk keberlangsungan kehidupan sosial dengan sesama. Hubungan Horizontal dan vertikal tersebut sangatlah ditekankan untuk memperoleh suatu keseimbangan.
Kesimpulan dan Refleksi
              Hukum Taurat diberikan Allah kepada bangsa Israel sebagai tuntunan hidup mereka karena mereka baru saja terbebas dari perbudakan. Hukum Taurat memiliki fungsi memberikan keseimbangan pola hidup manusia baik kepada Allah dan juga sesama. Hukum Taurat menjadi ciri yang khusus bagi Bangsa Israel yang hidup diantara bangsa-bangsa yang menyembah dewa-dewa berhala. Kita dapat melihat bahwa sebenarnya apa yang telah Allah berikan ingin menekankan suatu keseimbangan manusia. Bangsa Israel yang baru saja memeperoleh pembebasan dari Allah diminta untuk merespon kasih Tuhan tersebut.
              Namun, Hukum Taurat sering kali dijadikan sebagai topeng bagi mereka yang fasik. Mereka melakukan Hukum Taurat hanya untuk sekadar memperoleh pandangan yang baik dari orang lain. Itulah sebabnya nabi-nabi yang merupakan utusan Allah berusaha membuka topeng mereka dan membangun kembali wibawa Hukum Taurat tersebut.
              Jadi, beribadah dan menjalankan hukum atau perintah Allah harus didasari pada ketulusan dan kesadaran kita untuk berbakti kepada Allah dan menjalankan segala perintah-Nya untuk kebaikan kita. Allah menetapkan peraturan bukan untuk mempersulit kehidupan manusia dan bukan juga untuk menjadikan hukum itu sebagai topeng, tetapi peraturan atau hukum ditetapkan Allah sebagai pedoman hidup manusia.
Daftar Acuan
Fletcher, Verne H. 2007. Lihatlah Sang Manusia! Suatu Pendekatan pada Etika Kristen Dasar. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Jongeneel, J.A.B. 1980. Hukum Kemerdekaan: Buku Pegangan Etik Kristen Jilid Satu. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Verkuyl, J. 1997. Etika Kristen I: Bagian Umum. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Wright. Christopher. 1995. Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kieser. Bernhard. 1987. Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan. Jakarta: BPK Gunung Mulia


Tafsiran Lukas 18: 10-14

Pendahuluan
1.      Penulis
Penulis dari Injil ketiga ini tidak diketahui secara pasti. Iraneus dari Lyon mengatakan bahwa Lukas (2 M) teman seperjalanan Paulus merupakan penulisnya. Kanon Muratoria dan prakata anti-Marcion pada injil Lukas, serta Clemens dari Aleksandria, origenes dan tertulianus juga menyebutkan bahwa Lukas adalah penulisnya. Akan tetapi, ketepatan tradisi-tradisi tersebut juga  masih belum dapat dipastikan. Lukas merupakan jilid pertama dari dua-jilid sejarah yang dilanjutkan di dalam Kisah Para Rasul. Gaya dan jenis bahasa kedua kitab tersebut begitu mirip sehingga tidak diragukan lagi bahwa keduanya merupakan hasil karya dari satu penulis. Kedua injil tersebut juga sama-sama ditujukan kepada seseorang yang bernama Teofilus  (Drane 2005, 211).
Menurut Paulus, Lukas adalah seorang dokter, dan memang sering dikemukakan bahwa penulis injil Lukas menunjukkan pengetahuan khusus tentang bahasa kedokteran, serta perhatian di dalam mendiagnosa penyakit. Terdapat satu atau dua tempat di Injilnya, Lukas memperlihatkan sikap lebih memahami pekerjaan dokter daripada Markus. Hal tersebut terlihat pada cerita di mana Yesus menyembuhkan seorang wanita yang mengalami pendarahan yang tidak dapat disembuhkan. Lukas di dalam Perjanjian Baru disebut sebanyak 3 kali. Pada setiap kesempatan ia dikatakan bersama dengan Paulus dan dalam surat Kolose, Paulus berkata Lukas bukan orang Yahudi. Gaya bahasa Yunani yang terdapat di dalam tulisan tersebut memang memberikan kesan bahwa penulisnya adalah seorang penutur bahasa Yunani. Menurut Eusebius, Lukas berasal dari Antiokhia di Siria, dan salah satu naskah kuno Kisah Para Rasul menyebutkan secara tersirat bahwa ia berada di Antiokhia ketika jemaat di situ menerima kabar tentang kelaparan yang akan menimpa mereka (Drane 2005, 212). 
      2.      Waktu dan Tempat Penulisan
Waktu ketika Lukas menuliskan kedua tulisannya hanya bisa diperkirakan. Lukas menggunakan Markus dan Q sebagai sumbernya. Dia melihat kembali ke penghancuran Yerusalem dan kematian Paulus. Lukas menulis kisah tersebut dari perspektif generasi ketiga, yang menunjukkan banyak perhatian terhadap zaman sejarah keselamatan. melalui data tersebut kita bisa memperkirakan injil Lukas dibuat sekitar tahun 90 CE (Schnelle 1998, 243).  

      3.      Tujuan
Lukas memberitahukan tentang tujuan penulisan di dalam kata pengantar. Ia menulis kepada seseorang yang bernama Teofilus, “supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar”. Lukas menulis injilnya untuk menolong Teofilus dan orang percaya lainnya agar memperoleh pengertian yang baik tentang iman Kristen. Ia menceritakan sebanyak mungkin tentang kehidupan dan pengajaran Yesus sendiri. Oleh sebab itu, Lukas memulai ceritanya tentang Yesus dengan agama Yahudi. dalam dua pasal pertama injilnya, ia memperlihatkan kesinambungan agama Kristen dengan agama Yahudi dan Perjanjian Lama. Pada waktu yang bersamaan dia menekankan bahwa Yesus merupakan penggenapan dari semua janji Allah, dan dengan demikian agama Perjanjian Lama sudah menjadi mubazir (Drane 2005, 213).
Pada waktu Lukas menulis, peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus sudah berlalu, kenyataan tersebut membuat generasi-generasi Kristen berikutnya lebih menaruh perhatian terhadap atas sejarah abad pertama daripada atas peristiwa-peristiwa zaman mereka sendiri. akan tetapi di dalam laporannya mengenai kehidupan dan pelayanan Yesus, Lukas menekankan adanya hubungan yang penting antara peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Yesus dengan kehidupan jemaat kontemporernya. Lukas menekankan kehadiran Yesus yang terus-menerus bersama pengikut-pengikutnya sebagai suatu koreksi atas pandangan beberapa orang sezamannya yang mulai tidak sabar sebab kedatangan Yesus untuk kedua kalinya “Parousia” belum juga terjadi. Selain itu, Lukas mengatakan bahwa kabar baik tentang Yesus berlaku bagi semua orang. Menunjukkan bahwa kasih Allah merambak sampai ke golongan masyarakat yang paling rendah sekalipun (Drane,  2005, 213). 

Tafsiran
Ayat 10: Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.
            Dalam ayat ini, sangat dimungkinkan bahwa kegiatan berdoa yang dilakukan oleh orang Farisi dan si pemungut cukai dilakukan ketika tidak ada orang lain yang sedang berdoa, atau dengan kata lain hanya ada mereka berdua di dalam Bait Allah (Geldenhuys 1951, 450). Menurut Nolland, kegiatan berdoa yang dilakukan oleh mereka berdua terjadi pada hari-hari biasa, bukan hari-hari khusus untuk berdoa (Nolland 1993, 875). Dalam ayat ini, orang Farisi dimaknai sebagai seorang pemimpin religius yang memiliki nilai moral tinggi dan sangat terbiasa dengan kegiatan-kegiatan seperti ini (Morris 1992, 289). Keadaan tersebut sangat berbanding terbalik dengan pemungut cukai yang adalah seorang yang dianggap sebagai pengkhianat bagi bangsanya sendiri, dan sangat jauh dari kegiatan-kegiatan berdoa ataupun moralitas hidup yang tinggi (Morris 1992, 289; Nolland 1993, 875).
            Dalam perumpamaan ini, penulis Lukas mengkondisikan mereka berdua bertemu di dalam satu ruangan yang sama. Perbedaan latar belakang yang mencolok dalam ayat ini ingin dipakai untuk menunjukkan perbedaan yang akan terjadi dalam ayat-ayat selanjutnya. Penulis Lukas juga memakai latar waktu diluar hari Sabat, dimana orang-orang Yahudi biasa berdoa. Latar waktu yang dipakai penulis Lukas adalah hari-hari biasa, dimana mereka yang datang berdoa ke Bait Allah hanyalah mereka yang membutuhkan waktu khusus ataupun ingin memanjatkan permohonan-permohonan tertentu kepada Allah. 
Ayat 11: Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini;
            Dalam ayat ini, makna kata “berdiri” yang dipakai oleh penulis Injil Lukas dapat diartikan sebagai “berdiri dengan posisi sempuna atau tegak” (Nolland 1993, 875). Menurrut Geldenhuys, posisi tegak yang dilakukan oleh orang Farisi tersebut menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang benar dan memiliki kebanggaan atas kesuciannya tersebut (Geldenhuys 1951, 450). Kebanggaan atas dirinya tersebut ditunjukkan melalui isi doanya yang mendiskreditkan pemungut cukai yang ada di dekatnya. Kebanggaan tersebut juga ditunjukkan atas sikap doa yang berdiri dengan tegak tersebut, sehingga dapat diasumsikan bahwa orang Farisi tersebut memiliki kebanggaan karena ia dapat berbeda dari orang-orang yang pada masa itu dianggap “tidak suci.”
Ayat 12: aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. 
            Dalam tradisi rabbinic, berpuasa dua kali seminggu dapat dikatakan sebagai suatu perwujudan disiplin suci yang dilakukan sejak masa Perjanjian Lama, dan hal tersebut sebenarnya sudah lebih dari cukup sebagai bentuk ketaatan yang tertulis dalam Perjanjian Lama (Nolland 1993, 876; Geldenhuys 1951, 451). Pemberian persepuluhan dari segala penghasilan juga merupakan sesuatu yang melebihi standar hukum Perjanjian Lama, dimana hanya beberapa penghasilan saja yang disarankan untuk menjadi persepuluhan (Geldenhuys 1951, 451). Ayat ini menjadi contoh kegiatan yang dilakukan dalam usaha orang Farisi tersebut untuk menjaga kesucian dirinya. Ayat ini juga sekaligus memberikan penekanan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut adalah kegiatan yang sangat jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pemungut cukai dalam kesehariannya.
Ayat 13: Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. 
            Dalam ayat ini, terlihat bahwa sang pemungut cukai juga membandingkan dirinya dengan orang Farisi tersebut. Penulis Injil Lukas menegaskan penggambaran pemungut cukai sebagai seseorang yang memiliki perilaku negatif melalui ketidakberaniannya untuk menatap langit, seperti yang dilakukan oleh orang Farisi (Nolland 1993, 877). Dalam doanya, ia sangat menyadari bahwa hidupnya jauh dari kata “suci” dan memohon pengampunan yang asalnya dari Tuhan untuk mengampuni segenap dosanya (Geldenhuys 1951, 451). Praktek “pemukulan diri” yang dilakukan pemungut cukai dalam ayat ini menjadi penunjukkan dan penekanan bahwa ia sangat berdosa, sekaligus menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang sebenarnya “najis.”
Ayat 14: Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.
            Ayat ini ingin menunjukkan bahwa pemungut cukai menjadi seseorang yang “ditinggikan” karena ia telah mengakui dosa-dosanya, dan menyadari akan dosa-dosa tersebut. Lain halnya dengan orang Farisi yang hanya menunjukkan “kesempurnaan” yang mungkin digunakan untuk menutupi kekurangan yang ada pada dirinya. Makna “meninggikan diri” dapat diartikan sebagai suatu perilaku yang negatif karena digunakan untuk menunjukan hal-hal yang sebenarnya untuk konsumsi pribadi. Hal tersebutlah yang dilakukan oleh orang Farisi, sehingga tujuan berdoa-nya menjadi untuk kesombongan diri, bukan memuliakan Allah.
Kesimpulan dan Refleksi
            Dalam Lukas 18:10-14 ini kami identifikasi sebagai injil yang menceritakan ilustrasi doa orang Farisi dan pemungut cukai. Ilustrasi tersebut diceritakan Yesus karena ada orang-orang yang menganggap dirinya benar dan memadang rendah semua orang lain. Orang Farisi terkenal dengan ketaatannya dalam beribadah. Ketika berdoa, orang Farisi ini berdiri tegak seolah ingin menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang benar dan memiliki kebanggaan atas kesuciannya tersebut dan dalam doanya dia merendahkan pemungut cukai. Orang Farisi itu membenarkan dirinya sendiri bahkan ketika ia berada di hadapan Allah. Sementara itu Yesus mengilustrasikan pemungut cukai yang “memukuli dirinya sendiri” dalam ayat ini 13 sebagai penunjukkan dan penekanan bahwa ia sangat berdosa, sekaligus menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang sebenarnya “najis.” Ia juga menunduk karena malu akan perilakunya. Berbeda dengan orang Farisi, pemungut cukai ini tidak melakukan pembelaan diri bahkan pembenaran diri. Dia justru merendahkan diri di hadirat Allah dan mengakui (jujur) akan dosa-dosa yang telah ia perbuat. Sehingga, sebagai kesimpulan Yesus di ayat 14 dikatakan bahwa pemungut cukai itulah yang dibenarkan Allah karena kerendah hatiannya dan kejujurannya mengakui segala kesalahannya, sementara orang Farisi itu tidak dibenarkan Allah karena ia telah membenarkan perbuatan dalam dirinya sendiri.
            Ilustrasi ini ketika disampaikan, maka ada beberapa hal penekanan yang diperlukan. Pertama, yang harus ditekankan adalah bahwa tidak ada salahnya bersikap suci dan legaliter seperti orang-orang Farisi, tetapi bukan berarti jika melakukan itu semua kita harus menyombongkan diri dan merasa hidup yang paling benar. Terkadang kita pun menilai orang dari apa yang terlihat dilakukan oleh mereka. Orang yang sering beribadah sering kita cap sebagai orang yang sangat beriman, sementara yang jarang beribadah sering kita cap buruk. Kita tidak pernah menelusuri lebih dalam apakah mereka yang sering beribadah benar-benar tulus beribadah atau hanya sekadar ingin mendapatkan prestise saja dari orang lain. Dan kepada orang yang jarang beribadah kita selalu melabelkan mereka cap yang buruk dan tidak pernah mau mencoba berpikir ke arah yang lebih positif. Kita terlalu cepat menilai orang lain dari apa yang nampak dari luarnya saja.
            Kedua, ketika berada di hadirat Allah, hendaknya kita seperti pemungut cukai yang dengan rendah hati mengakui segala kesalahan dan kekurangan kita, bukan sebaliknya malah mengungkit apa yang telah kita lakukan untuk Allah (misalnya beribadah, memberikan persembahan, dll.).
            Ketiga, hubungan kita sebagai manusia dengan Allah akan baik jika hubungan kita dengan sesama juga baik. Jika terhadap sesama kita berlaku seperti orang Farisi yang membanding-bandingkan hal buruk orang lain dengan segala kebaikan yang ada dalam diri kita, maka sia-sialah hubungan yang kita bangun dengan Allah. Orang Farisi begitu merendahkan pemungut cukai, pezinah, perampok, orang lalim, dan yang lainnya. Ia begitu memandang rendah mereka semua tanpa ia sadari bahwa dengan demikian ia telah direndahkan di hadirat Allah. Sebagai sesama manusia, kita bersama ada untuk saling menopang, bukan untuk saling merendahkan.
Daftar Acuan
Drane, John.2005. Memahami Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Geldenhuys, Norval. Commentary on The Gospel of Luke.  Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1951.
Morris, Leon. Tyndale New Testament Commentarie: Luke. Leicester: Inter-Varsity Press, 1992.
Nolland, John. World Biblical Commentary: Volume 35B. Texas: Word Books, 1993.

Schenelle, Udo. 1998. The History and Theology of The New Testament Writings. London: SCM Press LTD.

Gereja Kristen Pasundan

Sejarah Singkat Berdirinya Gereja Kristen Pasundan
            Pekabaran Injil di Tanah Pasundan bukanlah pekerjaan yang mudah bagi para zendeling. Kraemer mengungkapkan bahwa para zendeling kesulitan melakukan pekabaran Injil di Tanah Pasundan. Bahkan Kraemer mengatakan tanah Pasundan sebagai Nova Zembla Spiritual[1] (Kraemer 1958, 98). Beberapa hal yang menjadikan sulit bagi pekabaran Injil berkembang di tanah Pasundan ini adalah karena para zendeling memakai “cara mereka” dan tidak melihat bagaimana konteks masyarakat Sunda. Para zendeling tak tahu dan mengacuhkan terminologi Sunda dan tentang cara orang Sunda mengungkapkan/merumuskan problema-problema spriritual mereka. Namun, setelah mereka sadar akan hal itu, pekabaran Injil gencar dilakukan di tanah Pasundan.
            Pada awal abad ke-20 yakni sekitar tahun 1930, sudah ada keinginan dari sebagian anggota Gereja di Jawa Barat untuk berdiri sendiri dan tidak selalu berada dalam asuhan Zending. Pada tahun 1933, Prof. Dr. Hendrik Kraemer ditugaskan untuk memeriksa keadaan Jemaat-jemaat Pasundan. Selama hampir 4 bulan, ia mengunjungi Jemaat-jemaat Pasundan dan menarik sebuah kesimpulan bahwa Jemaat Pasundan harus dibiarkan mandiri bagaimanapun kondisinya, dan para zendeling bertugas mengawasi saja dari jauh. Sudah sekitar 70 tahun NZV mengasuh Jemaat Pasundan, namun mereka belum berani melepaskan jemaat ini[2]. Namun Kraemer tetap yakin bahwa Gereja Pasundan harus dilepas oleh NZV karena bagaimanapun gereja-gereja muda harus berdiri sendiri agar potensi untuk berkembang muncul dari gereja-gereja muda ini (Soejana 1974, 37-38). 
            Pada hari Rabu, 14 November 1934 bertempat di gedung gereja jemaat Bandung, dilakukan upacara peresmian Gereja Kristen Pasundan menjadi gereja yang berdiri sendiri. Upacara peresmian ini disaksikan oeh utusan-utusan dari semua jemaat-jemaat Pasundan, utusan-utusan Gereja-gereja lainnya yang ada di Bandung dan para pendeta NZV yang ada di Jawa Barat dan diresmikan oleh Dr. N.A.C. Slotemaker de Bruine, konsol zending yang bertindak selaku wakil pimpinan NZV (Soejana 1974, 44). Dengan demikian, tanggal 14 November 1934 dijadikan tanggal resmi berdirinya Sinode GKP yang bekerja dalam lingkup wilayah Jawa bagian Barat.
GKP: Sebuah Gereja Suku atau Teritorial?
            Menarik ketika banyak orang yang mengatakan GKP sebagai gereja suku Sunda, kemudian disanggah oleh beberapa pihak yang mengatakan bahwa GKP adalah gereja teritorial. Pertanyaan pun kadang muncul dari orang-orang yang baru mengenal GKP, apakah GKP itu gereja suku? Kalau bukan gereja suku, mengapa GKP menerbitkan buku Nyanyian Kidung Kabungahan yang berbahasa Sunda? Inilah kejadian riil yang saya alami selama menjadi anggota GKP. Saya bukan bersuku Sunda, namun saya adalah anggota jemaat GKP. Saya tidak bisa berbahasa Sunda, namun saya adalah anggota jemaat GKP yang turut menyanyikan lagu Kidung Kabungahan dalam ibadah.
            Menarik ketika pengalaman ini saya telusuri jejak sejarahnya. GKP yang wilayah pekabaran Injilnya berada  dalam aras wilayah Jawa bagian Barat menyatakan diri sebagai gereja teritorial. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa awal terbentuknya GKP karena panggilan pekabaran Injil kepada pribumi Sunda. Kraemer melaporkan bahwa Albers, Grashius, dan Van der Linden melakukan pekabaran Injil pertama kali ke tanah Pasundan setelah pemerintah Belanda didesak Esser dan King karena mereka merasa berhutang budi pada pribumi Sunda di Jawa Barat[3] (Kraemer 1958, 97). Pekabaran Injil yang dilakukan di tanah Pasundan juga melihat konteks orang Sunda, misalnya Anthing yang berusaha mengkontekstualisasi Kekristenan dengan budaya Sunda. Anthing dalam lingkup budaya Sunda mampu mempertahankan tradisi sunat dalam budaya Sunda sebagai suatu ikatan persaudaraan dalam masyarakat Sunda atau biasa disebut Tali Paranti. Selain itu, Anthing juga melakukan pekabaran Injil dengan memberikan mantra dan tembang menjadi alat untuk pewartaan iman Kristen kepada penduduk pribumi Sunda (Dalope 2012).
            Pada masa sekarang setelah GKP menjadi sebuah gereja yang mandiri pun, metode pekabaran Injil a la Anthing masih dipertahankan. Misalnya penggunaan Kidung Kabungahan dalam ibadah. Proses kontekstualisasi jaman Anthing masih digunakan pada masa sekarang. Jika ditinjau lagi, penggunaan Kidung Kabungahan dinilai tidak lagi efisien. Beberapa jemaat GKP di Jakarta yang sudah tidak tersentuh dengan kebudayaan Sunda lagi. Mereka justru kesulitan menyanyikan lagu berlanggem dan berbahasa Sunda. Lagi, anggota Jemaat GKP pun sudah banyak yang bukan orang Sunda atau orang yang berbudaya Sunda. Proses kontekstualisasi jaman Anthing yang masih diterapkan pada masa kini justru menjadikan GKP terlihat dualisme. GKP menyatakan diri sebagai gereja teritorial dan gereja berbudaya Sunda. Jadi tidak heran apabila ada orang-orang yang bertanya, apakah GKP merupakan gereja suku Sunda jika kontekstualisasi Anthing ini masih dipertahankan utuh tanpa ada proses kontekstualisasi masa sekarang.
GKP: Bertumbuh dan Berkembang di Tengah Masyarakat Jawa Barat[4]
            Sejak proses pekabaran Injil hingga terbentuk menjadi sebuah sinode gereja, GKP diperhadapkan dengan situasi dan kondisi masyarakat Jawa Barat. Mayoritas masyarakat Jawa Barat adalah etnis Sunda dan pemeluk agama Islam. Pertautan Islam dengan masyarakat Sunda berlangsung sejak abad ke-19. Jika orang berbicara mengenai masyarakat Sunda, maka salah satu cirinya adalah Islam (Ayatrohaedi 1996, 96). Tali temali antara Islam dan ke-Sunda-an telah melewati rentang waktu panjang. Kesadaran itu, kemudian dipertahankan dan dikukuhkan ulang dalam musyawarah masyarakat Sunda pada tahun 1967, yang menyatakan manunggalnya antara Sunda dan Islam (Ayatrohaedi 1996, 98). Islam dengan demikian telah berhasil melakukan integrasi sosial ke orang Sunda. Namun, jauh sebelum itu, pada masa pekabaran Injil di tanah Pasundan, orang Sunda telah menganut sistem bahwa meninggalkan Islam sama dengan meninggalkan kebudayaan mereka.
            Lalu, mengapa sampai orang Sunda memahami dan menganut sistem jika meninggalkan Islam sama dengan meninggalkan kebudayaan mereka? Alasannya ialah, Islam telah berhasil masuk ke stratifikasi sosial orang Sunda, dari lapisan terbawah sampai ke atas, baik masyarakat agraris maupun urban, sehingga Islam menguasai batin orang Sunda. Islam juga telah masuk jauh ke relung-relung institusional, antara lain di bidang hukum, arsitektur bangunan, dan kesusasteraan Sunda. Islam juga telah menjadi agama yang bersifat komunal, dan telah menyatu dengan sistem dan struktur sosial. Pada akhirnya, Islam telah sampai pada taraf proses akulturasi budaya yang efektif (Supriatno 2012).
            Selain masalah agama, orang Sunda juga dikenal dan dikategorikan orang yang memiliki kepribadian ramah, santun, tutur katanya halus, rendah hati, bersifat komunal, dan tidak ambisius. Orang Sunda juga memiliki kepribadian menghindari konflik, tidak ambisius, tidak menyukai friksi dan sangat mengutamakan kehidupan penuh kekeluargaan. Kepribadian orang Sunda yang seperti itu sangat dipengaruhi oleh kultus harmoni yang dihayati orang Sunda (Supriatno 2012).
            Selain kepribadian orang Sunda, tanah Sunda pun memiliki rekam jejak sebagai wilayah yang diminati menjadi tujuan untuk menetap dan menikah berbagai suku dan berbagai bangsa. Mereka dapat diterima untuk mengintegrasikan dirinya ke lingkungan masyarakat dan kultur orang Sunda. Bahkan beberapa orang diakui sebagai tokoh Sunda karena mereka dinilai telah menghayati dan mempergunakan nilai-nilai budaya Sunda, meski mereka bukanlah keturunan Sunda asli. Ini menandakan inklusifnya orang Sunda atas kehadiran para pendatang dan terbuka atas keragaman (Rosidi 1984, 11-13).
            Sejarah memang mencatat bahwa orang Sunda yang menerima kehadiran para zendeling memang menggambarkan inklusifitas mereka, namun tidak tampak dari orang Sunda keramah-tamahan dan keterbukaan mereka atas keragaman. Sebab ketika para zendeling mendirikan sekolah-sekolah Kristen yang diperuntukkan untuk umum, sedikit sekali anak-anak Sunda yang datang, Jika mereka datang dan kemudian memeluk agama Kristen karena pergaulannya dengan para misionaris, maka sekolah itu akan dijauhi seperti orang menghindari wabah (Kraemer 1958, 98). GKP yang memiliki latar belakang budaya Sunda, kini menunjukkan inklusifitas dan keterbukaannya terhadap keberagaman suku. GKP terbuka tidak hanya bagi suku Sunda saja. Dampak dari keterbukaan itu, kini GKP menjadi gereja yang pluralistik dalam suku. Inilah yang membuat GKP semakin kukuh dengan konsep gereja teritorial, yakni gereja yang melayani pekabaran Injil di tanah Jawa Bagian Barat / Pasundan, bukan gereja yang melayani suku Sunda / Pasundan.
Refleksi
            GKP sebagai gereja yang telah mandiri selama 79 tahun masih harus banyak belajar dari perjalanan panjang sejarah kemandirian mereka. GKP lahir dan berkembang di daerah yang disebut tanah Pasundan. Masyarakat Sunda yang terkenal inklusif dan ramah ternyata tak seperti yang dibayangkan. Mereka justru menutup diri dengan kekristenan pada awalnya. Namun, bukan merekalah yang salah. Mereka hanya mempertahankan tradisi mereka yang begitu erat dan sarat akan nilai kekeluargaan, sementara Kekristenan yang ditampilkan para zendeling pada awalnya sangat bersifat eksklusif dan tidak memperhatikan nilai budaya Sunda. Beruntungnya, para zending Belanda masih memiliki Mr. Anthing, orang yang mau belajar dan memahami kepribadian serta tradisi orang Sunda sehingga Kekristenan bisa masuk dalam komunitas mereka. Dari pekabaran Injil menurut Mr. Anthing inilah, GKP belajar sebuah kontekstualisasi teologi Kekristenan.
            Tak terbayangkan apabila tidak ada sosok Anthing, mungkin GKP tidak akan pernah ada di dalam sejarah gereja-gereja di Indonesia. Kontekstualisasi Anthing membuahkan hasil yang cukup gemilang. Namun, GKP masih belum sadar bahwa mereka berkembang bukan lagi di tanah Pasundan yang bersuku Sunda dan memahami budaya Sunda, yang dulu Anthing dan rekan-rekannya hadapi. GKP tidak mengembangkan kontekstualisasi yang dimulai oleh Anthing, tetapi hanya mengikuti saja. Sehingga, ketika merumuskan identitasnya, GKP terjebak pada dualisme yang saling bertentangan. Di satu sisi GKP ingin terbuka dan menerima seluruh suku dan budaya yang ada untuk masuk ke dalam komunitasnya (inklusif), tetapi di sisi lainnya GKP masih tetap mempertahankan pengembangan kebudayaan Sunda itu (ekslusif) di tengah banyaknya anggota jemaat yang tidak lagi mengenal kebudayaan Sunda. Agaknya GKP harus berkaca diri dan melihat apa yang harus dilakukan agar tidak terjebak pada dualisme identitas seperti yang terjadi saat ini. GKP harus berupaya mengembangkan teologi kontekstual Anthing sebab dunia Pasundan yang dikenal oleh Anthing dahulu kala, kini sudah bergeser jauh akibat perkembangan sosial politik.
Daftar Acuan
Ayatrohaedi. Bahasa Sunda di Daerah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Dalope, Leornard Bayu L. “Menggali Teologi Lokal: Sebuah Kisah dari Jemaat Anthing.”       Dalam Identitas GKP di Tengah Kepelbagaian, oleh Hariman Andrey         Pattianakotta, 41-47. Jakarta: Binalitbang GKP Tanah Tinggi, 2012.
Kraemer, Hendrik. From Missionfield to Independent Church. Boekencentrum – The Hague,            1958.
Rosidi, Ayip. Manusia Sunda. Jakarta: Idayu Press, 1984.
Soejana, Koernia Atje. Benih Yang Tumbuh II. Salatiga: Percetakan Universitas Kristen          “Satya Wacana”, 1974.
Supriatno. “Pergulatan Gereja Kristen Pasundan di Tengah Masyarakat Jawa Barat:             Sebuah Catatan Reflektif.” Dalam Identitas GKP di Tengah Kepelbagaian, oleh      Hariman Andrey Pattianakotta, 98-136. Jakarta: Binalitbang GKP Tanah Tinggi,      2012.



[1] Nova Zembla adalah padang pasir yang tandus. Maksud Kraemer adalah tanah Pasundan diumpamakan sebagai wilayah yang secara spiritual tandus dan kosong.
[2] Salah satu penyebabnya ialah mentalitas anggota jemaat yang masih suka dipimpin oleh para Zendeling Barat. Kraemer mengungkapkan bahwa bila guru-guru (Guru Injil-pemimpin pribumi) diizinkan untuk melayani sakramen, anggota jemaat tidak akan berkata, “Lihatlah, betapa nilai guru kita menjadi naik”, tetapi: “Lihatlah, betapa nilai sakramen menjadi turun. Kita tetap meminta seorang pendeta (Pendeta kulit putih)” (Soejana 1975, 37).
[3] Jawa Barat yang dimaksudkan bukanlah Provinsi Jawa Barat pada masa sekarang, tetapi Jawa bagian Barat yang mencakup Jakarta dan Banten.
[4] Jawa Barat yang dimaksudkan bukanlah provinsi Jawa Barat sekarang ini, tetapi wilayah pada saat pekabaran Injil dahulu. 

Sejarah Perjumpaan Gereja Indonesia dengan Budaya Lokal (Sunda dan Jawa) & Global

Pendahuluan
            Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan ragam budaya dan tradisi, demikian Gendhis Paradisa mengungkapkan hal itu melalui prakatanya dalam sebuah ensiklopedia yang ia tulis (Gendhis 2009, iii). Hal tersebut memang tak dapat dipungkiri oleh siapapun, termasuk para zendeling yang hendak mengabarkan Injil di Indonesia. Kraemer mengungkapkan sebuah fakta bahwa bagi orang Timur (termasuk Indonesia), adat dan budaya adalah salah satu unsur penting dalam tatanan masyarakat (Kraemer 1958, 99). Fakta ini baru diungkapkan Kraemer setelah melihat pengalaman para zendeling yang hendak mengabarkan Injil ke Nusantara. Pernyataan Kraemer tersebut muncul juga akibat tindakan para zendeling yang tidak memperhitungkan kebudayaan setempat, padahal kekristenan pun berasal dari Timur yang sangat kuat kebudayaannya.
            Gerrit Singgih dalam tulisannya mengenai perjumpaan gereja dengan budaya menuturkan 5 sikap terhadap budaya yang diungkapan oleh Niebuhr, yakni sikap radikal, akomodatif, sintetik, dualistik, dan transformatif (Singgih 1995, 137). Kebanyakan para zendeling datang mengabarkan Injil ke Indonesia dan bersikap radikal seperti apa yang Niebuhr kemukakan yakni, sikap yang samasekali tidak mengakui hubungan antara iman dan budaya. Iman datang dari atas, dari Tuhan, sedangkan budaya datang dari bawah, dari manusia. Iman selalu menghakimi kebudayaan, karena kebudayaan dianggap selalu jahat. Para zendeling tidak mengikuti arus budaya di negeri asal mereka dan ketika sampai di Indonesia, mereka menganjurkan murid-murid mereka untuk bersikap sama. Tidak heran kalau banyak dari murid-murid di Timur sadar atau tidak bersikap sangat radikal. Tentu ada yang perlu dihakimi dalam kebudayaan, baik kebudayaan Barat maupun Timur, namun perlu diingat bahwa tidak ada orang yang tidak memiliki latar belakang kebudayaan. Para zendeling pun mengikuti pola kebudayaan Barat, tetapi yang 50-100 tahun lebih tua dari pola kebudayaan Barat yang sedang menjadi arus dominan (Singgih 1995, 137).
            Secara spesifik, paper ini akan membahas bagaimana kekristenan berjumpa dengan budaya Sunda dan Jawa, yang merupakan salah satu budaya Indonesia, dan juga kekristenan dengan budaya global. Ya, banyak yang bersikap radikal seperti yang diungkapkan Kraemer dan Singgih, namun ada juga zendeling maupun missionaris yang tidak mentah-mentah menolak kebudayaan. Untuk itu kita akan membahasnya lebih dalam.
Perjumpaan Kekristenan dengan Budaya dan Masyarakat Sunda (GKP)
            Masyarakat Sunda sebagian besar menganut agama Islam, namun demikian dalam kehidupan sehari-hari masih tampak unsur-unsur kepercayaan dan adat/budaya masyarakat  Sunda. Oleh sebab itu, sulit bagi kita memisahkan agama dengan sistem kepercayaan, sebab baik agama maupun sistem kepercayaan yang masih dijalankan oleh sebagian orang Sunda berfungsi untuk mengatur sikap dan sistem nilai. Bahkan Sumamihardja mengungkapkan bahwa unsur-unsur Islam dan unsur-unsur kepercayaan asli tampaknya telah terintegrasikan menjadi satu dalam sistem kepercayaan dan ditanggapi oleh masyarakat Sunda dengan emosi yang sama. Tidak hanya kepercayaan saja, upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran hidup (Tali Paranti) juga masih diterapkan meski mereka beragama Islam (Sumamihardja 1984, 283). Ngabersihan adalah salah satu tradisi yang diterapkan orang Sunda baik secara duniawi/profan maupun secara rohani/sakral. Penerapan kata ngabersihan dalam arti duniawi dapat kita jumpai, umpamanya ngabersihan kebon (membersihkan kebun), yang dalam arti rohani ngabersihan diri (membersihkan diri, menyucikan diri, dan meninggalkan diri dari yang bersifat duniawi). Menurut Rikin, kata ngabersihan ini jika diselidiki lebih mendalam, maka kita akan jumpai bahwa dalam perasaan orang Sunda tidak ada perbedaan pengertian antara rohani dan duniawi (Rikin 1994, 35).
            Tidak hanya soal asimilasi budaya Sunda dengan Islam, para zendeling pun tidak cermat dalam memahami sifat dan tabiat orang Sunda. Orang Sunda terkenal sebagai orang yang gembira dan ramah-tamah, juga sangat menghargai dan menghormati orang lain. Sifat menghormati orang lain ini justru membuat orang Sunda tidak mau secara blak-blakan mengemukakan sesuatu hal yang kira-kira akan menyinggung perasaan orang lain. Sebab itu sesuatu maksud yang tertentu akan mereka ungkapkan melalui cara yang halus sehingga akan sulit ditangkap oleh orang yang tidak mengenal sifat orang Sunda (Soejana 1975,13).
            Kekristenan masuk ke tanah Sunda dengan latar belakang seperti yang telah dijelaskan tadi. Orang-orang Sunda umumnya memeluk agama Islam yang telah berasimilasi dengan budaya lokal masyarakat Sunda. Tidak hanya sekadar berasimilasi, bahkan budaya Sunda dipandang sebagai dasar agama Islam (Aritonang 2008, 650), bahkan agama Islam dalam kehidupan orang Sunda menjadi mahkota adat Sunda (Soejana 1975, 12). Di sisi lain, para zendeling masuk dengan budaya Barat yang kuat. Semisal Albers, Grashuis, dan Van der Linden, mereka masuk ke tanah Pasundan dan mendapati tanah Pasundan bersikap acuh-tak-acuh terhadap zendeling yang datang hendak mengabarkan Injil. Kraemer mencatat bahwa sikap acuh-tak-acuh pribumi Sunda adalah akibat dari kesalahan mereka sendiri. Mereka tidak menjajagi iklim spiritual dari daerah itu dan keadaan orang-orang di tempat mereka tinggal (Kraemer 1958, 98). Hal-hal seperti kebangsaan, keturunan, kebudayaan, dan pandangan hidup menyebabkan adanya jurang pemisah yang dalam antara dunia pribumi dan orang-orang Eropa (Kraemer 1958, 99).
            Para zendeling pun terjebak pada sifat dan tabiat orang Sunda yang tidak secara langsung menentang dan mempersoalkan mereka (para zendeling) yang hendak mengabarkan Injil. Sebab ada istilah dalam bahasa Sunda, sumuhun,  yang berarti meng-iya-kan, tetapi sebenarnya tidak selalu berarti meng-iya-kan. Sikap acuh-tak-acuh yang disebutkan Kraemer mungkin saja karena kesalahpahaman para zendeling yang berpikir bahwa mereka diterima oleh pribumi Sunda, padahal tidak. Keterbatasan pengetahuan akan budaya dan masyarakat Sunda sangatlah fatal bagi para zendeling pertama yang diutus untuk mengabarkan Injil di tanah Sunda (Soejana 1975, 13).
            Beberapa nama besar zendeling yang masuk dalam daftar orang yang berandil besar dalam pekabaran Injil kepada pribumi Sunda adalah J. Verhoeven dan F. L. Anthing. Verhoeven adalah seorang missionaris yang terhormat di Jawa Barat. Ia melihat bahwa pendapat orang untuk penginjilan dari pintu ke pintu sebagaimana diinginkan oleh badan zending Belanda yang memang dilaksanakan oleh para zendeling bukanlah jalan yang tepat. Ia memahami bahwa masyarakat, khususnya masyarakat desa dengan sistemnya/ adatnya yang rumit/kompleks dan pengertian-pengertian yang ada, merupakan benteng pertahanan yang hampir tak dapat ditembus sehingga segala upaya kandas. Pada akhirnya, pemahaman ini membawa Verhoeven pada sebuah kesimpulan bahwa metode yang dipakai dalam pekerjaan para zendeling adalah sia-sia. Ia berpikir bahwa hanya dengan mencari suatu tempat di luar benteng pertahanan tadi, dengan maksud menghindari pengaruh yang hampir tak mungkin terkalahkan, yakni peraturan-peraturan sosio-religi masyarakat desa, jemaat Kristen bisa tumbuh (Kraemer 1958, 101). Menurut Verhoeven, pandangan masyarakat pribumi Sunda kepada orang-orang Sunda yang menjadi Kristen adalah: mereka telah menjadi orang-orang buangan yang kehilangan segala hak pribadinya. Hanya karena Pemerintah Belanda sajalah jiwa-jiwa mereka terhindar dari marabahaya. Untuk menghindari sistem sosial yang ada, Verhoeven mencoba keluar dan mendirikan sebuah perkampungan dalam suasana merdeka. Rencananya ialah ia mulai dengan sebidang tanah tempat tinggal orang-orang Kristen, sehingga dapat hidup sebagai warga merdeka, berada bawah pemerintahan yang terdiri dari orang-orang Kristen pula dan menurut prinsip-prinsip dan peraturan sendiri, tak lagi hidup di bawah pemerintahan Lebai dan Pamong Desa yang terikat oleh adat sosio-religi mereka (Kraemer 1958, 102).
            Berbeda dengan Verhoeven, Anthing yang juga adalah seorang zendeling justru begitu memperhatikan adat/kebiasaan pribumi Sunda dalam melaksanakan pekabaran Injil. Ia sebagai seorang pekabar Injil tidak menjadi alat sebuah organisasi Belanda, juga bukan sebagai pengkhotbah Kekristenan. Anthing dan para muridnya justru menampilkan diri sebagaimana adanya seorang penduduk pribumi Sunda[1]. Dengan cara ini orang-orang dapat didekatkan kepada pokok isi Injil tanpa gangguan cap/ciri khas. Cara ia memberitakan Injil adalah dengan menyesuaikan kepada bagian yang peka dalam hati seseorang pribumi, yakni hasrat yang mendalam akan memperoleh suatu rahasia keselamatan yang memberi kelanggengan kepada manusia[2]. Cara Anthing ini dicatat oleh Kraemer cukup berhasil. Anthing berpendapat bahwa Injil harus disampaikan kepada pribumi dengan cara pribumi pula (Soejana 2008, 17). Misalnya, tanda-tanda Kekristenan seperti Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, dan Sepuluh Perintah Allah yang telah diperkenalkan sebagai rahmat-rahmat bertuah dipakai untuk mencegah malapetaka. Namun cara Anthing ini memiliki kelemahan. Kelemahan metode Anthing menurut Kraemer ialah bahwa dalam menyajikan Injil ia berhenti pada tingkat permulaan dan tidak mempertimbangkan masak-masak bagaimana membawa masyarakat pribumi Sunda kepada pernyataan Injil sebagai pengubah total pemikiran, perasaan, dan kemauan. Pada akhirnya, Anthing harus menjadi korban kelemahannya sendiri sebab para muridnya sendiri tidak cukup mendapat bimbingan dalam hal kekristenan (Kraemer 1958, 100). Namun, kelompok-kelompok Anthing-lah yang mampu menyusup masuk ke dalam pribumi-pribumi Sunda, karena ia dibantu oleh para zendeling pribumi. Beberapa kelompok Kristen asuhan Anthing adalah Cikuya (Adolf Muhlnickle), Cakung (Johanes Vrede), dan Tangerang (Sperhack) (Soejana 1958, 18).
            Di kemudian hari, gereja Sunda yang berkembang menjadi GKP harus menyesuaikan diri dengan dampak globalisasi yang terjadi di dunia. Perkembangan Iptek membuat GKP harus mengikuti perkembangan zaman. Untuk itu disetiap klasis di sinode GKP, dibentuklah tim IT yang bertugas untuk melakukan perkembangan informasi dan teknologi melalui website-website yang dapat diakses oleh warga jemaat guna memperoleh informasi perkembangan dan kegiatan GKP. Selain itu, GKP mengambil langkah maju yang cukup besar dengan mendirikan sebuah PT. GKP, di mana PT. itu menjadi salah satu sumber dana GKP untuk melakukan pelayanan. Namun isu-isu budaya global yang menguat seperti LGBT, belum secara serius dipikirkan oleh GKP, secara khusus dibicarakan dalam sidang-sidang sinodal.
Perjumpaan Kekristenan dengan Budaya dan Masyarakat Jawa (GKJ)
Penduduk Jawa, khususnya Jawa Tengah, berkembang dengan struktur kemasyarakatan yang feodalistik akibat pengaruh sejarah kerajaan yang ada di Jawa. Feodalistik yang dimaksudkan adalah pemikiran kekastaan yang mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kerja dan kedudukan seseorang. Namun, dalam bidang kerohanian, masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang terbuka. Keterbukaan itu tampak di dalam keterbukaan menerima agama atau kepercayaan apapun yang datang dari luar. Akan tetapi keterbukaan itu sekaligus mengandung ketertutupan, sebab meskipun menerima agama atau kepercayaan lain, orang Jawa akan tetap mempertahankan agama dan kepercayaan yang dimilikinya (animisme-dinamisme). Pandangan masyarakat Jawa terhadap agama-agama menjadi netral, bahwa semua agama itu sama saja, ibarat orang pergi ke pasar bisa lewat jalan manapun. Agama juga diibaratkan sebagai pakaian yang dapat dipakai kalau suka, dapat diganti yang lain jika dirasa kurang cocok (Purnomo 1988, 24).
Kyai Sadrach adalah orang yang tak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan Gereja-gereja Kristen Jawa di kemudian hari. Kyai Sadrach terkenal dengan perkembangan Kekristenan yang bertemu dengan budaya Jawa (Purnomo 1988, 17).  Sadrach adalah juga murid Anthing yang mewarisi keahlian Anthing yang melakukan pekabaran Injil dengan metode pendekatan budaya.  Pendekatan budaya yang dimaksudkan ialah dengan cara “sarasehan”, semacam perdebatan antara Kyai (ulama) dengan Ulama agama lain, atau tokoh kebatinan. Metode ini banyak dipakai oleh para pendeta Jawa dalam pekabaran Injil selanjutnya. Pendekatan Kyai Sadrach berbeda dengan para zendeling yang menentang apa saja yang berbau Jawa dan menganggap tradisi serta kebudayaan Jawa sebagai berbahaya atau setidaknya harus dianggap dapat membahayakan Iman. Sadrach justru menggunakan dan mengembangkan tradisi serta kebudayaan Jawa di dalam kekristenannya (Purnomo 1988, 29).
            Selain Kyai Sadrach muncul pula sosok Ibrahim Tunggul Wulung. Tunggul Wulung sendiri memiliki legenda bahwa ketika ia turun gunung, secara ajaib ia menemukan salinan Dasa Titah di bawah tikar tempat tidurnya. Ia memandang bahwa titah-titah inilah yang menjadi tanda kedatangan Mesias bagi mereka yang ingin keluar dari rumah ‘perhambaan’ (Aritonang 2010, 93). Tunggul Wulung setelah dibaptiskan membuka sebuah hutan Bondo, yang kemudian diberi nama Banyutowo dan kemudian mendirikan desa lain yakni Tegalombo. Di sana Tunggul Wulung berperan sebagai pendiri, kepala desa, dan pengkhotbah tentang Ratu Adil Isa Rohallah. Tunggul Wulung sendiri sangat Jawa, karena terlihat dari pandangannya bahwa agama Islam dan Kristen sebenarnya sama, karena Muhammad juga dihormati di dalam Injil (Aritonang 2010, 95). Tunggul Wulung memakai konsep Ratu Adil, Messiah Jawa dalam mengajarkan agama Kristen. Tunggul Wulung berhasil menghimpun umat dan mendirikan sejumlah jemaat “Kristen-Jowo” yang jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan “Kristen-Londo” yang dikumpulkan para zendeling. Meski demikian, Tunggul Wulung dikenal sebagai seorang penginjil yang sangat dangkal pemahamannya tentang Injil itu sendiri. Menurut Hoezoo, Tunggul Wulung mencampurkan ajaran Kekristenan dengan menggunakan pengetahuan yang luas tentang Islam Jawa dan dianggap baik makna maupun tujuannya (Aritonang 2010, 95).
            GKJ yang akhirnya bertumbuh dan berkembang di Indonesia sebagai sebuah sinode yang cukup besar ternyata melihat juga tantangan akan budaya global yang berkembang saat ini. GKJ dalam menghadapi arus globalisasi terutama dalam bidang komunikasi (internet) mengambil langkah pasti. Salah satunya terdapat di GKJ Eben Haezer Pasar Minggu. Di sana, mereka menggelar program ‘internet sehat’ bekerja sama dengan kompasiana.com (Damayanti 2012). Itu adalah salah satu bentuk nyata GKJ dalam menghadapi globalisasi di bidang komunikasi. Menghadapi era globalisasi, GKJ yang memiliki LSM bernama Trukajaya[3] ikut memerangi dampak globalisasi di bidang teknologi pertanian. Jemaat-jemaat GKJ yang umumnya masih berada di pedesaan dan mayoritas penduduk sekitar bermata pencaharian sebagai petani, mengajak seluruh masyarakat untuk memelihara lingkungan dengan bercocok tanam tanaman organik, yang tidak memakai pupuk kimia guna menjaga kelestarian lingkungan terkhusus tanah. Dengan berdirinya LSM Trukajaya, GKJ menjadi terkonsentrasi untuk menghadapi tantangan globalisasi yang menawarkan hal-hal instan kepada masyarakat tanpa memikirkan dampak negatif yang berkelanjutan.
Refleksi
            Kekristenan masuk ke Indonesia dengan membawa tradisi dan budaya Barat yang begitu kental. Tradisi dan budaya Barat itu seringkali dipaksakan dan dimasukkan ke dalam sistem budaya lokal Indonesia, secara khusus budaya Sunda dan Jawa. Kebudayaan lokal yang sudah terbentuk sulit untuk digubah dan banyak zendeling datang dan mencoba menggubah budaya lokal menjadi budaya Barat.
            GKP misalnya, sebagai gereja di bumi Pasundan, pada masa pekabaran Injil tak dapat dipaksakan untuk menerima budaya Barat, sebab sistem masyarakatnya sangat memegang adat istiadat Sunda. Berbeda dengan zaman dulu yang sangat memegang adat istiadat Sunda, GKP yang telah menjadi gereja yang mandiri justru sekarang harus bisa bersikap terbuka terhadap budaya lain. Hal ini disebabkan faktor pendatang yang masuk ke dalam tanah Pasundan yang juga memiliki adat dan kebiasaan tersendiri. Tidak hanya itu, GKP yang saat ini ada dan berkembang di era globalisasi, harus ikut menyesuaikan diri dengan budaya global saat ini. Meski demikian, GKP masih memiliki ciri sebagai gereja Sunda, yakni dengan masih digunakannya Kidung Kabungahan, sebagai buku lagu berbahasa Sunda dalam ibadah di GKP.
            GKJ berbeda dengan GKP, sebab GKJ masih berpegang pada pendiriannya yang kuat menjadi gereja berlatar belakang budaya Jawa. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa orang-orang Jawa memiliki sifat dan sejarah berbeda dengan orang Sunda. Tidak ada masalah bagi orang Jawa untuk berpindah agama, tetapi menjadi masalah bagi orang Sunda untuk berpindah agama. Sebab bagi orang Jawa agama sama saja, tetapi bagi orang Sunda, jika mereka bukan Islam, meski garis keturunan mereka Sunda, maka mereka bukanlah orang Sunda. Dalam bidang iptek, GKP dan GKJ sama-sama menerima kemajuan iptek, khususnya dalam hal komunikasi (internet) serta mendalaminya. Di sisi lain, jika GKP mendirikan PT untuk menunjang kebutuhan dana pelayanan, GKJ lebih terkonsen lagi dalam menghadapi iptek di bidang pertanian sebab mereka memiliki LSM Trukajaya. Kemajuan iptek di era globalisasi boleh saja gereja serap dan pakai guna menunjang kemajuan gereja dan umat, namun di sisi lain gereja juga harus bisa memilah secara kritis, mana kemajuan iptek yang pantas dan layak kita terima dan kembangkan.
Daftar Pustaka
Aritonang, Jan S. et al. (eds.). 2008. A History of Christianity in Indonesia. Leiden: BRILL
Aritonang, Jan S. 42010.  Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Damayanti, Christie. Respon Antusias Orang Tua tentang ‘Internet Sehat’ di GKJ Eben Haezer. 11 Juni 2012. http://media.kompasiana.com/new-media/2012/06/11/respon-antusias-orang-tua-tentang-internet-sehat-di-gkj-eben-haezer-463855.html (diakses Maret 1, 2014).
Kraemer, Hendrik. 1958. From Missionfield to Independent Church. Den Haag: Boekencentrum.
Paradisa, Gendhis. 2009. Ensiklopedia Seni & Budaya Nusantara. Jakarta: Kawan        Pustaka.
Purnomo, Hadi. 1988. Benih yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa. Yogyakarta:       Taman Pustaka Kristen Gunung Mulia.
Rikin, W. Mintardja. 1994. Peranan Sunat dalam Pola Hidup Masyarakat Sunda.
Singgih, E.G. "Perjumpaan Gereja dengan Budaya", dalam Perjumpaan Gereja di Indonesia dengan Dunianya yang Sedang Berubah (Hasil Studi Institut Sejarah Gereja 5-15 Juli 1993, di Kaliurang), ed. Chris Hartono et al., h. 135-159. Jakarta: Persetia, 1995.
Soejana, Koernia Atje. 1975. Benih Yang Tumbuh 2. Jakarta: LPS DGI & Bandung: Sinode GKP.
Soejana, Koernia Atje. 2008. Berakar, Tumbuh, Berkembang & Berbuah: Mengupas Kisah Perjalanan Injil di GKP Jemaat Kampung Sawah. Kampung Sawah: Majelis Gereja Kristen Pasundan Kampung Sawah.
Sumamihardja, A. Suhandi. “Agama, Kepercayaan, dan Sistem Pengetahuan”, dalam Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, ed. Edi S. Ekadjati, h. 277-305. Bandung:           Girimukti Pasaka, 1984.




[1] yang saat itu Anthing kenal adalah masyarakat Sunda Ngelmu
[2] ngelmu
[3] LSM ini menjadi tempat di mana saya menjalani Praktik Lapangan dari STT Jakarta selama 3 bulan.