Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan
yang kaya akan ragam budaya dan tradisi, demikian Gendhis Paradisa
mengungkapkan hal itu melalui prakatanya dalam sebuah ensiklopedia yang ia
tulis (Gendhis 2009, iii). Hal tersebut memang tak dapat dipungkiri oleh
siapapun, termasuk para zendeling yang
hendak mengabarkan Injil di Indonesia. Kraemer mengungkapkan sebuah fakta bahwa
bagi orang Timur (termasuk Indonesia), adat dan budaya adalah salah satu unsur
penting dalam tatanan masyarakat (Kraemer 1958, 99). Fakta ini baru diungkapkan
Kraemer setelah melihat pengalaman para zendeling yang hendak mengabarkan Injil
ke Nusantara. Pernyataan Kraemer tersebut muncul juga akibat tindakan
para zendeling yang tidak memperhitungkan kebudayaan setempat, padahal
kekristenan pun berasal dari Timur yang sangat kuat kebudayaannya.
Gerrit Singgih dalam tulisannya
mengenai perjumpaan gereja dengan budaya menuturkan 5 sikap terhadap budaya
yang diungkapan oleh Niebuhr, yakni
sikap radikal, akomodatif, sintetik, dualistik, dan transformatif (Singgih
1995, 137) .
Kebanyakan para zendeling datang mengabarkan Injil ke Indonesia dan bersikap radikal
seperti apa yang Niebuhr kemukakan
yakni, sikap yang samasekali tidak mengakui hubungan antara iman dan budaya.
Iman datang dari atas, dari Tuhan, sedangkan budaya datang dari bawah, dari
manusia. Iman selalu menghakimi kebudayaan, karena kebudayaan dianggap selalu
jahat. Para zendeling tidak mengikuti arus budaya di negeri asal mereka dan
ketika sampai di Indonesia, mereka menganjurkan murid-murid mereka untuk
bersikap sama. Tidak heran kalau banyak dari murid-murid di Timur sadar atau
tidak bersikap sangat radikal. Tentu ada yang perlu dihakimi dalam kebudayaan,
baik kebudayaan Barat maupun Timur, namun perlu diingat bahwa tidak ada orang
yang tidak memiliki latar belakang kebudayaan. Para zendeling pun mengikuti
pola kebudayaan Barat, tetapi yang 50-100 tahun lebih tua dari pola kebudayaan
Barat yang sedang menjadi arus dominan (Singgih 1995, 137) .
Secara spesifik, paper ini akan
membahas bagaimana kekristenan berjumpa dengan budaya Sunda dan Jawa, yang
merupakan salah satu budaya Indonesia, dan juga kekristenan dengan budaya
global. Ya, banyak yang bersikap radikal seperti yang diungkapkan Kraemer dan
Singgih, namun ada juga zendeling maupun missionaris yang tidak mentah-mentah
menolak kebudayaan. Untuk itu kita akan membahasnya lebih dalam.
Perjumpaan Kekristenan
dengan Budaya dan Masyarakat Sunda (GKP)
Masyarakat Sunda sebagian besar
menganut agama Islam, namun demikian dalam kehidupan sehari-hari masih tampak
unsur-unsur kepercayaan dan adat/budaya masyarakat Sunda. Oleh sebab itu, sulit bagi kita
memisahkan agama dengan sistem kepercayaan, sebab baik agama maupun sistem
kepercayaan yang masih dijalankan oleh sebagian orang Sunda berfungsi untuk
mengatur sikap dan sistem nilai. Bahkan Sumamihardja mengungkapkan bahwa
unsur-unsur Islam dan unsur-unsur kepercayaan asli tampaknya telah
terintegrasikan menjadi satu dalam sistem kepercayaan dan ditanggapi oleh
masyarakat Sunda dengan emosi yang sama. Tidak hanya kepercayaan saja,
upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran hidup (Tali
Paranti) juga masih diterapkan meski mereka beragama Islam (Sumamihardja 1984, 283) . Ngabersihan adalah salah satu tradisi
yang diterapkan orang Sunda baik secara duniawi/profan maupun secara
rohani/sakral. Penerapan kata ngabersihan
dalam arti duniawi dapat kita jumpai, umpamanya ngabersihan kebon (membersihkan kebun), yang dalam arti rohani ngabersihan diri (membersihkan diri,
menyucikan diri, dan meninggalkan diri dari yang bersifat duniawi). Menurut
Rikin, kata ngabersihan ini jika
diselidiki lebih mendalam, maka kita akan jumpai bahwa dalam perasaan orang
Sunda tidak ada perbedaan pengertian antara rohani dan duniawi (Rikin 1994,
35).
Tidak hanya soal asimilasi budaya
Sunda dengan Islam, para zendeling pun tidak cermat dalam memahami sifat dan
tabiat orang Sunda. Orang Sunda terkenal sebagai orang yang gembira dan ramah-tamah, juga sangat menghargai dan menghormati orang lain. Sifat
menghormati orang lain ini justru membuat
orang Sunda tidak mau secara blak-blakan mengemukakan sesuatu hal yang
kira-kira akan menyinggung perasaan orang lain. Sebab itu sesuatu maksud yang
tertentu akan mereka ungkapkan melalui cara yang halus sehingga akan sulit
ditangkap oleh orang yang tidak mengenal sifat orang Sunda (Soejana 1975,13).
Kekristenan masuk ke tanah Sunda
dengan latar belakang seperti yang telah dijelaskan tadi. Orang-orang Sunda
umumnya memeluk agama Islam yang telah berasimilasi dengan budaya lokal
masyarakat Sunda. Tidak hanya sekadar berasimilasi, bahkan budaya Sunda
dipandang sebagai dasar agama Islam (Aritonang 2008, 650), bahkan
agama Islam dalam kehidupan orang Sunda menjadi mahkota adat Sunda (Soejana
1975, 12). Di sisi lain, para zendeling masuk dengan budaya Barat yang
kuat. Semisal Albers, Grashuis, dan Van der Linden, mereka
masuk ke tanah Pasundan dan mendapati tanah Pasundan bersikap acuh-tak-acuh terhadap zendeling yang datang hendak mengabarkan Injil. Kraemer
mencatat bahwa sikap acuh-tak-acuh pribumi
Sunda adalah akibat dari kesalahan mereka sendiri. Mereka tidak menjajagi iklim
spiritual dari daerah itu dan keadaan orang-orang di tempat mereka tinggal
(Kraemer 1958, 98). Hal-hal seperti kebangsaan, keturunan, kebudayaan, dan
pandangan hidup menyebabkan adanya jurang pemisah yang dalam antara dunia
pribumi dan orang-orang Eropa (Kraemer 1958, 99).
Para zendeling pun terjebak pada
sifat dan tabiat orang Sunda yang tidak secara langsung menentang dan mempersoalkan
mereka (para zendeling) yang hendak mengabarkan Injil. Sebab ada istilah dalam
bahasa Sunda, sumuhun, yang berarti meng-iya-kan, tetapi sebenarnya
tidak selalu berarti meng-iya-kan. Sikap acuh-tak-acuh yang
disebutkan Kraemer mungkin saja karena kesalahpahaman para zendeling yang berpikir
bahwa mereka diterima oleh pribumi Sunda, padahal tidak.
Keterbatasan pengetahuan akan budaya dan masyarakat Sunda sangatlah fatal bagi
para zendeling pertama yang diutus untuk mengabarkan Injil di tanah Sunda
(Soejana 1975, 13).
Beberapa nama besar zendeling yang
masuk dalam daftar orang yang berandil besar dalam pekabaran Injil kepada
pribumi Sunda adalah J. Verhoeven dan F. L. Anthing. Verhoeven adalah seorang
missionaris yang terhormat di Jawa Barat. Ia melihat bahwa pendapat orang untuk
penginjilan dari pintu ke pintu sebagaimana diinginkan oleh badan zending
Belanda yang memang dilaksanakan oleh para zendeling bukanlah jalan yang tepat.
Ia memahami bahwa masyarakat, khususnya masyarakat desa dengan sistemnya/ adatnya yang
rumit/kompleks dan pengertian-pengertian yang ada, merupakan benteng pertahanan yang hampir tak dapat ditembus
sehingga segala upaya kandas. Pada akhirnya, pemahaman ini membawa Verhoeven
pada sebuah kesimpulan bahwa metode yang dipakai dalam pekerjaan para zendeling
adalah sia-sia. Ia berpikir bahwa hanya dengan mencari suatu tempat di luar
benteng pertahanan tadi, dengan
maksud menghindari pengaruh yang hampir tak mungkin terkalahkan, yakni
peraturan-peraturan sosio-religi masyarakat desa, jemaat Kristen bisa tumbuh (Kraemer 1958, 101). Menurut Verhoeven, pandangan masyarakat
pribumi Sunda kepada orang-orang Sunda yang menjadi Kristen adalah: mereka
telah menjadi orang-orang buangan yang kehilangan segala hak pribadinya. Hanya
karena Pemerintah Belanda sajalah jiwa-jiwa mereka terhindar dari marabahaya.
Untuk menghindari sistem sosial yang ada, Verhoeven mencoba keluar dan
mendirikan sebuah perkampungan dalam suasana merdeka. Rencananya ialah ia mulai
dengan sebidang tanah tempat tinggal orang-orang Kristen, sehingga dapat hidup sebagai warga merdeka, berada bawah
pemerintahan yang terdiri dari orang-orang Kristen pula dan menurut
prinsip-prinsip dan peraturan sendiri, tak lagi hidup di bawah pemerintahan
Lebai dan Pamong Desa yang terikat oleh adat sosio-religi mereka (Kraemer 1958,
102).
Berbeda dengan Verhoeven, Anthing yang
juga adalah seorang zendeling justru begitu memperhatikan adat/kebiasaan
pribumi Sunda dalam melaksanakan pekabaran Injil. Ia sebagai seorang pekabar
Injil tidak menjadi alat sebuah organisasi Belanda, juga bukan sebagai
pengkhotbah Kekristenan. Anthing dan para muridnya justru menampilkan diri
sebagaimana adanya seorang penduduk pribumi Sunda[1].
Dengan cara ini orang-orang dapat didekatkan kepada pokok isi Injil tanpa
gangguan cap/ciri khas. Cara ia memberitakan Injil adalah dengan menyesuaikan
kepada bagian yang peka dalam hati seseorang pribumi, yakni hasrat yang mendalam
akan memperoleh suatu rahasia keselamatan yang memberi kelanggengan kepada
manusia[2].
Cara Anthing ini dicatat oleh Kraemer cukup berhasil. Anthing berpendapat bahwa
Injil harus disampaikan kepada pribumi dengan cara pribumi pula (Soejana 2008,
17). Misalnya, tanda-tanda Kekristenan seperti Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman
Rasuli, dan Sepuluh Perintah Allah yang telah diperkenalkan sebagai
rahmat-rahmat bertuah dipakai untuk mencegah malapetaka. Namun cara Anthing ini
memiliki kelemahan. Kelemahan metode Anthing menurut Kraemer ialah bahwa dalam
menyajikan Injil ia berhenti pada tingkat permulaan dan tidak mempertimbangkan
masak-masak bagaimana membawa masyarakat pribumi Sunda kepada pernyataan Injil
sebagai pengubah total pemikiran, perasaan, dan kemauan. Pada akhirnya, Anthing
harus menjadi korban kelemahannya sendiri sebab para muridnya sendiri tidak
cukup mendapat bimbingan dalam hal kekristenan (Kraemer 1958, 100). Namun,
kelompok-kelompok Anthing-lah yang mampu menyusup masuk ke dalam pribumi-pribumi
Sunda, karena ia dibantu oleh para zendeling pribumi. Beberapa kelompok Kristen
asuhan Anthing adalah Cikuya (Adolf Muhlnickle), Cakung (Johanes Vrede), dan Tangerang
(Sperhack) (Soejana 1958, 18).
Di kemudian hari, gereja Sunda yang
berkembang menjadi GKP harus menyesuaikan diri dengan dampak globalisasi yang
terjadi di dunia. Perkembangan Iptek membuat GKP harus mengikuti perkembangan
zaman. Untuk itu disetiap klasis di sinode GKP, dibentuklah tim IT yang
bertugas untuk melakukan perkembangan informasi dan teknologi melalui
website-website yang dapat diakses oleh warga jemaat guna memperoleh informasi
perkembangan dan kegiatan GKP. Selain itu, GKP mengambil langkah maju yang
cukup besar dengan mendirikan sebuah PT. GKP, di mana PT. itu menjadi salah satu
sumber dana GKP untuk melakukan pelayanan. Namun isu-isu budaya global yang
menguat seperti LGBT, belum secara serius dipikirkan oleh GKP, secara khusus
dibicarakan dalam sidang-sidang sinodal.
Perjumpaan
Kekristenan dengan Budaya dan Masyarakat Jawa (GKJ)
Penduduk Jawa, khususnya Jawa Tengah, berkembang dengan struktur kemasyarakatan yang feodalistik akibat
pengaruh sejarah kerajaan yang ada di Jawa. Feodalistik yang dimaksudkan adalah
pemikiran kekastaan yang mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kerja dan
kedudukan seseorang. Namun, dalam bidang kerohanian, masyarakat Jawa merupakan
masyarakat yang terbuka. Keterbukaan itu tampak di
dalam keterbukaan menerima agama atau kepercayaan apapun yang datang dari luar.
Akan tetapi keterbukaan itu sekaligus mengandung ketertutupan, sebab meskipun
menerima agama atau kepercayaan lain, orang Jawa akan tetap mempertahankan
agama dan kepercayaan yang dimilikinya (animisme-dinamisme). Pandangan masyarakat
Jawa terhadap agama-agama menjadi netral, bahwa semua agama itu sama saja,
ibarat orang pergi ke pasar bisa lewat jalan manapun. Agama juga diibaratkan
sebagai pakaian yang dapat dipakai kalau suka, dapat diganti yang lain jika
dirasa kurang cocok (Purnomo 1988, 24).
Kyai Sadrach adalah orang yang tak dapat dipisahkan dari
pertumbuhan dan perkembangan Gereja-gereja Kristen Jawa di kemudian hari. Kyai
Sadrach terkenal dengan perkembangan Kekristenan yang bertemu dengan budaya
Jawa (Purnomo 1988, 17). Sadrach adalah
juga murid Anthing yang mewarisi keahlian Anthing yang melakukan pekabaran
Injil dengan metode pendekatan budaya. Pendekatan budaya yang dimaksudkan ialah
dengan cara “sarasehan”, semacam perdebatan antara Kyai (ulama) dengan Ulama
agama lain, atau tokoh kebatinan. Metode ini banyak dipakai oleh para pendeta
Jawa dalam pekabaran Injil selanjutnya. Pendekatan Kyai Sadrach berbeda dengan
para zendeling yang menentang apa saja yang berbau Jawa dan menganggap tradisi
serta kebudayaan Jawa sebagai berbahaya atau setidaknya harus dianggap dapat
membahayakan Iman. Sadrach justru menggunakan dan mengembangkan tradisi serta
kebudayaan Jawa di dalam kekristenannya (Purnomo 1988, 29).
Selain Kyai Sadrach muncul pula
sosok Ibrahim Tunggul Wulung. Tunggul Wulung sendiri memiliki legenda bahwa
ketika ia turun gunung, secara ajaib ia menemukan salinan Dasa Titah di bawah
tikar tempat tidurnya. Ia memandang bahwa titah-titah inilah yang menjadi tanda
kedatangan Mesias bagi mereka yang ingin keluar dari rumah ‘perhambaan’ (Aritonang
2010, 93). Tunggul Wulung setelah dibaptiskan membuka sebuah hutan Bondo, yang
kemudian diberi nama Banyutowo dan kemudian mendirikan desa lain yakni
Tegalombo. Di sana Tunggul Wulung berperan sebagai pendiri, kepala desa, dan
pengkhotbah tentang Ratu Adil Isa
Rohallah. Tunggul Wulung sendiri sangat Jawa, karena terlihat dari pandangannya
bahwa agama Islam dan Kristen sebenarnya sama, karena Muhammad juga dihormati
di dalam Injil (Aritonang 2010, 95). Tunggul Wulung memakai konsep Ratu Adil,
Messiah Jawa dalam mengajarkan agama Kristen. Tunggul Wulung berhasil
menghimpun umat dan mendirikan sejumlah jemaat “Kristen-Jowo” yang jumlahnya
lebih besar dibandingkan dengan “Kristen-Londo” yang dikumpulkan para
zendeling. Meski demikian, Tunggul Wulung dikenal sebagai seorang penginjil
yang sangat dangkal pemahamannya tentang Injil itu sendiri. Menurut Hoezoo,
Tunggul Wulung mencampurkan ajaran Kekristenan dengan menggunakan pengetahuan
yang luas tentang Islam Jawa dan dianggap baik makna maupun tujuannya
(Aritonang 2010, 95).
GKJ yang akhirnya bertumbuh dan
berkembang di Indonesia sebagai sebuah sinode yang cukup besar ternyata melihat
juga tantangan akan budaya global yang berkembang saat ini. GKJ dalam menghadapi
arus globalisasi terutama dalam bidang komunikasi (internet) mengambil langkah
pasti. Salah satunya terdapat di GKJ Eben Haezer Pasar Minggu. Di sana, mereka
menggelar program ‘internet sehat’ bekerja sama dengan kompasiana.com (Damayanti 2012) . Itu adalah salah
satu bentuk nyata GKJ dalam menghadapi globalisasi di bidang komunikasi. Menghadapi
era globalisasi, GKJ yang memiliki LSM bernama Trukajaya[3]
ikut memerangi dampak globalisasi di bidang teknologi pertanian. Jemaat-jemaat
GKJ yang umumnya masih berada di pedesaan dan mayoritas penduduk sekitar
bermata pencaharian sebagai petani, mengajak seluruh masyarakat untuk
memelihara lingkungan dengan bercocok tanam tanaman organik, yang tidak memakai
pupuk kimia guna menjaga kelestarian lingkungan terkhusus tanah. Dengan
berdirinya LSM Trukajaya, GKJ menjadi terkonsentrasi untuk menghadapi tantangan
globalisasi yang menawarkan hal-hal instan kepada masyarakat tanpa memikirkan
dampak negatif yang berkelanjutan.
Refleksi
Kekristenan
masuk ke Indonesia dengan membawa tradisi dan budaya Barat yang
begitu kental. Tradisi dan budaya Barat itu
seringkali dipaksakan dan dimasukkan ke dalam sistem budaya lokal Indonesia,
secara khusus budaya Sunda dan Jawa. Kebudayaan lokal yang sudah terbentuk
sulit untuk digubah dan banyak zendeling datang dan mencoba menggubah budaya
lokal menjadi budaya Barat.
GKP misalnya, sebagai gereja di bumi
Pasundan, pada masa pekabaran Injil tak dapat dipaksakan untuk menerima budaya Barat, sebab
sistem masyarakatnya sangat memegang adat istiadat Sunda. Berbeda dengan zaman dulu
yang sangat memegang adat istiadat Sunda, GKP yang telah menjadi gereja yang
mandiri justru sekarang harus bisa bersikap terbuka terhadap budaya lain. Hal
ini disebabkan faktor pendatang yang masuk ke dalam tanah Pasundan yang juga
memiliki adat dan kebiasaan tersendiri. Tidak hanya itu, GKP yang saat ini ada
dan berkembang di era globalisasi, harus ikut menyesuaikan diri dengan budaya
global saat ini. Meski demikian, GKP masih memiliki ciri sebagai gereja Sunda,
yakni dengan masih digunakannya Kidung Kabungahan, sebagai buku lagu berbahasa
Sunda dalam ibadah di GKP.
GKJ berbeda dengan GKP, sebab GKJ
masih berpegang pada pendiriannya
yang kuat menjadi gereja berlatar belakang budaya Jawa. Sebab tak dapat
dipungkiri bahwa orang-orang Jawa memiliki sifat dan sejarah berbeda dengan
orang Sunda. Tidak ada masalah bagi orang Jawa untuk berpindah agama, tetapi
menjadi masalah bagi orang Sunda untuk berpindah agama. Sebab bagi orang Jawa
agama sama saja, tetapi bagi orang Sunda, jika mereka bukan Islam, meski garis
keturunan mereka Sunda, maka mereka bukanlah orang Sunda. Dalam bidang iptek,
GKP dan GKJ sama-sama menerima kemajuan iptek, khususnya dalam hal komunikasi
(internet) serta mendalaminya. Di sisi lain, jika GKP mendirikan PT untuk
menunjang kebutuhan dana pelayanan, GKJ lebih terkonsen lagi dalam menghadapi
iptek di bidang pertanian sebab mereka memiliki LSM Trukajaya. Kemajuan iptek
di era globalisasi boleh saja gereja serap dan pakai guna menunjang kemajuan
gereja dan umat, namun di sisi lain gereja juga harus bisa memilah secara
kritis, mana kemajuan iptek yang pantas dan layak kita terima dan kembangkan.
Daftar
Pustaka
Aritonang,
Jan S. et al. (eds.).
2008. A
History
of Christianity in Indonesia.
Leiden: BRILL
Aritonang, Jan S. 42010. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Damayanti, Christie. Respon Antusias Orang Tua tentang
‘Internet Sehat’ di GKJ Eben Haezer. 11 Juni 2012.
http://media.kompasiana.com/new-media/2012/06/11/respon-antusias-orang-tua-tentang-internet-sehat-di-gkj-eben-haezer-463855.html
(diakses Maret 1, 2014).
Kraemer, Hendrik. 1958. From Missionfield to Independent Church. Den
Haag: Boekencentrum.
Paradisa,
Gendhis. 2009. Ensiklopedia Seni &
Budaya Nusantara. Jakarta: Kawan Pustaka.
Purnomo,
Hadi. 1988. Benih yang Tumbuh dan Berkembang di
Tanah Jawa. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen Gunung Mulia.
Rikin, W.
Mintardja. 1994. Peranan Sunat dalam Pola
Hidup Masyarakat Sunda.
Singgih, E.G. "Perjumpaan Gereja dengan Budaya", dalam Perjumpaan Gereja di Indonesia dengan Dunianya yang Sedang Berubah
(Hasil Studi Institut Sejarah Gereja 5-15 Juli 1993, di Kaliurang), ed. Chris Hartono et al., h. 135-159. Jakarta: Persetia, 1995.
Soejana,
Koernia Atje. 1975. Benih Yang Tumbuh 2. Jakarta: LPS DGI & Bandung: Sinode GKP.
Soejana,
Koernia Atje. 2008. Berakar, Tumbuh,
Berkembang & Berbuah: Mengupas Kisah Perjalanan Injil di GKP Jemaat Kampung
Sawah. Kampung Sawah: Majelis Gereja Kristen Pasundan Kampung Sawah.
Sumamihardja, A. Suhandi. “Agama, Kepercayaan, dan Sistem Pengetahuan”, dalam Masyarakat
Sunda dan Kebudayaannya, ed. Edi S.
Ekadjati, h. 277-305. Bandung: Girimukti
Pasaka, 1984.
Secara hati nurani dan rasio,isi/ayat ayat Bibel/Injil bagi umat kristiani berisi informasi dan ajaran yg sangat mengandung kebenaran mutlak dibanding kitab suci dr agama non kristiani. Demikian juga ajaran KASIH dr Tuhan Bpk dan Tuhan Yesus selalu nyata KARUNIA KASIH selalu dikaruniakan pd umat Kristiani. Karunia Kasih berupa pengampunan dosa,rasa aman lahir batin,kelancaran dan kesuksesan dlm usaha apa saja dsb. Apalagi jika usaha mengamalkan ayat bibel/injil dgn penuh iman akan karunia kasih. Maka dr itu saudara sbg mahasiswa teologi amalkan ayat bibel/injil yg mengisahkan kisah Nabi Nabi kristiani,salah satu contoh kisah Nabi Luth dgn ke2 anak perempuan kandungnya. Amalkan dgn cara diinformasikan dlm bentuk cerita tertulis dan cerita bergambar (komik),cetak dan sebarkan dgn sistim jual pd anak didik tingkt SD,SLP,SLA. Sebagai try out pd lingkungan sekolah milik yayasan kristen dahulu,jika sukses sebaran kesekolah non kristen,misal sekolah negri. Atas keyakinan akan Karunia Kasih dipastikan lancar dlm urusan dana/biaya,penyebaran dsb. Juga atas keyakinan yg dilandasi iman yg tinggi dan tulus pd Tuhan Bpk dan Tuhan Yesus,pasti akan memperoleh kemudahan dlm perijinan cetak dan penyebaran. Atas karunia Kasih juga akan mengangkat nama/kemashuran dan keuntungan materi/uang dr hasil penjualan. Akibat dr penyebaran kisah Nabi Luth tsb,yg berupa kerusakan moral adalah tanggung jawab mutlak Tuhan Bpk dan Tuhan Yesus,jadi anda tetap aman,dpt kemashuran nama,dpt keuntungan uang dan dpt pengampunan dosa. Demikin juga jika saudara mengamalkan/mengibformasikan ayat ayat bibel/injil yg bersifat Sensasional dgn cara yg sama spt tersebut diatas maka akan dpt kelancaran,kesuksesan,keuntungan uang,kemashuran nama dan keselamatan dunia akhirat. Karena akibat dr menginformasikan ayat ayat yg besifat sensasional yg berupa kerusakan mental dan rasio adalah mutlak tanggung jawab Tuhan Bpk dan Tuhan Yesus. Sekian.
ReplyDeleteMohon maaf, sy tdk mengerti komentar bapak.. mohon diperjelas dan apa kaitannya dgn tulisan sy di atas? Trims, God Bless..
Delete