Monday, March 3, 2014

Sejarah Perjumpaan Gereja Indonesia dengan Budaya Lokal (Sunda dan Jawa) & Global

Pendahuluan
            Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan ragam budaya dan tradisi, demikian Gendhis Paradisa mengungkapkan hal itu melalui prakatanya dalam sebuah ensiklopedia yang ia tulis (Gendhis 2009, iii). Hal tersebut memang tak dapat dipungkiri oleh siapapun, termasuk para zendeling yang hendak mengabarkan Injil di Indonesia. Kraemer mengungkapkan sebuah fakta bahwa bagi orang Timur (termasuk Indonesia), adat dan budaya adalah salah satu unsur penting dalam tatanan masyarakat (Kraemer 1958, 99). Fakta ini baru diungkapkan Kraemer setelah melihat pengalaman para zendeling yang hendak mengabarkan Injil ke Nusantara. Pernyataan Kraemer tersebut muncul juga akibat tindakan para zendeling yang tidak memperhitungkan kebudayaan setempat, padahal kekristenan pun berasal dari Timur yang sangat kuat kebudayaannya.
            Gerrit Singgih dalam tulisannya mengenai perjumpaan gereja dengan budaya menuturkan 5 sikap terhadap budaya yang diungkapan oleh Niebuhr, yakni sikap radikal, akomodatif, sintetik, dualistik, dan transformatif (Singgih 1995, 137). Kebanyakan para zendeling datang mengabarkan Injil ke Indonesia dan bersikap radikal seperti apa yang Niebuhr kemukakan yakni, sikap yang samasekali tidak mengakui hubungan antara iman dan budaya. Iman datang dari atas, dari Tuhan, sedangkan budaya datang dari bawah, dari manusia. Iman selalu menghakimi kebudayaan, karena kebudayaan dianggap selalu jahat. Para zendeling tidak mengikuti arus budaya di negeri asal mereka dan ketika sampai di Indonesia, mereka menganjurkan murid-murid mereka untuk bersikap sama. Tidak heran kalau banyak dari murid-murid di Timur sadar atau tidak bersikap sangat radikal. Tentu ada yang perlu dihakimi dalam kebudayaan, baik kebudayaan Barat maupun Timur, namun perlu diingat bahwa tidak ada orang yang tidak memiliki latar belakang kebudayaan. Para zendeling pun mengikuti pola kebudayaan Barat, tetapi yang 50-100 tahun lebih tua dari pola kebudayaan Barat yang sedang menjadi arus dominan (Singgih 1995, 137).
            Secara spesifik, paper ini akan membahas bagaimana kekristenan berjumpa dengan budaya Sunda dan Jawa, yang merupakan salah satu budaya Indonesia, dan juga kekristenan dengan budaya global. Ya, banyak yang bersikap radikal seperti yang diungkapkan Kraemer dan Singgih, namun ada juga zendeling maupun missionaris yang tidak mentah-mentah menolak kebudayaan. Untuk itu kita akan membahasnya lebih dalam.
Perjumpaan Kekristenan dengan Budaya dan Masyarakat Sunda (GKP)
            Masyarakat Sunda sebagian besar menganut agama Islam, namun demikian dalam kehidupan sehari-hari masih tampak unsur-unsur kepercayaan dan adat/budaya masyarakat  Sunda. Oleh sebab itu, sulit bagi kita memisahkan agama dengan sistem kepercayaan, sebab baik agama maupun sistem kepercayaan yang masih dijalankan oleh sebagian orang Sunda berfungsi untuk mengatur sikap dan sistem nilai. Bahkan Sumamihardja mengungkapkan bahwa unsur-unsur Islam dan unsur-unsur kepercayaan asli tampaknya telah terintegrasikan menjadi satu dalam sistem kepercayaan dan ditanggapi oleh masyarakat Sunda dengan emosi yang sama. Tidak hanya kepercayaan saja, upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran hidup (Tali Paranti) juga masih diterapkan meski mereka beragama Islam (Sumamihardja 1984, 283). Ngabersihan adalah salah satu tradisi yang diterapkan orang Sunda baik secara duniawi/profan maupun secara rohani/sakral. Penerapan kata ngabersihan dalam arti duniawi dapat kita jumpai, umpamanya ngabersihan kebon (membersihkan kebun), yang dalam arti rohani ngabersihan diri (membersihkan diri, menyucikan diri, dan meninggalkan diri dari yang bersifat duniawi). Menurut Rikin, kata ngabersihan ini jika diselidiki lebih mendalam, maka kita akan jumpai bahwa dalam perasaan orang Sunda tidak ada perbedaan pengertian antara rohani dan duniawi (Rikin 1994, 35).
            Tidak hanya soal asimilasi budaya Sunda dengan Islam, para zendeling pun tidak cermat dalam memahami sifat dan tabiat orang Sunda. Orang Sunda terkenal sebagai orang yang gembira dan ramah-tamah, juga sangat menghargai dan menghormati orang lain. Sifat menghormati orang lain ini justru membuat orang Sunda tidak mau secara blak-blakan mengemukakan sesuatu hal yang kira-kira akan menyinggung perasaan orang lain. Sebab itu sesuatu maksud yang tertentu akan mereka ungkapkan melalui cara yang halus sehingga akan sulit ditangkap oleh orang yang tidak mengenal sifat orang Sunda (Soejana 1975,13).
            Kekristenan masuk ke tanah Sunda dengan latar belakang seperti yang telah dijelaskan tadi. Orang-orang Sunda umumnya memeluk agama Islam yang telah berasimilasi dengan budaya lokal masyarakat Sunda. Tidak hanya sekadar berasimilasi, bahkan budaya Sunda dipandang sebagai dasar agama Islam (Aritonang 2008, 650), bahkan agama Islam dalam kehidupan orang Sunda menjadi mahkota adat Sunda (Soejana 1975, 12). Di sisi lain, para zendeling masuk dengan budaya Barat yang kuat. Semisal Albers, Grashuis, dan Van der Linden, mereka masuk ke tanah Pasundan dan mendapati tanah Pasundan bersikap acuh-tak-acuh terhadap zendeling yang datang hendak mengabarkan Injil. Kraemer mencatat bahwa sikap acuh-tak-acuh pribumi Sunda adalah akibat dari kesalahan mereka sendiri. Mereka tidak menjajagi iklim spiritual dari daerah itu dan keadaan orang-orang di tempat mereka tinggal (Kraemer 1958, 98). Hal-hal seperti kebangsaan, keturunan, kebudayaan, dan pandangan hidup menyebabkan adanya jurang pemisah yang dalam antara dunia pribumi dan orang-orang Eropa (Kraemer 1958, 99).
            Para zendeling pun terjebak pada sifat dan tabiat orang Sunda yang tidak secara langsung menentang dan mempersoalkan mereka (para zendeling) yang hendak mengabarkan Injil. Sebab ada istilah dalam bahasa Sunda, sumuhun,  yang berarti meng-iya-kan, tetapi sebenarnya tidak selalu berarti meng-iya-kan. Sikap acuh-tak-acuh yang disebutkan Kraemer mungkin saja karena kesalahpahaman para zendeling yang berpikir bahwa mereka diterima oleh pribumi Sunda, padahal tidak. Keterbatasan pengetahuan akan budaya dan masyarakat Sunda sangatlah fatal bagi para zendeling pertama yang diutus untuk mengabarkan Injil di tanah Sunda (Soejana 1975, 13).
            Beberapa nama besar zendeling yang masuk dalam daftar orang yang berandil besar dalam pekabaran Injil kepada pribumi Sunda adalah J. Verhoeven dan F. L. Anthing. Verhoeven adalah seorang missionaris yang terhormat di Jawa Barat. Ia melihat bahwa pendapat orang untuk penginjilan dari pintu ke pintu sebagaimana diinginkan oleh badan zending Belanda yang memang dilaksanakan oleh para zendeling bukanlah jalan yang tepat. Ia memahami bahwa masyarakat, khususnya masyarakat desa dengan sistemnya/ adatnya yang rumit/kompleks dan pengertian-pengertian yang ada, merupakan benteng pertahanan yang hampir tak dapat ditembus sehingga segala upaya kandas. Pada akhirnya, pemahaman ini membawa Verhoeven pada sebuah kesimpulan bahwa metode yang dipakai dalam pekerjaan para zendeling adalah sia-sia. Ia berpikir bahwa hanya dengan mencari suatu tempat di luar benteng pertahanan tadi, dengan maksud menghindari pengaruh yang hampir tak mungkin terkalahkan, yakni peraturan-peraturan sosio-religi masyarakat desa, jemaat Kristen bisa tumbuh (Kraemer 1958, 101). Menurut Verhoeven, pandangan masyarakat pribumi Sunda kepada orang-orang Sunda yang menjadi Kristen adalah: mereka telah menjadi orang-orang buangan yang kehilangan segala hak pribadinya. Hanya karena Pemerintah Belanda sajalah jiwa-jiwa mereka terhindar dari marabahaya. Untuk menghindari sistem sosial yang ada, Verhoeven mencoba keluar dan mendirikan sebuah perkampungan dalam suasana merdeka. Rencananya ialah ia mulai dengan sebidang tanah tempat tinggal orang-orang Kristen, sehingga dapat hidup sebagai warga merdeka, berada bawah pemerintahan yang terdiri dari orang-orang Kristen pula dan menurut prinsip-prinsip dan peraturan sendiri, tak lagi hidup di bawah pemerintahan Lebai dan Pamong Desa yang terikat oleh adat sosio-religi mereka (Kraemer 1958, 102).
            Berbeda dengan Verhoeven, Anthing yang juga adalah seorang zendeling justru begitu memperhatikan adat/kebiasaan pribumi Sunda dalam melaksanakan pekabaran Injil. Ia sebagai seorang pekabar Injil tidak menjadi alat sebuah organisasi Belanda, juga bukan sebagai pengkhotbah Kekristenan. Anthing dan para muridnya justru menampilkan diri sebagaimana adanya seorang penduduk pribumi Sunda[1]. Dengan cara ini orang-orang dapat didekatkan kepada pokok isi Injil tanpa gangguan cap/ciri khas. Cara ia memberitakan Injil adalah dengan menyesuaikan kepada bagian yang peka dalam hati seseorang pribumi, yakni hasrat yang mendalam akan memperoleh suatu rahasia keselamatan yang memberi kelanggengan kepada manusia[2]. Cara Anthing ini dicatat oleh Kraemer cukup berhasil. Anthing berpendapat bahwa Injil harus disampaikan kepada pribumi dengan cara pribumi pula (Soejana 2008, 17). Misalnya, tanda-tanda Kekristenan seperti Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, dan Sepuluh Perintah Allah yang telah diperkenalkan sebagai rahmat-rahmat bertuah dipakai untuk mencegah malapetaka. Namun cara Anthing ini memiliki kelemahan. Kelemahan metode Anthing menurut Kraemer ialah bahwa dalam menyajikan Injil ia berhenti pada tingkat permulaan dan tidak mempertimbangkan masak-masak bagaimana membawa masyarakat pribumi Sunda kepada pernyataan Injil sebagai pengubah total pemikiran, perasaan, dan kemauan. Pada akhirnya, Anthing harus menjadi korban kelemahannya sendiri sebab para muridnya sendiri tidak cukup mendapat bimbingan dalam hal kekristenan (Kraemer 1958, 100). Namun, kelompok-kelompok Anthing-lah yang mampu menyusup masuk ke dalam pribumi-pribumi Sunda, karena ia dibantu oleh para zendeling pribumi. Beberapa kelompok Kristen asuhan Anthing adalah Cikuya (Adolf Muhlnickle), Cakung (Johanes Vrede), dan Tangerang (Sperhack) (Soejana 1958, 18).
            Di kemudian hari, gereja Sunda yang berkembang menjadi GKP harus menyesuaikan diri dengan dampak globalisasi yang terjadi di dunia. Perkembangan Iptek membuat GKP harus mengikuti perkembangan zaman. Untuk itu disetiap klasis di sinode GKP, dibentuklah tim IT yang bertugas untuk melakukan perkembangan informasi dan teknologi melalui website-website yang dapat diakses oleh warga jemaat guna memperoleh informasi perkembangan dan kegiatan GKP. Selain itu, GKP mengambil langkah maju yang cukup besar dengan mendirikan sebuah PT. GKP, di mana PT. itu menjadi salah satu sumber dana GKP untuk melakukan pelayanan. Namun isu-isu budaya global yang menguat seperti LGBT, belum secara serius dipikirkan oleh GKP, secara khusus dibicarakan dalam sidang-sidang sinodal.
Perjumpaan Kekristenan dengan Budaya dan Masyarakat Jawa (GKJ)
Penduduk Jawa, khususnya Jawa Tengah, berkembang dengan struktur kemasyarakatan yang feodalistik akibat pengaruh sejarah kerajaan yang ada di Jawa. Feodalistik yang dimaksudkan adalah pemikiran kekastaan yang mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kerja dan kedudukan seseorang. Namun, dalam bidang kerohanian, masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang terbuka. Keterbukaan itu tampak di dalam keterbukaan menerima agama atau kepercayaan apapun yang datang dari luar. Akan tetapi keterbukaan itu sekaligus mengandung ketertutupan, sebab meskipun menerima agama atau kepercayaan lain, orang Jawa akan tetap mempertahankan agama dan kepercayaan yang dimilikinya (animisme-dinamisme). Pandangan masyarakat Jawa terhadap agama-agama menjadi netral, bahwa semua agama itu sama saja, ibarat orang pergi ke pasar bisa lewat jalan manapun. Agama juga diibaratkan sebagai pakaian yang dapat dipakai kalau suka, dapat diganti yang lain jika dirasa kurang cocok (Purnomo 1988, 24).
Kyai Sadrach adalah orang yang tak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan Gereja-gereja Kristen Jawa di kemudian hari. Kyai Sadrach terkenal dengan perkembangan Kekristenan yang bertemu dengan budaya Jawa (Purnomo 1988, 17).  Sadrach adalah juga murid Anthing yang mewarisi keahlian Anthing yang melakukan pekabaran Injil dengan metode pendekatan budaya.  Pendekatan budaya yang dimaksudkan ialah dengan cara “sarasehan”, semacam perdebatan antara Kyai (ulama) dengan Ulama agama lain, atau tokoh kebatinan. Metode ini banyak dipakai oleh para pendeta Jawa dalam pekabaran Injil selanjutnya. Pendekatan Kyai Sadrach berbeda dengan para zendeling yang menentang apa saja yang berbau Jawa dan menganggap tradisi serta kebudayaan Jawa sebagai berbahaya atau setidaknya harus dianggap dapat membahayakan Iman. Sadrach justru menggunakan dan mengembangkan tradisi serta kebudayaan Jawa di dalam kekristenannya (Purnomo 1988, 29).
            Selain Kyai Sadrach muncul pula sosok Ibrahim Tunggul Wulung. Tunggul Wulung sendiri memiliki legenda bahwa ketika ia turun gunung, secara ajaib ia menemukan salinan Dasa Titah di bawah tikar tempat tidurnya. Ia memandang bahwa titah-titah inilah yang menjadi tanda kedatangan Mesias bagi mereka yang ingin keluar dari rumah ‘perhambaan’ (Aritonang 2010, 93). Tunggul Wulung setelah dibaptiskan membuka sebuah hutan Bondo, yang kemudian diberi nama Banyutowo dan kemudian mendirikan desa lain yakni Tegalombo. Di sana Tunggul Wulung berperan sebagai pendiri, kepala desa, dan pengkhotbah tentang Ratu Adil Isa Rohallah. Tunggul Wulung sendiri sangat Jawa, karena terlihat dari pandangannya bahwa agama Islam dan Kristen sebenarnya sama, karena Muhammad juga dihormati di dalam Injil (Aritonang 2010, 95). Tunggul Wulung memakai konsep Ratu Adil, Messiah Jawa dalam mengajarkan agama Kristen. Tunggul Wulung berhasil menghimpun umat dan mendirikan sejumlah jemaat “Kristen-Jowo” yang jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan “Kristen-Londo” yang dikumpulkan para zendeling. Meski demikian, Tunggul Wulung dikenal sebagai seorang penginjil yang sangat dangkal pemahamannya tentang Injil itu sendiri. Menurut Hoezoo, Tunggul Wulung mencampurkan ajaran Kekristenan dengan menggunakan pengetahuan yang luas tentang Islam Jawa dan dianggap baik makna maupun tujuannya (Aritonang 2010, 95).
            GKJ yang akhirnya bertumbuh dan berkembang di Indonesia sebagai sebuah sinode yang cukup besar ternyata melihat juga tantangan akan budaya global yang berkembang saat ini. GKJ dalam menghadapi arus globalisasi terutama dalam bidang komunikasi (internet) mengambil langkah pasti. Salah satunya terdapat di GKJ Eben Haezer Pasar Minggu. Di sana, mereka menggelar program ‘internet sehat’ bekerja sama dengan kompasiana.com (Damayanti 2012). Itu adalah salah satu bentuk nyata GKJ dalam menghadapi globalisasi di bidang komunikasi. Menghadapi era globalisasi, GKJ yang memiliki LSM bernama Trukajaya[3] ikut memerangi dampak globalisasi di bidang teknologi pertanian. Jemaat-jemaat GKJ yang umumnya masih berada di pedesaan dan mayoritas penduduk sekitar bermata pencaharian sebagai petani, mengajak seluruh masyarakat untuk memelihara lingkungan dengan bercocok tanam tanaman organik, yang tidak memakai pupuk kimia guna menjaga kelestarian lingkungan terkhusus tanah. Dengan berdirinya LSM Trukajaya, GKJ menjadi terkonsentrasi untuk menghadapi tantangan globalisasi yang menawarkan hal-hal instan kepada masyarakat tanpa memikirkan dampak negatif yang berkelanjutan.
Refleksi
            Kekristenan masuk ke Indonesia dengan membawa tradisi dan budaya Barat yang begitu kental. Tradisi dan budaya Barat itu seringkali dipaksakan dan dimasukkan ke dalam sistem budaya lokal Indonesia, secara khusus budaya Sunda dan Jawa. Kebudayaan lokal yang sudah terbentuk sulit untuk digubah dan banyak zendeling datang dan mencoba menggubah budaya lokal menjadi budaya Barat.
            GKP misalnya, sebagai gereja di bumi Pasundan, pada masa pekabaran Injil tak dapat dipaksakan untuk menerima budaya Barat, sebab sistem masyarakatnya sangat memegang adat istiadat Sunda. Berbeda dengan zaman dulu yang sangat memegang adat istiadat Sunda, GKP yang telah menjadi gereja yang mandiri justru sekarang harus bisa bersikap terbuka terhadap budaya lain. Hal ini disebabkan faktor pendatang yang masuk ke dalam tanah Pasundan yang juga memiliki adat dan kebiasaan tersendiri. Tidak hanya itu, GKP yang saat ini ada dan berkembang di era globalisasi, harus ikut menyesuaikan diri dengan budaya global saat ini. Meski demikian, GKP masih memiliki ciri sebagai gereja Sunda, yakni dengan masih digunakannya Kidung Kabungahan, sebagai buku lagu berbahasa Sunda dalam ibadah di GKP.
            GKJ berbeda dengan GKP, sebab GKJ masih berpegang pada pendiriannya yang kuat menjadi gereja berlatar belakang budaya Jawa. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa orang-orang Jawa memiliki sifat dan sejarah berbeda dengan orang Sunda. Tidak ada masalah bagi orang Jawa untuk berpindah agama, tetapi menjadi masalah bagi orang Sunda untuk berpindah agama. Sebab bagi orang Jawa agama sama saja, tetapi bagi orang Sunda, jika mereka bukan Islam, meski garis keturunan mereka Sunda, maka mereka bukanlah orang Sunda. Dalam bidang iptek, GKP dan GKJ sama-sama menerima kemajuan iptek, khususnya dalam hal komunikasi (internet) serta mendalaminya. Di sisi lain, jika GKP mendirikan PT untuk menunjang kebutuhan dana pelayanan, GKJ lebih terkonsen lagi dalam menghadapi iptek di bidang pertanian sebab mereka memiliki LSM Trukajaya. Kemajuan iptek di era globalisasi boleh saja gereja serap dan pakai guna menunjang kemajuan gereja dan umat, namun di sisi lain gereja juga harus bisa memilah secara kritis, mana kemajuan iptek yang pantas dan layak kita terima dan kembangkan.
Daftar Pustaka
Aritonang, Jan S. et al. (eds.). 2008. A History of Christianity in Indonesia. Leiden: BRILL
Aritonang, Jan S. 42010.  Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Damayanti, Christie. Respon Antusias Orang Tua tentang ‘Internet Sehat’ di GKJ Eben Haezer. 11 Juni 2012. http://media.kompasiana.com/new-media/2012/06/11/respon-antusias-orang-tua-tentang-internet-sehat-di-gkj-eben-haezer-463855.html (diakses Maret 1, 2014).
Kraemer, Hendrik. 1958. From Missionfield to Independent Church. Den Haag: Boekencentrum.
Paradisa, Gendhis. 2009. Ensiklopedia Seni & Budaya Nusantara. Jakarta: Kawan        Pustaka.
Purnomo, Hadi. 1988. Benih yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa. Yogyakarta:       Taman Pustaka Kristen Gunung Mulia.
Rikin, W. Mintardja. 1994. Peranan Sunat dalam Pola Hidup Masyarakat Sunda.
Singgih, E.G. "Perjumpaan Gereja dengan Budaya", dalam Perjumpaan Gereja di Indonesia dengan Dunianya yang Sedang Berubah (Hasil Studi Institut Sejarah Gereja 5-15 Juli 1993, di Kaliurang), ed. Chris Hartono et al., h. 135-159. Jakarta: Persetia, 1995.
Soejana, Koernia Atje. 1975. Benih Yang Tumbuh 2. Jakarta: LPS DGI & Bandung: Sinode GKP.
Soejana, Koernia Atje. 2008. Berakar, Tumbuh, Berkembang & Berbuah: Mengupas Kisah Perjalanan Injil di GKP Jemaat Kampung Sawah. Kampung Sawah: Majelis Gereja Kristen Pasundan Kampung Sawah.
Sumamihardja, A. Suhandi. “Agama, Kepercayaan, dan Sistem Pengetahuan”, dalam Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, ed. Edi S. Ekadjati, h. 277-305. Bandung:           Girimukti Pasaka, 1984.




[1] yang saat itu Anthing kenal adalah masyarakat Sunda Ngelmu
[2] ngelmu
[3] LSM ini menjadi tempat di mana saya menjalani Praktik Lapangan dari STT Jakarta selama 3 bulan. 

2 comments:

  1. Secara hati nurani dan rasio,isi/ayat ayat Bibel/Injil bagi umat kristiani berisi informasi dan ajaran yg sangat mengandung kebenaran mutlak dibanding kitab suci dr agama non kristiani. Demikian juga ajaran KASIH dr Tuhan Bpk dan Tuhan Yesus selalu nyata KARUNIA KASIH selalu dikaruniakan pd umat Kristiani. Karunia Kasih berupa pengampunan dosa,rasa aman lahir batin,kelancaran dan kesuksesan dlm usaha apa saja dsb. Apalagi jika usaha mengamalkan ayat bibel/injil dgn penuh iman akan karunia kasih. Maka dr itu saudara sbg mahasiswa teologi amalkan ayat bibel/injil yg mengisahkan kisah Nabi Nabi kristiani,salah satu contoh kisah Nabi Luth dgn ke2 anak perempuan kandungnya. Amalkan dgn cara diinformasikan dlm bentuk cerita tertulis dan cerita bergambar (komik),cetak dan sebarkan dgn sistim jual pd anak didik tingkt SD,SLP,SLA. Sebagai try out pd lingkungan sekolah milik yayasan kristen dahulu,jika sukses sebaran kesekolah non kristen,misal sekolah negri. Atas keyakinan akan Karunia Kasih dipastikan lancar dlm urusan dana/biaya,penyebaran dsb. Juga atas keyakinan yg dilandasi iman yg tinggi dan tulus pd Tuhan Bpk dan Tuhan Yesus,pasti akan memperoleh kemudahan dlm perijinan cetak dan penyebaran. Atas karunia Kasih juga akan mengangkat nama/kemashuran dan keuntungan materi/uang dr hasil penjualan. Akibat dr penyebaran kisah Nabi Luth tsb,yg berupa kerusakan moral adalah tanggung jawab mutlak Tuhan Bpk dan Tuhan Yesus,jadi anda tetap aman,dpt kemashuran nama,dpt keuntungan uang dan dpt pengampunan dosa. Demikin juga jika saudara mengamalkan/mengibformasikan ayat ayat bibel/injil yg bersifat Sensasional dgn cara yg sama spt tersebut diatas maka akan dpt kelancaran,kesuksesan,keuntungan uang,kemashuran nama dan keselamatan dunia akhirat. Karena akibat dr menginformasikan ayat ayat yg besifat sensasional yg berupa kerusakan mental dan rasio adalah mutlak tanggung jawab Tuhan Bpk dan Tuhan Yesus. Sekian.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mohon maaf, sy tdk mengerti komentar bapak.. mohon diperjelas dan apa kaitannya dgn tulisan sy di atas? Trims, God Bless..

      Delete