Keadaan
Sosial-Politik, Ekonomi, Budaya, dan Agama di Jawa
Sejak abad ke-18, sebagian besar
pulau Jawa dikuasai secara langsung oleh orang-orang Belanda. Setelah VOC bubar
pada tahun 1799, keadaan politik di Jawa menjadi tidak tetap. Pada tahun 1811,
pemerintah Belanda yang menggantikan VOC diusir oleh pemerintah Inggris. Namun
pada tahun 1816, pemerintah Belanda kembali lagi ke tanah Jawa. Hal ini
berdampak pada sistem ekonomi yang telah di re-organisasikan sistem perpajakan
dan tanahnya oleh para penguasa yang silih berganti menguasai daerah Jawa ini.
Pada masa kekuasaan Inggris, gubernur jenderal yang memerintah sudah memiliki
rencana-rencana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Jawa. Namun, ketika
perang Diponegoro pecah dan mengakibatkan perbendaharaan negara Belanda kosong,
maka tenaga orang-orang Jawa dikerahkan untuk mengisi kembali kas Belanda
dengan sistem Tanam Paksa. Sistem inilah yang menentukan kebijaksanaan
pemerintah Belanda di Jawa mulai dari tahun 1830 sampai 1860-an (Van den End 2006, 197).
Dari segi keagamaan, pada abad ke-19
dunia rohani orang Jawa mengalami pergolakan yang besar dan banyak orang yang
berjalan keliling Jawa untuk mencari “Ngelmu” baru. Sebagai catatan, kehidupan
orang Jawa tetap diatur oleh adat namun banyak pula orang Jawa yang terpengaruh
ilmu kebatinan. Ilmu kebatinan ini lebih berpengaruh besar di Jawa Tengah dan
Jawa Timur dibandingkan dengan Jawa Barat. Pada tahun 1815, tercatat bahwa
tidak ada penganut agama Kristen yang adalah orang Jawa, sebagian besar adalah
orang-orang Belanda serta keturunan mereka dan beberapa orang yang berasal dari
Indonesia Timur. Orang Kristen ini tersebar di tiga kota besar di pantai Utara
yakni Surabaya, Semarang dan Batavia; juga sebagian tersebar di dusun-dusun
terpencil yang hidup sebagai pengusaha perkebunan dan tuan tanah. Jemaat-jemaat
Kristen ini hidup terpencil dan tidak merasa terpanggil untuk menyebarkan Injil
kepada orang-orang pribumi di sekitar mereka. Bahkan anggota-anggota jemaat Depok malah
dilarang bergaul dengan penduduk desa-desa tetangga yang beragama Islam (Van
den End 2006, 198).
Dari segi kebudayaan pada abad ke 19
di Jawa, sejak bangkitnya semangat Islamisasi pada masa Pakubuwana II
terjadilah penyesuaian secara bertahap dengan peraturan-peraturan dan
praktik-praktik Islam yang lebih saleh dalam kehidupan orang Jawa. Namun,
pada akhir abad 19, beberapa elite Jawa yang bekerja pada rezim kolonial
melihat hal ini sebagai fenomena yang berbahaya, dan kaum muslim yang lebih reformis dalam
masyarakat melihat itu sebagai kompromi yang tak semestinya. Pengaruh kelompok
elite ini begitu kuat sehingga islamisasi atas bentuk kesenian lama yang banyak
terjadi itu malah mundur (Ricklefs 2005, 274-275).
Perkembangan
Karya Zending dan Misi di Jawa Barat
Abad
ke-19 hingga
Pertengahan Abad ke-20
Peralihan kekuasaan dari VOC ke
pemerintahan kolonial Belanda bagi para Organisasi Pekhabaran Injil merupakan
angin segar, khususnya bagi gereja Katolik. Bila VOC mewakili Gereja Protestan,
maka pemerintahan kolonial Belanda tidak memprioritaskan suatu denominasi di
atas yang lain. Gubernur Jenderal
Belanda memberikan kebebasan bagi setiap lembaga misionaris untuk beroperasi di
Hindia Belanda dengan syarat ketat yang ditetapkan pemerintah (Ali 2009, 49). Oleh
sebab itu, di Batavia umat Katolik dapat mendirikan institusi-institus besar.
Sebuah Gereja Katedral besar dalam gaya neo-gothic mendominasi lanskap dari
pusat baru Batavia, tidak begitu jauh dari kubah grand Gereja Protestan Willem
I. Ordo Yesuit dan Ursula juga membangun sekolah dengan asrama yang memberikan
pendidikan kelas satu untuk anak-anak beragama Katolik, juga beberapa anak-anak
Protestan. Selain itu, Rumah Sakit Katolik Carolus telah didirikan tahun
1910-an (Aritonang 2008, 645).
Di Pesisir Jawa Barat pada tahun
1863, 3 orang misionaris pertama yang diutus NZV menginjakkan kakinya, yakni
Albers, Grashuis, dan Van der Linden. Ketiga orang misionaris ini diutus oleh
NZV lantaran desakan dari I.
Esser
dan E.W. King
dengan alasan bahwa sejak Belanda memerintah tahun 1596, tidak ada orang
Belanda yang menyebarkan Injil di Jawa Barat. Pada awalnya memang pemerintah
Belanda agak ragu untuk memberikan ijin kepada para misionaris untuk masuk dan
menyebarkan Injil di Jawa Barat, namun argumentasi Esser yang menyatakan bahwa
orang Sunda telah berandil besar terhadap perekonomian Belanda sehingga ada
hutang budi pemerintah Belanda terhadap mereka (orang Sunda), membuat
pemerintah Belanda menyetujui Pekabaran Injil terjadi di Jawa Barat (Kraemer 1958,
97).
Setelah mendapat izin dari pemerintah Belanda,
ternyata Pekabaran Injil di Jawa Barat tidak semudah yang diperkirakan para
misionaris ini. Kraemer mencatat dan memetaforakan Pekabaran Injil di Jawa
Barat bagaikan Nova Zembla Spiritual. Para
misionaris secara pribadi mengalami betapa mengerikannya jika seluruh orang
Sunda menyatakan
diri dengan jalan membisu dan tak peduli seolah-olah mengatakan, “Kami
tidak mengundang anda, juga tidak
menginginkan pemberian anda.” Akhirnya para misionaris berpaling kian kemari,
mereka mempelajari bahasa Sunda, mereka mengunjungi yang sakit dan mencoba
memperlihatkan perasaan manusiawinya dengan membantu secara sederhana dan
menyatakan belas kasihan mereka. Selain itu, para misionaris juga beberapa kali
mencoba masuk melalui dunia pendidikan, namun sedikit sekali anak-anak Sunda
yang datang, Jika mereka datang dan kemudian memeluk agama Kristen karena
pergaulannya dengan para misionaris, maka sekolah itu akan dijauhi seperti
orang menghindari wabah. Oleh sebab itu, pada tahun 1876, 1879, dan 1881
pengurus NZV serta beberapa misionaris mempertimbangkan secara sungguh-sungguh
pengunduran diri dari pekerjaan Pekabaran Injil tersebut. Para misionaris ini
menjadi objek kritikan karena kegagalan mereka disebabkan oleh kesalahan mereka
sendiri. Kesalahan mereka adalah pertama-tama tidak menjaga iklim spiritual di
daeran Sunda serta keadaan orang-orang sekitar di tempat para misionaris itu
tinggal (Kraemer 1958, 98).
Mr. F. L. Anthing, adalah seorang
yang saleh keturunan Belanda. Ia bekerja di kantor pengadilan negeri Semarang
sejak akhir 1850-an , dan sejak 1863 dia bertugas di Batavia sebagai wakil
ketua Mahkamah Agung. Sejak di Semarang, Anthing telah memberikan perhatiannya
terhadap pekabaran injil kepada masyarakat pribumi. Di sanalah Anthing berkenalan
dengan Ibrahim Tunggul Wulung. Ketika dipindahkan tugasnya ke Batavia, ia
bergabung bersama Genootschap voor Inen
Uitwendige Zending (Aritonang 2010, 90) sehingga ia adalah orang yang
disebut Kraemer sebagai penyelamat Pekabaran Injil di Jawa Barat. Anthing
disebut sebagai penyelamat karena pemikirannya ada di luar batas pemikiran
orang-orang Eropa lainnya. Anthing menyadari bahwa hal-hal seperti kebangsaan,
keturunan, kebudayaan, dan pandangan hidup menyebabkan adanya jurang pemisah yang
dalam antara dunia pribumi dan dunia orang Eropa. Anthing juga mengukur betapa
besar hambatan terhadap Pekabaran Injil yang diakibatkan oleh dominasi politik
dan posisi ekonomi bangsa Eropa yang dianggap sebagai orang-orang Kristen.
Anthing juga tidak menutup mata bahwa bagi orang Timur, agama, kebangsaan dan
adat istiadat masyarakat dan lain sebagainya merupakan suatu kesatuan, demikian
eratnya sehingga menanggalkan agama sendiri dan memeluk agama lain karena
keyakinan, tanpa meninggalkan kebangsaan, adat istiadat dan lain sebagainya
bagi mereka merupakan suatu yang ganjil, yang tak masuk akal dan merupakan
penyangkalan terhadap identitasnya yang benar yang telah ditentukan oleh takdir
dan perjalanan/tujuan hidup mereka. Pemikiran Anthing ini pada akhirnya menjadi
hipotesa cara kerjanya, yakni dengan tidak mengutus para pembantunya untuk
menjadi alat sebuah organisasi Belanda dan pengkhotbah Kekristenan, melainkan
mengutus mereka untuk menampilkan diri sebagaimana seorang penduduk pribumi
layaknya, yang menyimpan rahasia yang sangat berharga atau yang biasa orang
pribumi Jawa sebut “ngelmu”
sehingga mereka (orang Sunda) ingin mengetahuinya. Dengan cara ini, orang-orang
dapat didekatkan dengan pokok-pokok Injil tanpa gangguan atau ciri khas yang
asing. Dengan cara inilah, Anthing berhasil secara gemilang. Maksudnya ialah
bahwa hasil pekerjaan Anthing-lah
yang masih tetap ada dan tidak musnah sama sekali (Kraemer 1958, 99-100). Para
didikan Anthing kemudian mendirikan sejumlah jemaat kecil dan mendirikan
desa-desa Kristen, di Batavia, antara lain Kampung Sawah dan Gunung Putri (Van
den End 2006, 209).
Hampir serupa dengan Jawa Barat,
metode Pekabaran Injil di Banten pun terbagi dalam lima bagian. Pertama, para
misionaris di Banten mendirikan sekolah, tempat di mana para utusan injil
mengajarkan kepada para siswa keterampilan membaca, menulis, dan berhitung,
juga pelajaran agama Kristen (katekisasi) terutama bagi persiapan pembaptisan.
Kedua, kunjungan keliling desa, ke tempat keramaian seperti pasar untuk
menampilkan sciopticon (gambar sorot)
sambil menceritakan kisah Injil
yang diilustrasikan oleh gambar tersebut. Ketiga, pelayanan kesehatan, baik dengan mendirikan poliklinik maupun dengan berkeliling ke
kampung-kampung mengunjungi orang sakit. Keempat, pengedaran bacaan Kristen (colportage) kepada tokoh-tokoh
masyarakat, pejabat pemerintah dari kalangan pribumi, dan juga dijual dengan
harga yang murah kepada masyarakat lainnya. Kelima, pembuatan desa Kristen
dengan menyediakan tanah, sawah untuk dijual kepada para anggota jemaat, yang
kemudian membayarnya dengan padi hasil panen (Ali 2009, 54).
Gereja
Kristen Pasundan
Pada awal abad ke-20 yakni sekitar
tahun 1930, sudah ada keinginan dari sebagian anggota Gereja di Jawa Barat
untuk berdiri sendiri dan tidak selalu berada dalam asuhan Zending. Oleh sebab
itu, mulailah dipikirkan masalah ini dikalangan zending dan pemimpin pribumi.
Pada tahun 1933, Prof. Dr. Hendrik Kraemer ditugaskan untuk memeriksa keadaan
Jemaat-jemaat Pasundan. Selama hampir 4 bulan, ia mengunjungi Jemaat-jemaat
Pasundan dan menarik sebuah kesimpulan, yakni “Turunkanlah anak ini dari
gendongan bagaimanapun keadaannya. Yang menjadi pengasuhnya hanyalah menjaga
dan memperhatiannya dari jarak yang tidak terlalu dekat.” Kraemer mendorong NZV
untuk secepatnya memberikan status berdiri sendiri kepada Gereja Pasundan
setelah cukup lama diasuh oleh NZV selama kurang lebih 70 tahun, dan dari
kalangan pemimpin pribumi juga sudah muncul keinginan untuk berdiri sendiri,
namun jemaat pada umumnya belum dipersiapkan untuk berdiri sendiri.
Namun Kraemer tetap yakin bahwa Gereja Pasundan harus dilepas oleh NZV karena bagaimanapun
gereja-gereja muda harus berdiri sendiri agar potensi untuk berkembang muncul
dari gereja-gereja muda ini (Soejana 1975, 37-38).
Pada hari Rabu, 14 November 1934
bertempat di gedung gereja jemaat Bandung, dilakukan upacara peresmian Gereja Kristen
Pasundan menjadi gereja yang berdiri sendiri. Dengan disaksikan oeh
utusan-utusan dari semua jemaat-jemaat Pasundan, utusan-utusan Gereja-gereja
lainnya yang ada di Bandung dan para pendeta NZV yang ada di Jawa Barat, Dr.
N.A.C. Slotemaker de Bruine, konsol zending yang bertindak selaku wakil
pimpinan NZV, membacakan “Oorkonde” (piagam penyerahan). Dengan demikian,
terhitung tanggal 14 November 1934 jemaat-jemaat di Jawa Barat bekas asuhan NZV
telah menjadi gereja yang berdiri sendiri dengan nama de Christelijke Kerk van West Java.
Sejak saat itu, gereja ini bertanggung jawab sendiri atas pemeliharaan dan
pengembangan dirinya, dan melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya di Jawa
Barat. Namun, ada satu bidang yang masih dibantu oleh NZV yakni bidang
pembiayaan pekerjaan (bantuan keuangan)
(Soejana 1975, 44).
Meski GKP telah dikatakan berdiri
sendiri pada tahun 1934, namun NZV masih memegang peranan yang penting hingga
tahun 1942. Antara 1934-1942 itulah GKP masih berada dibawah bimbingan NZV.
Pengurus Harian Rad Ageng masih dipegang oleh petugas NZV yakni Pdt. J. Iken
dan kemudian digantikan oleh Pdt. H.D. Woortman hingga tahun 1942. Jadi,
meskipun secara formal GKP sudah berdiri sendiri, namun yang memimpin GKP masih
tetap orang-orang NZV. Keadaan ini berakhir pada awal tahun 1942 bukan karena
NZV telah yakin melepaskan GKP untuk berdiri sendiri, tetapi karena Pemerintah
Hindia Belanda berakhir kekuasaannya dan digantikan kependudukan Jepang
(Soejana 1975, 45-46).
Pada masa kependudukan Jepang, GKP
harus sudah mulai bersikap mandiri karena para zendeling tidak diperkenankan
bekerja lagi di Jawa Barat. Pada waktu itu, pimpinan Rad Ageng segera diganti dan
pengurus harian ini disebut pengurus harian darurat dan berkedudukan di
bandung. Pemerintah Jepang memang tidak menghambat kehidupan GKP. Justru setelah kemerdekaan Indonesia, GKP
baru mendapatkan hambatan-hambatan. Beberapa jemaat GKP mengalami tindakan
pengacauan antara lain di Cigelam, Gunung Putri, dan Kampung Sawah. Kejadian
tersebut menyebabkan anggota-anggota jemaat mengungsi ke Bogor, Jakarta, dan
tempat-tempat lain. Setelah keadaan aman, barulah mereka kembali ke kampung
halaman mereka, kecuali anggota jemaat dari Cigelam. Tidak hanya pada jemaat,
tetapi seorang pendeta GKP dari NZV yakni Pdt. J. van de Weg yang melayani di
Juntikebon dibunuh oleh beberapa orang yang tidak bertanggung jawab (Soejana 1975, 49).
Hingga kini, GKP masih terus
bertumbuh dan berkembang di Indonesia. GKP bukanlah gereja suku meski awalnya
Pekabaran Injil difokuskan kepada orang-orang pribumi Sunda. GKP adalah gereja
teritorial di mana Pekabaran Injil GKP hanya sebatas Pulau Jawa bagian Barat
saja.
Perkembangan
Karya Zending dan Misi di Jawa Tengah
Abad
ke-19 hingga
Pertengahan Abad ke-20
Injil datang ke Jawa Tengah ditandai
dengan datangnya rohaniawan VOC di Semarang. Namun, baru ada kesempatan untuk
berkembang pada zaman pemerintahan Inggris di Indonesia (1811-1816) yaitu
dengan terbukanya kesempatan bagi badan-badan pekabaran Injil masuk ke
Indonesia. Dengan kesimpulan persidangan Middelburg maka Gereformeerde Kerken
in Nederland atau GKN masukd an mengabarkan injil di 5 wilayah di Jawa Tengah,
yakni Yogyakarta, Banyumas, Purworejo, Kebumen, dan Wonosobo (Purnomo 1986,
95-97).
Injil disebarkan di Jawa Tengah melalui
dua jalan. Jalan yang satu adalah melalui usaha beberapa orang kulit putih dan
jalan yang kedua adalah penyiaran “ilmu” Kristen oleh penduduk Ngoro dan
Mojowarno. Riwayat sejarah gereja di Jawa Tengah mempunyai pola yakni utusan-utusan
lembaga zending datang menetap di tengah-tengah jemaat Kristen Jawa dan
mengambil alih pimpinan. Salah seorang tokoh pemimpin dalam kekristenan Jawa
adalah Ibrahim Tunggul Wulung. Ia
berasal dari daerah Juwono dekat Gunung Muria, Jepara (Van den End 2006, 207). Pada
masa ini Tunggul Wulung berkenalan dengan agama Kristen lewat hasil
pertapaannya.
Selanjutnya Tunggul Wulung menemui Coolen, Emde, dan Jellesma (seorang
penginjil utusan NZG, yang bekerja di Surabaya sejak 1848 dan di Mojowarno
sejak 1851). Setelah itu ia berkelana ke mana-mana sambil mengabarkan Injil.
Melihat semangat Tunggul Wullung membuat Jellesma yakin akan kesungguhan
Tunggul Wulung dan akhirnya membaptis dia dan isrinya pada tanggal 6 Juli 1857
(Aritonang 2010, 93-94). Sementara itu dan juga sesudahnya, ia mengadakan
perjalanan pekabaran Injil terus menerus ke daerah Pasuruan, Rembang, dan
kawasan Gunung Muria. Di beberapa tempat ia menjadi perintis jemaat-jemaat
Kristen yang baru (Van den End 2006, 207). Dia membuka desa bernama Banyutowo
setelah membuka hutan Bondo sebelumnya. Juga dia mendirikan desa lain di
Tegalombo (Aritonang 2010, 94).
Setelah kematian Tunggul Wulung,
jemaat-jemaat yang dipimpinnya beralih kepada zending Mennonit. Tetapi di Jawa
Tengah bagian selatan tetap terdapat kelompok orang Kristen yang meneruskan
tradisi Tunggul Wulung. Mereka dipimpin oleh seorang murid Tunggul Wulung yang
bernama Sadrach. Sadrach lahir di daerah antara Demak dan Jepara dengan nama
Radin Abas, di lingkungan keluarga Islam abangan atau Islam Kejawen. Begitu
besarnya minat mendalami agama membuatnya ia berguru dari satu pesantren ke
pesantren lainnya. Hingga suatu saat ia berkenalan dengan Pak Kurmen alian Sis
Kanoman yang adalah seorang guru “Ngelmu” yang pernah dikalahkan Tunggul
Wulung. Selanjutnya dia diantar untuk menemui Kiai Ibrahim Tunggul Wulung di
desa Bondo. Namun kemudian dia memiliki niatan untuk menempuh jalan sendiri dan
Tunggul Wulung memperkenalkannya kepada Anthing di Batavia.
Setelah ia dibaptis, ia kembali ke Jawa Timur dan kemudian menginjili membantu
Ny. Philips di daerah Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah (Aritonang 2010, 97). Setelah Ny. Philips meninggal, jemaat yang
telah dikumpulkannya menerima Sadrach menjadi pemimpinnya pada tahun 1876. Pada
masa ini juga masuk NGZV dan kemudian
diteruskan Zending Gereformeerde
Kerken di Nederland (ZGKN). Karena sikap NGZV yang begitu keras terhadap agama
Kristen Jawa dibanding Jansz maka terjadilah keretakan yang tidak dapat
dipulihkan lagi sehingga Sadrach menggabungkan diri dengan Gereja Kerasulan (Van
den End 2006, 208).
Sejak saat itulah ZGK muncul dan
mempengaruhi sejarah dan perkembangan Gereja-gereja di Jawa, khususnya Jawa
Tengah dengan utusannya Ds. L. Adriaanse yang bertempat tinggal di Purworejo.
Adriaanse mencoba untuk menggabungkan kembali gerejanya dengan Gereja Sadrach
namun hal itu tidak berhasil karena Sadrach telah memilih untuk mendirikan
Gereja Kerasulan. Pengganti Adriaanse yakni Jotham, membuka diri untuk
berhubungan dengan zending Gereja Gereformeerd, bahkan kemudian banyak pengikut
Sadrach yang menggabungkan diri dengan Gereja Gereformeerd. Gereja Sadrach yang
besar itu memang tidak terpelihara dan pengetahuan kekristenannya masih
sederhana jika dibandingkan dengan pengikut Gereja Gereformeerd pada umumnya ketika
itu. NGZV yang sudah habis masa pelayanannya sebagai badan pekabaran Injil
akhirnya menyerahkan daerah-daerah pekabaran Injil di Jawa kepada gereja
Gereformeerd Belanda dan sebagian ke Zending Salatiga (Purnomo 1986, 19-20).
Gereja-gereja
Kristen Jawa
Nama-nama seperti Johanes Emde di
Surabaya, Coenard Laurens Coolen di Ngoro, Ny. Van Oostrom Philips di Banyumas,
Ny. Christina Petrolena Philips Stevens di Purworejo, Mr. F.L. Anthing di
Jakarta harus diingat. Tentu saja, dari mereka tercatat sejarah panjang yang
tidak kecil makna serta dampaknya kelak kemudian hari dan kaitannya dengan
kehidupan Gereja-gereja Kristen jawa kini. Dari merekalah kemudian lahir
pekabar-pekabar Injil bumi putera seperti Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Sadrach
yang kemudian dikenal sebagai pengembang kekristenan Jawa.. Merekalah yang
bergerak mendahului dan meratakan jalan bagi para utusan perkumpulan dan
pekabaran Injil. Bahkan mereka juga yang menerobos daerah-daerah terlarang
untuk pekabaran Injil akibat Regerings Reglement 177 di daerah Yogyakarta dan
Surakarta (Purnomo 1986, 16).
Pekerjaan pekabaran Injil kaum awam
menghasilkan “buah” yaitu generasi pertama dari keristenan Jawa. Timbulah
kelompok-kelompok Kristen di daerah Purworejo, Tegal, dan Banyumas. Mereka
dibaptiskan di Gereja Protestan Belanda. Baptisan pertama bagi orang-orang Jawa
terjadi di Semarang tahun 1858 dan di Purworejo tahun 1860. Kelompok-kelompok
tersebut tadi merupakan cikal-bakal dari Gereja-gereja Kristen Jawa. Barangkali
mereka merupakan Gereja di dalam kandungan. Dari kelompok-kelompok itulah
tersebar kekristenan ke Yogyakarta, Surakarta, dan ke seluruh Jawa Tengah
(Purnomo 1986, 16).
Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa
inilah yang mewariskan gereja Gereformeerd Belanda. Namun, Bakker mengemukakan
bahwa ada bahaya dalam hubungan antara Gereja Jawa dengan Gereja Gereformeerd
Belanda. Ada anggapan dari pihak orang-orang Kristen Jawa bahwa pendeta zending
lebih tinggi kedudukannya dibandingkan pendeta Jawa, mereka lebih suka dibaptis
pendeta Belanda daripada pendeta Jawa. Ada perbedaan dalam pastoral: pendeta
Belanda lebih keras sedangkan pendeta Jawa lunak. Oleh sebab itu Bakker
memperingatkan kedua belah pihak dan ia pun memberikan pandangan yang tepat
sesuai proporsi kedudukan masing-masing. Pendeta Utusan Belanda, secara
organisatoris adalah konsulen bagi gereja (majelis gereja) yang belum mempunyai
pendeta, kedudukan mereka di sidang klasis maupun sinode hanya sebagai
penasihat. Hal inilah yang menjadi latar belakang GKJ baru mendapat ketegasan
kesamaderajatan dengan Gereja-gereja di Belanda dan di luar negeri pada tahun
1947 melalui Regional Accoord serta nota Probowinoto.
Dengan kesepakatan tersebut, maka hubungan antara Gereja-gereja Jawa dengan
Gereja-gereja di Belanda menjadi hubungan kerja sama (partnership yang sama
derajatnya) (Purnomo 1986, 31).
Perkembangan
Karya Zending dan Misi di Jawa Timur
Abad
ke-19 hingga
Pertengahan Abad ke-20
Keadaan umum di daerah Jawa Timur tidak
jauh berbeda dengan keadaan yang ada di Jawa Tengah. Ada kesamaan situasi,
yakni masih berkembangnya kejawen dan juga agama Islam serta kekuatan politik.
Walaupun demikian, proses penampungan Kekristenan oleh lembaga-lembaga zending
Eropa telah usai (End dan Weitjens 2008, 249).
Kekristenan di Jawa Timur dimulai dengan
lingkaran Orang-orang Kudus Surabaya dengan pusatnya adalah Johannes Emde
(Aritonang dan Steenbrink 2008, 712). Emde menikah dengan seorang wanita Jawa
dan memulai pelayanan religiusnya dari keluarganya tersebut. Dalam
pelayanannya, Emde tidak memperbolehkan adanya penggunaan atribut-atribut
ke-Jawa-an, seperti blankon, keris dan gamelan. Baginya, beberapa pengetahuan
Belanda itu lebih baik dipahami oleh penganut agama baru, ketimbang pengetahuan
setempat. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai Kristen londo tanpa kursi, karena
dianggap ajarannya kurang cocok (Aritonang dan Steenbrink 2008, 713).
Di sisi lain, terdapat pula inisiator
yang banyak berkontribusi dan lebih setuju dengan budaya Jawa, yakni Coenraad
Laurens Coolen. Ia justru menampilkan ekspresi tradisional Jawa dalam praktik
Kekristenan, seperti wayang, musik dan tarian Jawa. Coolen tinggal di desa
Ngoro. Di situlah ia banyak belajar mengenai budaya jawa dan di situ pulalah ia
menikah dengan wanita setempat, setelah ia bercerai dengan istrinya. Cara
Coolen yang unik, dengan memakai budaya setempat sebagai bentuk pengajarannya,
dilihat berbeda oleh Emde. Ia melihat bahwa Coolen mencampuradukan agama
Kristen dan lebih kepada ranah sinkretisme.
Di tengah dua kutub yang berbeda
tersebut, antara Emde dan Coolen, muncullah seorang yang bernama Paulus Tosari.
Ia berasal dari Madura. Sebelumnya Tosari adalah seorang Islam yang taat dan
juga seorang anak pesantren. Namun, pada saat Tosari mengunjungi Ngoro, ia
bertemu dengan Coolen, dan mengajarkan banyak hal mengenai Kekristenan
kepadanya. Coolen dibantu oleh beberapa orang dari desa Wiung ketika
mengajarkan Tosari. Akhirnya, pada tanggal 12 September 1844, Tosari dibaptis
oleh Emde. Setelah dibaptis, Tosari tidak dapat kembali ke Ngoro, sehingga ia
memulai pembukaan lahan hutan dan memberikan nama tempat itu sebagai Mojowarno,
yang akhirnya menjadi tempat lahirnya Kekristenan di Jatim. Paulus Tosari menjadi
pemimpin spiritual pertama di tempat tersebut (Aritonang dan Steenbrink 2008,
714). Dengan begitu, ada dua desa Kristen yang menjadi tonggak awal penyebaran
agama Kristen, yakni Ngoro dan Mojowarno. Walaupun demikian, perkembangan
selanjutnya tetap ada ke berbagai tempat hingga pulau Madura.
Pada tahun 1870-1910 terdapat pergerakan
dari para badan zending yang berada Jawa Timur. Pertama, zending tetap
memperhatikan desa ketimbang kota. Pemilihan itu didasarkan pada faktor sosial, yakni
kota-kota besar merupakan tempat tinggal bagi para orang Eropa dan Tionghoa,
sementara itu, zending tidak suka bergaul dengan orang-orang tersebut. Lagi
pula, pada zaman itu, gerakan kekristenan yang ada di Jatim adalah gerakan petani,
yang meluas melalui pembukaan lahan. Kedua, zending menetapkan pekabaran Injil
melalui karya pendidikan. Tujuan dari hal itu ialah supaya dapat meningkatkan
mutu jemaat Mojowarno dan jemaat lainnya, sehingga mereka tidak memerlukan lagi
adanya seorang zendeling. Penunjang pI itu ialah dengan menggunakan sarana
pendidikan seperti pelayanan Firman, disiplin gereja dan pendidikan sekolah
(End dan Weitjens 2008, 250).
Gerakan tersebut itu berdampak ganda,
yakni ke dalam dan ke luar. Dampak ke dalamnya ialah makin banyaknya jemaat
yang berdiri dengan mendasarkannya pada aturan dan kebiasaan hidup desa-desa
Kristen, sehingga pertambahan jumlah pun meningkat perlahan-lahan. Selain itu,
dimulainyalah pI ke tanah Madura, yang kemudian bersatu dengan NZG. Sedangkan
dampak ke luarnya ialah datangnya perkembangan-perkembangan baru yang menantang
wawasan zending lama pada tahun 1910, yang menyebabkan bedirinya lembaga
pergerakan nasional di kalangan orang Jawa. Pada tahun 1909 didirikan lembaga Rentjono Budijo yang mengedepankan
penelaahan Alkitab. Nama-nama yang berkecimpung dalam organisasi ini
adalah Jerobeam Mattheus Kertoadmodjo,
Kismus Wirisoebroto, R.S. Jonathan, R. Soedono Nimpoeno (Nortier 1981, 143).
Dilanjutkan dengan berdirinya Mardi Pratjojo (1911), yang berkecimpung dalam
PA, PI, Paduan Suara, dana kematian, dana pinjaman dan sebagainya. Kemudian,
pada tahun 1918 kelompok Mardi Pratjojo dibubarkan dan bersama orang Kristen di
Jatim, mendirikan Perserikatan Kaoem Christen (PKC) dan bergabung bersama partai
Belanda, yakni Christelijke Ethische Partij (CEP). Kedua kelompok itu tidak
begitu cocok, sebab tujuan mereka saling berbeda. CEP bertujuan untuk
mempertahankan orang Belanda di Indonesia, sedangkan PKC ingin memperjuangkan
kemajuan orang
Indonesia
dan kesamaan hak antara orang Belanda dan Indonesia (End dan Weitjens 2008,
251).
Kebangkitan kekristenan di Jatim
merupakan tantangan bagi zending NZG. Ini disebabkan pemuda Kristen Jawa tidak
bersedia menerima pimpinan mereka karena mereka menganggap para zendeling
bertindak sebagai penjajah rohani. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun
1918, diadakan perundingan antara orang Kristen di Jatim dengan orang Belanda.
Rundingan tersebut menghasilkan kesetaraan antara orang Belanda dan orang
Kristen di Jatim, sehingga mereka dapat makan di meja bersama. Selanjutnya,
sekitar tahun 1920-an, ada pengaruh timbal balik di antara keduanya. Para
zendeling yakin bahwa orang Kristen Jawa masih memahami organisasi gereja
secara formalistis, sebab masih ada pembedaan antara gereja dan aparat negara.
Ini menyebabkan adanya penundaan pembentukan sinode oleh mereka. Sebaliknya,
para zendeling sadar mengenai desakan orang Kristen Jawa sehingga mereka
meninggalkan Jatim
pada awal abad
ke-20.
Kesaling-berpengaruhan ini menghasilkan
beberapa hasil seperti, berdirinya jemaat Mojowarno secara mandiri,
didirikannya sekolah Bale Wiyata di tahun 1925. Dua tahun berikutnya sekolah
itu dipindahkan ke Malang dan menjadikan kota itu sebagai pusat gerakan Kristen
di Jawa Timur, menggantikan kota Mojowarno. Selain itu, terjadi pula perubahan
pola pI yang terjadi di Jatim. Awalnya, pI dilakukan pada kantong-kantong
Kristen yang ada di Jatim, kemudian hal itu berganti menjadi penyebaran Kabar
Sukacita ke kota-kota dan desa-desa (End dan Weitjens 2008, 252-3).
Gereja
Kristen Jawi Wetan (GKJW)
Pada tahun 1928 diadakan konferensi
gereja Kristen di Jawa Timur. Dalam konferensi ini diangkat panitia yang akan menyusun tata gereja.
Selain itu, melalui nasihat H. Kraemer, gereja-gereja diminta untuk berdiri
secara mandiri. Gereja pertama yang mendirikan secara mandiri adalah Gereja
Kristen Jawi Wetan pada tanggal 11 Desember 1931. Langkah ini merupakan langkah
awal berkembangnya gereja-gereja mandiri di Jatim. Pada periode 1931-1941,
melalui usaha pI, perluasan lahan, dan lain sebagainya, maka bertambahlah orang
Kristen di Jatim, bahkan GKJW menyebarkan Injil sampai ke Bali.
Namun, perkembangan itu terhenti dengan
selepas tahun 1941. Pada masa perang, tepatnya tahun 1942-1945, seluruh gereja
yang ada di pulau Jawa dan juga agama lain yang ada di pulau itu, mengalami
penderitaan saat Jepang datang menjajah Indonesia. Selain itu, terjadi
perpecahan di tubuh GKJW, sehingga pada tanggal 6 Agustus 1946 diadakan
pertemuan umum pendeta se-GKJW. Mereka melakukan perbaikan ke dalam dan ke
luar. Alhasil, mereka berhasil mengatasi kemelut yang terjadi, dengan
dibuktikan meningkatnya jumlah anggotanya. Salah satu faktornya ialah kehadiran
gereja di tengah masyarakat yang sedang dalam pergolakan, sebagai persekutuan yang
tidak ikut dalam kutuk-mengkutuk dan benci-membenci yang berkembang pada saat
itu (End dan Weitjens 2008, 254-5).
Gereja
Kristen lainnya di Jawa Timur
NZG yang membentuk GJKW tersebut tidak
hidup dalam lingkungan Tionghoa,
oleh karena itu, pI di kalangan tersebut diprakarsai oleh kaum Metodis dari Amerika (1905-1927). Di
tahun 1928, karya pI itu diambil alih oleh gereja Calvinis kecil di Negeri
Belanda, yan baru saja memisahkan diri dari GKN. Zending Belanda mulai bekerja
di tengah orang Tionghoa di daerah Surabaya. Tanggal 9 Agustus 1934, delapan
jemaat yang berhasil dibentuk, disatukan menjadi satu Khoe Hwee (Klasis)
Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee-Khoe Hwee Jawa Timur. Lalu, THKTKH-DT berkembang
menjadi Gereja Kristen Indonesia Jatim. Sementara itu, sebagian anggota yang
berbahasa Mandarin,
membentuk Gereja Kristus Tuhan
yang berpusat di kota Lawang (End dan Weitjens 2008, 256-7).
Perkembangan
Karya Zending dan Misi di Bali
Abad
ke-19 hingga
Pertengahan Abad ke-20
Perkembangan gereja Kristen di Bali
pertama-tama dimulai sejak dipikirkannya penginjilan di pulau tersebut pada
tahun 1633 hingga terbunuhnya seorang penginjil Belanda, Jacob de Vroom, pada
tahun 1881 (Aritonang 2012, 77). Namun, usaha itu gagal karena Pulau Bali
dikenal sebagai pulau yang tertutup karena itu merupakan benteng pertahanan
orang Hindu setelah mereka diusir oleh orang Islam di pulau Jawa. Kemudian
penyebaran diambil alih oleh UZV. Pada tahun 1863, UZV mengirim W. van der Jagt
sebagai zendeling yang mempersiapkan penginjilan di Bali. Tanggal 16 Oktober
1864, ia sampai di Bali dan diterima oleh pemimpin masyarakat Bali di
Singaraja. Selain itu, UZV bekerja sama dengan Nederlans Bijbelgenootschap (NBG) menugaskan Herman Neubronnes van
der Tuuk untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bali pada tahun 1862.
Namun, pelaksanaan itu terealisasikan di tahun 1870 (Aritonang 2012, 85).
Usaha UZV untuk melakukan penginjilan di
Bali juga terus dilancarkan dengan mengirim beberapa cendikiawannya. Pertama, UZV
mengirim R. van Eck pada tahun 1866. Ia pandai dalam berbahasa dan salah satu
karyanya ialah kamus bahasa Bali-Belanda pada tahun 1876. Lalu, dikirimkannya Jacob de Vroom pada
November 1866 sampai 1881. Ia ahli dalam bidang obat-obatan. Sayangnya, ia dibunuh
ketika sedang bertugas dan dalang pembunuhannya itu adalah I Gusti Wayan
Karangasem, yang merupakan anak didikan dari de Vroom (Aritonang 2012, 86-7).
Yang terakhir dikirimkan adalah N. Wiggelendam yang tiba di Bali pada bulan
April 1880, tetapi baru bisa menetap pada bulan Oktober.
Sayangnya, hampir selama 18 tahun
menyiarkan Injil di sana, di tahun 1873 hanya ada satu orang saja yang
terbaptis. Kemudian, orang yang membaptis itu dibunuh oleh masyarakat setempat
(End dan Weitjens 2008, 256).
Pada tahun 1929, Injil masuk di Bali
melalui seorang
penginjil CAMA
dari Tiongkok
daratan, bernama Tsang To Hang (Kam Fuk). Ia diberi izin untuk bekerja pada
orang Tionghoa
di Bali. Melalui dirinya, pada tanggal 11 November 1931, 12 orang Bali
dibaptis dan kemudian bertambah lagi, hingga akhirnya ada sekitar seratus lebih
yang dibaptis. Namun, ia mendapat sanksi atas pekerjaannya itu, sampai
akhirnya, di tahun 1933, ia harus meninggalkan Bali. Lalu CAMA dilarang
mengadakan hubungan dengan Belanda dua tahun berikutnya(End dan Weitjens 2008,
256-7).
[Perjalanan Menuju] Gereja Kristen Protestan Bali
Kemudian, misi pekabaran Injil
dilanjutkan dan diambil alih oleh GKJW. Pada tahun 1933, GKJW, melalui sidang
Swaru, mengutus Mas Tartib Eprajim dan Mas Darmoadi ke Bali. Mas Tartib
melakukan interaksi langsung, dengan duduk bersama-sama di warung kopi dan
tempat-tempat lainnya, sebagai bentuk metodenya. Ia menggunakan buku Rasa
Sejati kepada orang Bali, sehingga mereka menganggap Mas Tartib sebagai orang
yang mengerti rahasia hati manusia. Melalui itu, ia berhasil mengajak orang
Bali untuk menjadi Kristen, dan ia membaptiskan mereka dengan cara yang
berkembang di pulau itu. Selain itu, Mas Darmoadi menerjemahkan Alkitab ke
bahasa Bali, karena ia berbakat di bidang itu (End dan Weitjens 2008, 257-8).
Selanjutnya, pada tanggal 5-7 Desember 1933, diutuslah juga guru ketiga yang
diputuskan dalam sidang GKJW ke-5, yang bernama Nekamija.
Usaha penginjilan dilakukan
terus-menerus kepada masyarakat Bali. Masyarakat Bali pun sudah mulai banyak
yang menjadi Kristen. Namun, nilai Kristen yang mereka anut masih
terpecah-pecah sehingga adanya kekacauan di antara mereka. Untuk mengatasi
perpecahan gereja itu, H. Kraemer mengambil alih kepemimpinan gereja di Bali.
Ia juga merekonsiliasi perpecahan gereja di Bali juga.
Pada tahun 1937, jemaat-jemaat yang
terpisah tersebut dikumpulkan dalam Pasikian Kristen Bali (PKB). Perkumpulan
ini didirikan sebagai wadah tempat mereka melakukan rapat untuk membicarakan
persoalan-persoalan yang mereka hadapi (Aritonang 2012, 251). Kemudian,
diadakannyalah kursus penghantar jemaat yang dipimpin oleh tenaga dari Jawa dan
Belanda. Hal ini disebabkan pernyataan Kraemer yang mengatakan bahwa
kemerdekaan gereja ini (yang akan menjadi GKPB) harus dari permulaan,
orang-orang Belanda dan Jawa hanya menjadi penasihat dan Gereja berdiri sendiri
(Aritonang 2012, 251). Kursus itu diperuntukan bagi jemaat agar mereka siap
untuk mandiri. Bukti dari kesiapan menuju kemandirian Gereja Bali ditunjukan
melalui pendirian desa Kristen yang bernama Blimbingsari pada tahun 1938. Desa
inilah yang menjadi pusat Kekristenan di Bali.
Menjelang tahun 1947, PKB mencetuskan
tiga hal yang mendorong kemandirian Gereja Bali serta sebuah sinode yang
mengaturnya. Pertama, adanya Gerakan Persatuan Nasional di Indonesia, sehingga
muncullah semangat revolusi untuk mempunyai cita-cita kemerdekaan. Kedua,
adanya penyerahan tanggung jawab kepada Gereja Bali untuk mengurus dirinya
sendiri. Ketiga, adanya kekosongan di Gereja Bali, akibat perginya
utusan-utusan non-Bali (Aritonang 2012, 252).
Berdasarkan tiga hal itu, Ketut Suwetja,
Made Rungu, dan Wayan Regog mulai membicarakan usaha pemandirian gereja. Dengan
mengacu pada AD dan ART Majelis Kristen Indonesia mereka menyusun AD dan ART
untuk gereja Bali. Maka pada tanggal 14-15 Januari 1948 diadakanlah sidang
Gereja Bali di desa Blimbingsari. Dalam sidang itu, diputuskan bahwa gereja
yang berdiri sendiri ini dinamakan Persekutuan Kristen Prostestan Bali (PKPB).
Selain itu, dputuskan juga AD dan ART yang melandasinya serta Badan Pengerjanya
(BP).
Perjuangan berlanjut. BP melanjutkan
rapatnya setelah sidang tersebut. Mereka mengajukan maklumat kepada raja-raja
di Bali, yang menyatakan bahwa Gereja telah berdiri sendiri. Surat itu diajukan
pada tanggal 31 Januari 1948. Selepas masa pengajuan itu, PKPB mengalami
jatuh-bangun dalam hal organisasi gereja dan kebutuhan-kebutuhan gereja. Selain
itu, banyak yang merasakan bahwa status yang melekat sebagai PKPB membuat
mereka kurang begitu luwes dan luas dalam bertindak. Oleh sebab itu, pada
tanggal 12-13 Januari 1949 diadakan sidang kedua. Dalam sidang tersebut muncul
pertikaian yang disebabkan adanya perbedaan pandangan mengenai makna berdiri
sendiri. walaupun demikian, hal itu dapat dijembatani oleh Nona Frans yang
didukung oleh Dr. J. L. Swellenggrebel (Aritonang 2012, 254-6).
Pada akhirnya, kata berdiri sendiri
diganti dengan berdiri bersama-sama dengan Gereja lain. Ini menandakan di dalam
gereja sendiri kita mempunyai tanggung jawab di hadapan Tuhan. Selanjutnya,
nama Gereja PKPB diganti dengan GKPB, yakni Gereja Kristen Protestan Bali. Pada
tanggal 20 April 1949, ditetapkanlah nama gereja menjadi Gereja Kristen
Protestan Bali. Bersama dengan itu, maka pemerintahan Gereja pun (Sinode)
terbentuk (Aritonang 2012, 258).
Refleksi
dan Kesimpulan
Pekabaran Injil di Jawa Barat adalah hal yang
sulit bagi para zendeling, karena mereka mendapat penolakan dari pribumi Sunda
yang sudah terlebih dahulu memeluk agama Islam. Namun, ketika Anthing mulai
ikut ambil bagian dalam mengabarkan Injil dengan memadukan agama Kristen dengan
kebudayaan Sunda. Hal yang tidak pernah dipakai para zendeling sehingga
orang-orang pribumi asing dengan hal tersebut dan tidak terjadilah penolakan
tersebut.
Hal serupa juga terjadi di Jawa Tengah.
Bedanya, di Jawa Tengah, masuknya Kekristenan melalui 2 jalan, yakni jalan para
zendeling dan jalan dari penginjil Pribumi, yakni Kiai Tunggul Wulung dan Kiai
Sadrach. Meskipun pada akhirnya jalan melalui zendinglah yang berhasil
mendewasakan jemaat-jemaat di Jawa Tengah, namun pada awalnya penginjil pribumi
seperti Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Sadrach lah yang menjadikan agama Kristen
diterima oleh pribumi Jawa. Keadaan sosial politik juga menjadi penentu
berhasil tidaknya suatu pekabaran Injil. Ini terlihat ketika VOC dibubarkan dan
digantikan oleh pemerintahan Belanda untuk menguasai Indonesia, maka
orang-orang Katolik dapat juga melakukan misi mereka sehingga orang-orang
Katolik dapat mendirikan institusinya di Indonesia.
Tak jauh berbeda tentang pekabaran Injil
yang ada di Jawa Timur, dengan daerah lainnya. Di Jatim pekabaran Injil lebih
diwarnai dengan perbedaan metode yang digunakan oleh Johannes Emde, C.L. Coolen
dan Paulus Tosari. Para Zendeling yang ada di Jatim memiliki dua fokus dalam
melakukan penyebarannya, yakni fokus terhadap desa-desa dengan membuka lahan
(gerakan petani) dan terhadap pendidikan. Perkembangan selanjutnya pekabaran
Injil di Jatim juga dipenuhi dengan pergerakan nasionalis dari masyarakat, di
mana muncul lembaga-lembaga yang mendukung pI tersebut. Hasil akhir dari
pekabaran Injil ini dibuktikan dengan berdirinya Gereja Kristen Jawi Wetan
(GKJW).
Pekabaran Injil yang terakhir, Bali,
merupakan pekabaran Injil yang paling sulit dan penuh tantangan. PI di Bali
dapat dikatakan sebagai pI tersulit sepanjang sejarah pI di Indonesia. Kesulitan
dirasakan karena Pulau Bali adalah pulau yang tertutup dari pemahaman dan
kepercayaan dari luar pulaunya. Maka dari itu, badan zending yang mau
mengabarkan Injil menjadi sulit menembus. Walaupun demikian, tidak semua
masyarakat Bali kolot dan kaku dalam penerimaan itu, khususnya terhadap orang
asing. Ini yang diterima oleh R. van Eck dan Jacob de Vroom. Mereka diterima
baik pada awalnya, namun karena kesalahan yang mereka perbuat, terkhusus de
Vroom, sehingga ia dibunuh oleh muridnya sendiri. Setelah melewati pergumulan
yang lumayan panjang, Kabar Baik pun tersebar di Bali dan gerejanya pun berdiri
sendiri dengan nama Gereja Kristen Protestan Bali.
Melihat karya zending yang dilakukan di
Jawa dan Bali, ada hal menarik yang dapat dipelajari. Di setiap daerah
pekabaran, para zending dan zendeling melibatkan warga setempat dengan baik.
Terlebih lagi, banyak orang-orang di daerah setempat yang menjadi pekabar Injil
di wilayahnya, seperti Kyai Sadrach dan Paulus Tosari. Selain itu, pekabaran
Injil yang dilakukan lebih kepada penyebaran interkultural, yakni penggunaan
unsur-unsur budaya setempat sebagai sarana pekabaran. Karya zending lainnya
yang berharga adalah penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah, sehingga
memudahkan terjadinya pekabaran Injil dan berguna bagi pemahaman akan Kebenaran
itu sendiri.
Daftar
Acuan
Ali,
Mufti (Ed.). 2009. Misionarisme di Banten. Banten:
Laboratorium Bantenologi.
Aritonang,
Jan S. al. (eds.).
2008. A
History
of Christianity in Indonesia.
Leiden: BRILL.
Aritonang,
Jan S. 2010. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Aritonang,
Jan S. (ed). 2012. Dinamika GKPB: Dalam
Perjalanan Sejarah. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
End,
Th. van den. 2006. Ragi Carita I.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
End,
Th. van den & Weitjens, J. 2008. Ragi
Carita II. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kraemer,
Hendrik. 1958. From Missionfield to
Independent Church. Boekencentrum: The Hague.
Nortier,
C.W. 1981. Tumbuh, Dewasa,
Bertanggunjawab: Studi Mengenai Pertumbuhan Gereja Kristen Jawi Wetan Menuju ke
Kedewasaan dan Kemerdekaan ±1835-1935. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Purnomo,
Hadi. al. (Ed.) 1986. Gereja-gereja Kristen Jawa: Benih yang
Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.
Ricklefs,
M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta:
Serambi.
Singgih, E.G. 2009. Dua Konteks: Tafsir-tafsir Perjanjian Lama
Sebagai Respons Atas Perjalanan di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Soejana,
Koernia Atje. 1975. Benih Yang Tumbuh 2. Bandung:
Percetakan Universitas Kristen Satya Wacana.