Monday, December 16, 2013

“Menjadi Gereja Bagi Sesama”: Telaah Perwujudan Visi GKP Melalui Kacamata Zygmunt Bauman

            Hukum Kasih dari Matius 22: 37-40 sering disebut-sebut sebagai penggenapan Hukum Taurat, yakni "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi”. Menarik melihat dalam Hukum Kasih ini, Yesus mengatakan bahwa mengasihi sesamamu manusia sama dengan mengasihi Tuhan, Allahmu. Seorang filsuf beraliran psikoanalisis, Sigmund Freud,  mengatakan bahwa panggilan untuk “mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri” adalah salah satu dari prinsip-prinsip dasar kehidupan yang beradab. Dengan demikian, orang-orang tidak boleh mementingkan kepentingan pribadi dan mencari kesenangannya sendiri.
            Bagaimana Zygmunt Bauman melihat hal visi GKP, “Menjadi Gereja Bagi Sesama” dalam kacamata pemikiran On the Difficulty of Loving Thy Neighbour dalam bukunya yang berjudul Liquid Love?
Pemikiran Bauman Mengenai Mengasihi Sesama
            Ketika Freud menulis, “Kasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, ia sebenarnya melontarkan sebuah pemikiran yang mengulangan ajaran dari Yesus. Ajaran atau pemikiran itu mungkin masuk akal dan dapat dianut, dan telah dilakukan peradaban, terlepas dari timbulnya pemahaman peradaban tentang pengejaran kebahagiaan. Namun, banyak juga orang ketika membaca atau mendengar tentang ajaran atau pemikiran ini, maka bertanya-tanya, “mengapa aku harus melakukan itu? apa yang baik jika aku melakukan itu?” (Bauman 2003, 77). Salah satu hal yang penting untuk mengasihi sesama adalah dengan memastikan bahwa mereka layak untuk dikasihi. Kelayakan itu, menurut Bauman, dapat diketahui ketika mereka lebih sempurna daripada kita sehingga kita dapat mencintai diri kita di dalam sesama kita sebagaimana idealnya cinta. Namun, ini semua tidak dapat dengan mudah dilakukan, ketika sesama itu adalah “yang asing” bagi kita, yang tidak kita kenal sama sekali; sehingga kita tidak bisa melihat signifikansi diri kita di dalam dirinya dan  ia mungkin telah diperoleh untuk kehidupan emosional saya. Untuk bisa merealisasikan kasih kepada “yang asing” itu, mereka harus memiliki daya tarik untuk menarik kita dengan penilaian sendiri (Bauman 2003, 77).
            Freud mengatakan bahwa apa titik poin dari ajaran yang tercantum dengan kesungguhan yang begitu banyak jika penggenapannya tidak dapat dianjurkan sebagai hasil yang masuk akal?’. Satu jawaban yang dapat disimpulkan adalah mencintai sesama adalah perintah yang sangat tepat melalui fakta bahwa tidak ada jalan lain sebagai bandingan kuat dengan sifat asli manusia (Bauman 2003, 78). Dalam sub bab buku Liquid Love, Bauman mengatakan bahwa mengasihi sesama mungkin memerlukan lompatan iman, hasilnya adalah lahirnya tindakan kemanusiaan. Itu juga merupakan bagian naas dari naluri kelangsungan hidup dengan moralitas.
            Mengasihi sesama seperti diri sendiri, secara implisit menyatakan bahwa cinta diri merupakan satu kerumitan yang ada. Cinta-diri adalah sikap kelangsungan hidup, dan kelangsungan hidup tidak membutuhkan perintah. Mengasihi sesama seperti diri sendiri membuat kelangsungan hidup manusia tidak seperti kelangsungan hidup mahkluk hidup lain. Eksistensi cinta diri menjadi pembeda bagi kelangsungan hidup manusia dengan binatang. Persepsi untuk mencintai sesama menantang dan menentang insting yang ditetapkan oleh alam, tetapi juga menantang dan menentang makna hidup yang ditetapkan oleh alam, dan cinta diri yang melindungi itu (Bauman 2003, 79).
            Bauman juga menyatakan dalam sub bab lainnya, bahwa mencintai sesama mungkin bukan produk pokok dari insting kelangsungan hidup tetapi cinta-diri, dipilih sebagai model cinta terhadap sesama, seperti sebuah produk. Memang benar bahwa cinta-diri mendorong kita untuk "tetap hidup", berusaha keras untuk tetap hidup agar menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk, untuk melawan dan bertikai kembali, melawan apapun yang mungkin mengancam yang sebelum waktunya atau melawan akhir yang mendadak dari kehidupan, dan untuk melindungi, atau tetap lebih baik menaikan kemampuan kita dan tenaga untuk membuat daya tahan yang efektif (Bauman 2003, 79).
            Kelangsungan hidup tidak dapat terjadi tanpa cinta-diri. Cinta-diri mendorong kita untuk mengundang bahaya dan menyambut ancaman. Cinta-diri dapat mendorong kita untuk menolak kehidupan yang akan menjadi standar cinta kita. Menurut Bauman, supaya memiliki Cinta-diri, kita perlu menjadi yang dicintai. Cinta-diri dibangun di luar cinta yang ditawarkan untuk kita melalui yang lain. Orang lain harus mengasihi kita lebih dulu, begitu juga kita dapat memulainya dengan mengasihi diri kita. Mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri kita sendiri akan berarti kemudian melonjak naik menjadi sebuah bentuk penghormatan atas keunikan tiap orang lain (Bauman 2003, 80).
Menjadi Gereja Bagi Sesama: Visi Gereja Kristen Pasundan
            GKP Menjadi Gereja Bagi Sesama, merupakan visi dari Gereja Kristen Pasundan yang diusung setelah Sidang Sinode GKP tahun 2007 silam. Yang dimaksudkan sebagai visi adalah suatu keadaan atau situasi yang berbeda dan lebih baik dari keadaan saat ini dan bagaimana usaha untuk mencapainya. Visi juga dapat diartikan sebagai lampu jarak jauh yang dapat memberian arah untuk setiap upaya. Visi tidak hanya sebuah ide, tetapi juga sebagai gambaran mengenai masa depan dan masa sekarang. Visi, sebagai cakrawala pandangan bersama dari keseluruhan warga GKP selaku persekutuan, merupakan penglihatan yang menyingkapkan keadaan dan peran GKP selaku pribadi-pribadi dan persekutuan yang ditempatkan Tuhan untuk hadir dan berkarya dalam konteks ruang dan waktu (Sairoen 2007, 64).
            Dalam memahami visi GKP, perhatian tidak hanya sebatas menyingkapkan keberadaan dan peran seluruh bagian internal GKP semata, tetapi juga menyingkapkan keberadaan dan peran GKP dalam korelasi dengan lingkungannya sebagai bagian utuh dari gereja Tuhan yang kudus dan am (oikumenis) dan sebagai bagian yang utuh dari suatu masyarakat bangsa di dalam segala arasnya (Sairoen 2007, 64). Visi menjadi Gereja Bagi Sesama dicanangkan GKP dengan merujuk pada hakekat gereja yang merupakan persekutuan umat Allah atau persekutuan umat milik Allah yang diutus ke dalam dunia (Sinode GKP 2007, 62).
            Atas visi yang diusung GKP ini, beberapa jemaat GKP  kemudian memiliki pertanyaan dari visi yang diserukan GKP pada tahun 2007 silam, yakni “siapa sesama yang dimaksudkan?”. Yonky Karman, dalam tulisannya yang berjudul Gereja Bagi Sesama dalam buku Merentang Sejarah, Memaknai Kemandirian: Menjadi Gereja Bagi Sesama, menjelaskan melalui pemahaman biblisnya, bahwa Yesus mengoreksi pertanyaan keliru para Ahli Taurat, “Siapakah sesamaku manusia?” karena pertanyaan itu mengasumsikan pengelompokan primordial di antara manusia berdasarkan etnisitas atau agama. Pengelompokan seperti itu memengaruhi sikap kita terhadap orang lain. Itulah kecenderungan primordial manusia. Seharusnya, kita menjadi sesama bagi siapa saja sebagai sama-sama makhluk ciptaan Allah. Kita harus menemui orang lain sebagai sesama dalam perjumpaan yang konkret (Karman 2009, 7)
            Dalam mewujudkan visi ini, GKP harus memiliki kesadaran berbagai kenyataan yang ada dan yang terjadi di sekitarnya maupun di dalam GKP sendiri. Kenyataan di sekitar GKP dapat berupa keadaan jaman dengan berbagai realitanya, dapat pula berupa hadirnya berbagai lembaga, komunitas dan sebagainya yang dapat bekerja sama tapi juga dapat berseberangan dengan GKP. Hal ini mengingatkan dan menyadarkan warga jemaat GKP, bagaimana upaya untuk berperan, membangun, dan menyumbang dalam hidup kebersamaan sebagai masyarakat yang majemuk. Kenyataan di dalam diri GKP sendiri dapat berupa keterbatasan-keterbatasan maupun kekuatan-kekuatan dalam berbagai aspeknya, yakni teologi, daya, dana, dan aspek yang lainnya. Berbagai kenyataan itu harus disadari, bahkan lebih dari itu, harus dikelola demi pencapaian atau perwujudan visi (Sinode GKP 2007, 63).
            Visi GKP “Menjadi Gereja Bagi Sesama” ini selaras dengan dan sekaligus merupakan visi oikumenis global hasil perenungan gereja-gereja se dunia dalam Sidang Raya DGD (WCC) di Porto Alegre, Brasil, Februari 2006. Hal ini sejalan pula dengan visi dan misi PGI sebagaimana tertuang dalam Dokumen Keesaan Gereja khususnya dalam Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama Gereja-gereja di Indonesia, di Palangkaraya, tahun 2000. Dengan cvisi bergereja seperti inilah, maka kesadaran terhadap semua kenyataan yang menyekitari GKP, baik kenyataan oikumenis maupun kenyataan masyarakat, merupakan bagian dari upaya GKP untuk memahami dan memaknai kehadirannya serta keberadaannya sebagai gereja yang harus setia dan bersungguh-sungguh mewujudkan panggilannya. Oleh karena itu kesadaran terhadap semua kenyataan yang menyekitari GKP ini harus dipahami dan dihayati sebagai kemauan segenap bagian GKP untuk memaknai secara nyata tri wawasan dan tri kemandirian GKP yang sejalan dengan visi GKP mulai tahun 2007 (Sinode GKP 2007, 64).
Visi GKP dalam Kacamata Zygmunt Bauman
            “Menjadi Gereja Bagi Sesama” merupakan perwujudan mengasihi sesama manusia. Majelis Sinode GKP, secara tidak sengaja menyusun visi GKP serupa dengan pemikiran Zygmunt Bauman., karena saya tidak menemukan di referensi manapun filosofis Bauman dipakai oleh GKP. GKP mau mencoba menembus batas kebudayaan GKP yang hanya memikirkan masalah ke-GKP-an. GKP berusaha merambah sisi oikumene dengan mengusung visi ini.
            Melalui visi ini, GKP secara sinodal, “dipaksa” untuk mengasihi “yang asing”, menjadi perekutuan yang terbuka bukan hanya bagi sesama GKP, sesama anggota PGI, sesama orang Kristen Protestan, tetapi juga sesama “yang asing” bagi GKP; menjadi gereja bagi “yang asing” itu; menghormati mereka, “yang asing”, dalam keunikannya; dan mengasihi mereka, “yang asing” dengan selalu melihat bahwa mereka juga memiliki potensi yang lebih besar dari kita.
Analisis Perwujudan Visi GKP
             Menjadi Gereja Bagi Sesama, adalah visi konkret yang coba dijalani oleh GKP sebagai sebuah persekutuan umat Kristen. Terkait dengan pemikiran Bauman mengenai mengasihi sesama, GKP secara tertulis melalui Rencana Kerja Dasar tahun 2007 memahami sesama yang dimaksudkan ialah juga “yang asing” bagi GKP, yakni lembaga, komunitas dan sebagainya yang “berseberangan” dengan GKP. GKP tidak menutup diri dari “yang asing” dan tetap mengasihi “yang asing” itu seperti diri GKP sendiri. Visi ini diwujudkan oleh salah satu jemaat GKP yakni GKP Jemaat Tanah Tinggi. GKP Jemaat Tanah Tinggi, dalam rangka mewujudkan arti “Menjadi Gereja Bagi Sesama”, jemaat melalui Majelis Jemaat pada Juni 2010 membuka ibadah sore. Ibadah ini sejak semula dimaksudkan untuk umum, artinya tidak terbatas bagi anggota jemaat GKP Tanah Tinggi saja, dan karena itu sudah dipikirkan bahwa ibadah ini akna bersifat ekumenis. Pada akhirnya, ibadah ini menjadi ibadah ekumenis bagi orang-orang Kristen yang termarjinalkan (Pattianakotta 2013, 92). 
            Perwujudan “Menjadi Gereja Bagi Sesama” yang dilakukan oleh GKP Jemaat Tanah Tinggi memang belum terlalu luas cakupannya, karena masih terhadap sesama orang Kristen. Namun, perlu diingat bahwa mereka adalah “yang asing” dalam jemaat GKP Tanah Tinggi. Bauman mengatakan memang sulit untuk mengasihi “yang asing” itu, oleh sebab itu diperlukanlah daya tarik dari “yang asing” itu untuk bisa mewujudkan kasih terhadap mereka. Ketertarikan yang dilihat oleh Jemaat GKP Jemaat Tanah Tinggi adalah bahwa mereka, “yang asing” itu, adalah kelompok-kelompok Kristen yang termarjinalkan. Mereka adalah para pemulung dan pedagang kaki lima di sekitar kawasan Tanah Tinggi yang kumuh itu. Rata-rata dari mereka tidak dilayani oleh beberapa gereja, sehingga yang terjadi adalah mereka beribadah di rumah-rumah yang mau terbuka bagi mereka. GKP Jemaat Tanah Tinggi merasa bahwa mereka, “yang asing” itu, layak untuk dikasihi, bukan dikasihani.
            Mereka tidak hanya “asing” karena bukan bagian dari jemaat GKP Tanah Tinggi, tetapi juga karena mereka berseberangan dari cara beribadah GKP. GKP Jemaat Tanah Tinggi yang biasa beribadah secara khusyuk mau menerima mereka yang beribadah dengan gerakan-gerakan tubuh yang jarang dilakukan saat beribadah di GKP Jemat Tanah Tinggi, misalnya bertepuk tangan, bersorak “Haleluya”, dan lain sebagainya. GKP, seperti yang Bauman katakan, mengasihi mereka sebagai sesama dengan menerima keunikan mereka. GKP Jemaat Tanah Tinggi menghormati keunikan mereka dengan tidak memaksakan kebiasaan GKP Jemaat Tanah Tinggi yang beribadah secara khusyuk dan memandang keunikan itu sebagai suatu kelebihan yang mereka miliki dalam hal penyembahan terhadap Tuhan.
            Gereja Kristen Pasundan, dalam perwujudan visinya masih bergelut dengan perkembangan masyarakat yang terjadi. Beberapa jemaat GKP masih menentukan pra-syarat untuk mengasihi “yang asing” itu, belum bisa menghormati keunikan dari “yang asing” itu. Secara terkhusus belum semua jemaat di GKP bisa mewujudkan “Menjadi Gereja Bagi Sesama”, terkhusus menjadi gereja bagi “yang asing” dalam kacamata Zygmunt Bauman.
DAFTAR ACUAN
Bauman, Zygmunt. 2003. Liquid Love. USA: Blackwell Publishing Inc.
Karman, Yonky. 2009. “Gereja Bagi Sesama.” Dalam Merentang Sejarah, Memaknai        Kemandirian: Menjadi Gereja Bagi Sesama, oleh Onesimus Dani, Daryatno            Supriatno. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Pattianakotta, Hariman Andrey. 2013. Melihat Masa Lampau dan Menatap Masa Depan di          Kekinian Waktu: Riwayat 75 Tahun Gereja Kristen Pasundan Jemaat Bethani Tanah            Tinggi Jakarta. Jakarta: Biro Penerbitan, Penelitian, dan Pengembangan GKP Bethani            Tanah Tinggi.
Sairoen, Toto Lukito. 2007. Profil Gereja Kristen Pasundan Dalam Perspektif Kemandirian          Teologi, Daya, dan Dana. Bandung: Badan Binalitbang GKP

Sinode GKP, Majelis. 2007. Buku Himpunan Keputusan-keputusan Sidang Raya Sinode    XXVI Gereja Kristen Pasundan dan Rencana Kerja Dasar Gereja Kristen Pasundan        Tahun Pelayanan 2007-2012. Bandung: Majelis Sinode Gereja Kristen Pasundan. 

Tafsiran Perumpamaan atas Lukas 13:18-21

Maka kata Yesus: "Seumpama apakah hal Kerajaan Allah dan dengan apakah Aku akan mengumpamakannya? Ia seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di kebunnya; biji itu tumbuh dan menjadi pohon dan burung-burung di udara bersarang pada cabang-cabangnya." Dan Ia berkata lagi: "Dengan apakah Aku akan mengumpamakan Kerajaan Allah? Ia seumpama ragi yang diambil seorang perempuan dan diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai khamir seluruhnya."
Tafsiran
            Di ayat sebelumnya, Lukas menceritakan kepala rumah ibadat yang mempermasalahkan Yesus yang menyembuhkan orang pada hari Sabat ketika Ia mengajar di salah satu rumah ibadah. Namun pada ayat 18-21, Yesus menyampaikan perumpamaan ini tanpa ada yang bertanya melainkan Yesus sendiri yang mempertanyakannya. Meskipun tidak ada perubahan lokasi dalam perumpamaan ini, kita tidak boleh berpikir bahwa pendengar perumpamaan ini di dalam teks adalah kerumunan atau kepala rumah ibadat seperti di ayat 10-17 (Noland 1993, 728).
            Menurut Boland, istilah “Kerajaan Allah” telah seringkali dibicarakan. Namun di sini dibicarakan tentang Kerajaan itu dengan dua perumpamaan atau perbandingan. Lukas menghubungkan ayat-ayat ini secara erat kepada bagian yang mendahului, seakan-akan perkataan ini pun juga masih diucapkan oleh Yesus dalam rumah ibadat (Boland 2003, 341).  Dalam perikop ini, Yesus menceritakan dua perumpamaan untuk menunjukkan pertumbuhan fenomenal dari Kerajaan Surga. Kedua perumpamaan ini membentuk pasangan, seperti dua sisi koin yang sama. Perumpamaan tentang biji sesawi menggambarkan pertumbuhan kerajaan yang ekstensif, dan perumpamaan tentang ragi menjelaskan pertumbuhan kerajaan yang intensif (Kistemaker 2001, 46).
            Yesus memilih mengumpamakan Kerajaan Allah dengan menggunakan biji sesawi karena pada masa itu, biji sesawi memang dipakai sebagai pepatah yang menggambarkan kekecilannya (Blomberg 1990, 285). Biji sesawi atau biji sinapi di dalam Injil Matius dikatakan sebagai benih yang terkecil daripada segala benih, namun ketika sudah tumbuh, tanaman itu lebih besar daripada segala tanaman yang belukar. Biji sesawi itu hanya sebesar kepala jarum pentul. Ketika tumbuh, maka tanaman ini bisa mencapai 2-3 meter dan mempunyai batang tetap dan tampak seperti kayu. Bijinya mengandung banyak minyak sehingga disukai oleh burung-burung. Namun dalam hal ini Lukas bukan menekankan pertentangan kecilnya benih dan besarnya tumbuhan itu kelak (Boland 2003, 341).
            Namun agaknya perumpamaan ini terlalu berlebihan. Blomberg mencatat bahwa biasanya pohon dari biji sesawi ini tidak tumbuh cukup besar untuk menarik banyak burung ke sarang di dalamnya (Blomberg 1990, 286). Namun Yesus menerobos batas realitas yang ada untuk memperlihatkan begitu besarnya dampak Kerajaan Allah bagi dunia sehingga realitas pun dapat diterobosnya. Kerajaan Allah digambarkan Lukas seumpama biji sesawi, menandakan bahwa Kerajaan Allah akan dimulai secara ajaib, tersembunyi, dan tidak berarti. Namun perkembangan Kerajaan Allah akan begitu cepat dan tak terhalangi. Pohon yang besar dengan dahan-dahan yang banyak diumpamakan sebagai Kerajaan Allah yang besar yang terbuka bagi semua orang, tidak terkhusus hanya bagi orang-orang Yahudi saja (Heselaars 1981, 167). Sebenarnya kiasan mengenai pohon yang besar sering dipergunakan dalam Perjanjian Lama untuk menggambarkan kerajaan yang besar dan berkuasa.
            Perumpamaan yang kedua yang Yesus ajarkan adalah mengenai perempuan yang mengambil ragi dan mengkhamirkannya dengan tiga sukat tepung. Tiga sukat tepung yang dikhamirkan wanita dengan berbagai diperkirakan menyamai kuantitas 25-40 liter, yang mampu memberi makan lebih dari 100 orang (Blomberg 1990, 286). Namun, tiga sukat tepung  banyak direka-reka sebagai sebagai penggambaran 3 benua yang dibedakan orang pada waktu itu, sesuai dengan ketiga orang anak Nuh. Ada pula yang menyatakan bahwa tiga sukat tepung itu menggambarkan orang Yahudi, Samaria, dan Orang Yunani (Boland 2003, 342).
            Kistemaker memaparkan, sebenarnya penerjemah Alkitab telah mengaburkan terjemahan bahasa Yunani zume sebagai yeast (ragi) bukan leaven (adonan asam). Selain orang Yahudi, kebanyakan orang tidak mengenal kata leaven dan karena alasan ini maka konsep tentang ragi diperkenalkan. Ragi dibuat dari pengolahan larutan mineral gula-garam yang ditambahi zat tepung. Tetapi adonan asam dibuat dengan menyimpan sejumlah adonan selama satu minggu dan ditambahkan sari buah untuk mempercepat fermentasi. Adonan asam dipengaruhi oleh perkembangbiakan bakteri yang berbahaya, yang akan berlangsung terus di dalam proses pembuatan roti sampai proses tersebut dihentikan, yaitu ketika orang makan roti tak beragi selama satu minggu seperti yang dilakukan orang Yahudi selama Paskah (Kistemaker 2001, 51).
            Yesus tidak bermaksud untuk menyebut leaven sebagai sesuatu yang jahat, tetapi Ia menggunakan konsep leaven karena kekuatannya yang tersembunyi. Ragi dan adonan asam meresap ke dalam seluruh adonan sehingga menyebabkan adonan mengembang. Sesudah ragi atau adonan asam dicampur dengan tepung, ragi atau adonan asam itu tidak lagi dapat kita temukan. Ragi dan adonan asam tersembunyi dan tidak terlihat (Kistemaker 2001, 51). 
            Dengan perumpamaan tentang ragi ini, Yesus ingin mengajarkan bahwa Kerajaan Allah menyatakan kekuasaan dan kehadirannya di dunia ini dengan cara yang tersembunyi, namun berdampak besar bagi seluruh partikel yang ada di dunia ini. Yesus memusatkan perhatian kepada kekuatan internal Kerajaan Allah melalui perumpamaan tentang ragi, di mana tidak satupun yang tidak terkena pengaruhnya (Kistemaker 2001, 52).
Refleksi
            Perumpamaan Tentang Biji Sesawi dan Ragi adalah 2 perumpamaan yang kembar, seperti dua mata koin yang tidak dapat dipisahkan. Perumpamaan ini tidak dapat dipisahkan karena kedua perumpamaan ini menggambarkan bagaimana Kerajaan Allah itu berdampak, baik terlihat (seperti biji sesawi) dan tidak terlihat (seperti ragi). Dengan memberikan perumpamaan ini, Yesus sendiri sudah mengatakan dan mengajarkan kepada orang-orang, juga para pembaca teks Lukas pada masa kini bahwa Kerajaan Allah bukan lagi sesuatu yang ada setelah kehidupan manusia sekarang ini. Kerajaan Allah sudah nyata dan hadir saat ini.
            Hal Kerajaan Allah bukan lagi sekadar tempat, tetapi situasi dimana semua orang dapat masuk dan berperan aktif menghadirkan situasi Kerajaan Allah (misalnya perdamaian, sukacita, dll) seperti pohon sesawi yang tumbuh besar dan dahannya terbuka bagi semua burung di udara. Situasi Kerajaan Allah yang digambarkan dengan perumpamaan biji sesawi adalah situasi di mana tidak ada lagi perbedaan, dia Yahudi dan non-Yahudi, sebab Allah hadir bukan hanya untuk orang Yahudi, tetapi untuk semua orang. Situasi Kerajaan Allah juga layaknya ragi yang diumpamakan Yesus. Situasi Kerajaan Allah harus dirasakan seluruh ciptaan Allah di bumi ini, tanpa terkecuali. Situasi Kerajaan Allah harus meresap ke dalam setiap aspek kehidupan orang-orang, sehingga semua dapat merasakan kehadiran Kerajaan Allah.

Daftar Acuan
Boland, B. J. 2003. Tafsiran Alkitab: Kitab Injil Lukas. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Blomberg, Craig L. 1990. Interpreting The Parables. Downers Grove: Intervarsity Press
Heselaars, F. 1981. Tafsir Perjanjian Baru 3: Injil Lukas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Kistemaker, Simon. 2001. Perumpamaan-perumpamaan Yesus. Malang: Departemen             Literatur SAAT.
Noland, John. 1993. Word Biblical Commentary: Luke 9:21-18:34. USA: Word Incorporated.



Tafsiran Yohanes 7:37-39

Pendahuluan
            Injil Yohanes mulai diakui sebagai injil yang sebagian besar mempunyai latar belakang Yahudi, dan bukan melulu Yunani. Tradisi kuno menempatkan asal kitab Injil ini di Efesus. Sebab itu wajar bila para ahli berusaha mencari suatu latar belakang Helenis, terutama mengingat prakata Injil Yohanes menjelaskan peristiwa inkarnasi firman atau logos. Menarik apabila prakata itu dihilangkan dari Injil Yohanes, maka hanya sedikit saja dari sisa yang dapat dimengerti dengan latar belakang Yunani. Malah sebaliknya, penulis menyatakan tujuannya menulis kitab ini dalam bentuk yang sangat bersifat Yahudi (Drane 2011, 223).
            Yohanes pasal 7 dan 8 terikat bersama dalam hubungannya dengan Hari Raya Pondok Daun sehingga kedua pasal ini harus dilihat sebagai suatu bentuk bagian dari Injil ini. Namun, diantara pasal ini terdapat sebuah kejanggalan akibat munculnya perikop tentang Perempuan yang berzinah (Yoh. 7:53-8:11). Aslinya, formasi teks ini tidak ada pembagian dalam injil Yohanes (Murray 1987, 100).
            Kehadiran Yesus di festival dijelaskan dalam paragraf pembukaan pada pasal 7: Yesus menolak untuk pergi ke festival atas desakan saudara-saudaranya, tetapi kemudian Dia melakukan perjalanan ke Yerusalem secara pribadi, dan di tengah jalan melalui festival itu, Dia mulai mengajar orang banyak di Bait Allah. Beberapa ajaran yang paling karakteristik dari Injil terkandung dalam bagian ini, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan festival Yahudi dalam pelayanan Yesus dan sifat bahwa pelayanan sebagai misi dari Bapa kepada dunia melalui inkarnasi Anak (Murray 1987, 100).          
Tafsiran
(7:37) Dan pada hari terakhir, yaitu pada puncak perayaan itu, Yesus berdiri dan berseru: "Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! (7:38) Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup."
            Kalimat pembuka dalam ayat 37, “Dan pada hari terakhir, yaitu pada puncak perayaan itu” menandakan babak yang baru dalam perikop ini. Puncak perayaan yang dimaksudkan adalah puncak perayaan[1] Hari Raya Pondok Daun atau Festival Tabernakel (Alexander 1995, 622).  Perkataan di ayat 37-38 adalah sebuah contoh luar biasa dari karakteristik Injil Keempat ini, yang dalam tulisannya mewujudkan memori perbuatan besar Allah di masa lalu dan antisipasi tindakan penyelamatan Allah di masa depan (Murray 1987, 113). Perkataan Yesus itu pun memiliki makna seperti air berubah menjadi anggur dalam pemurnian Yahudi, yang juga menunjukkan bahwa ritus lama itu mendapatkan makna yang baru karena kehadiran inkarnasi Firman di dunia (Alexander 1995, 622). Ayat ke 37-38 juga mengisyaratkan akan keberangkatan Yesus dalam kematian yang juga membuat kepastian bahwa baptisan Roh, yang menjadi hadiah tertinggi Yesus kepada semua orang yang percaya kepada-Nya (Tasher 1992, 106).
            Origenes menafsirkan kalimat “Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum!” sebagai isyarat akan adanya jaminan jika mengikut Yesus, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa orang percaya yang haus akan dipuaskan menjadi sumber air hidup kepada orang lain. Jika air hidup melambangkan wahyu Allah melalui Yesus, ini tidak akan menjadi interpretasi yang mustahil, sebab jika itu benar maka akan menandakan bahwa orang yang menerima wahyu dari Yesus kemudian akan menjadi sumber kepada orang lain (Murray 1987, 115). Komentar dari Yohanes, yang berkaitan logion hingga sejarah PL dan janji yang terletak di pusat festival, bahkan dengan ay 39 adalah penjelasannya tentang simbolisme air dalam terang peristiwa yang menyelamatkan dikayu salib dan kebangkitan dan pengiriman roh oleh Kristus (Murray 1987, 116).
(7:39) Yang dimaksudkan-Nya ialah Roh yang akan diterima oleh mereka yang percaya kepada-Nya; sebab Roh itu belum datang, karena Yesus belum dimuliakan.
            Ayat 39 memberikan pernyataan eksplisit dari pemahaman Yohanes tentang hubungan antara karunia roh dan pemuliaan Yesus. Karunia Roh menjadi kenyataan dalam kehidupan orang percaya hanya setelah kematian Yesus, Kebangkitan, dan kenaikan. Memang, Roh Allah turun atas Yesus pada saat pembaptisan-Nya. Namun, Yohanes ingin mengatakan bahwa Roh seperti yang dikenal dalam kehidupan gereja tersebut belum ada, karena Roh Allah didefinisikan ulang dalam terang kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus (Alexander 1995, 623-624). Yohanes menganggap ajaran dasar bahwa Roh Kudus adalah Roh Kerajaan Allah, dan sementara itu Yesus adalah instrumen kerajaan melalui seluruh pelayanan-Nya, dan acara terpenting dimana keselamatan datang di antara manusia adalah penyaliban sampai kebangkitan Yesus (Murray 1987, 117).
Refleksi
            Membaca tafsiran atas Yohanes 7:37-39 mengingatkan saya akan sebuah iklan salah satu produk minuman kemasan yang mengatakan “sumber air su dekat”. Sumber Air hidup memang benar adalah Yesus, namun jarang orang mau menilik sebuah makna tersirat yang ingin disampaikan bahwa orang yang telah datang kepada Yesus dan sudah mendapatkan “Air hidup” itu, juga dapat membagikan “Air hidup” tersebut kepada orang-orang di sekitar mereka.
            Simbolisasi air digunakan karena air adalah salah satu kebutuhan dasar hidup manusia. Seorang manusia dapat bertahan hidup tanpa makan, tetapi tak akan bertahan hidup tanpa minum air. Betapa berharganya air dalam kehidupan. Begitu juga Yesus yang disimbolkan memberikan air kehidupan. Yesus sang sumber utama air hidup itu telah memberikan air hidup kepada seluruh orang yang percaya kepada-Nya. Bahkan Air hidup itu adalah Roh Kudus yang diturunkan pada hari raya Pentakosta, di mana pada saat itu Yesus telah mati, bangkit, dan naik ke Sorga menurut kepercayaan orang-orang Kristen.
            Jadi saat ini, sebagai orang yang percaya akan terang kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus ke Sorga, telah menerima karunia sumber air hidup, yakni Roh Kudus. Sumber air hidup itu sekarang ada pada kita, maukah kita membagikan air hidup itu kepada orang-orang disekitar kita? Bukan dengan melakukan Kristenisasi atau mengajarkan kepada orang-orang untuk percaya kepada Yesus, tetapi dengan memuaskan dahaga mereka yang “haus” karena dunia yang begitu menghimpit dan menyesakkan mereka- yakni bersikap sebagaimana yang telah Yesus ajarkan, yakni mengasihi sesama tanpa pandang buluh. Sumber air su dekat!!      
Daftar Acuan
Alexander, Neil M., dkk. The New Interpreter’s Bible Volume IX. USA: Abingdon Press,            1994.
Drane, John. Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologis. Jakarta: BPK    Gunung Mulia, 2011.
Marxsen, Willi. Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-       masalahnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Murray, George R. Beasley. World Biblical Commentary: John. USA: Word Incorporated,       1987.
Tasher, R.V.G. Tyndale New Testament Commentaries: "John". USA: Tyndale Press, 1992.
Utley, Bob. Free Bible Commentary. 27 June 1996.             http://www.freebiblecommentary.org/pdf/ind/VOL04_indonesian.pdf (diakses       October 15, 2013).





[1] Ada beberapa pertanyaan apakah ini merupakan pesta perayaan selama tujuh hari (lih. Ul 16:13), atau suatu pesta delapan hari (lih. Im 23:36; Neh 8:17; II Makabe 10:60, dan Yosefus). Tampaknya dalam jaman Yesus ini adalah delapan hari pesta; namun demikian pada hari terakhir tidak ada air yang diambil dari kolam Siloam yang disiramkan di dasar altar sebagaimana dilakukan pada ke tujuh hari lainnya. Kita mempelajari upacara ini dari Traktat Sukkah dari Talmud, yang mengutip Yes 12:3. Ini mungkin merupakan doa untuk hujan yang divisualisasikan bagi hasil-hasil panen (Utley 1996). Ketika Alkitab mencatat bahwa Yesus mengatakan itu di hari terakhir, Yesus mungkin berbicara disaat hari ketujuh yang sedang dilakukan ritual mempersembahkan air anggur kepada dewa, atau pada hari setelah itu, yakni hari ke delapan sebagai hari berisirahat dan merayakan sekaligus menghormati Festival Tabernakel (Alexander 1995, 622). Untuk para rabi "hari terakhir" dari festival adalah hari kedelapan, tetapi mereka tidak pernah berbicara tentang hal itu sebagai hari terbesar. Deskripsi hari terbesar dianggap oleh banyak orang Yahudi untuk menunjukkan hari ketujuh, ketika imam diproses sekitar altar dengan air yang diambil dari Siloam bukan sekali tetapi tujuh kali (Murray 1987, 114).

Sejarah Gereja-gereja di Jawa dan Bali

Keadaan Sosial-Politik, Ekonomi, Budaya, dan Agama di Jawa
            Sejak abad ke-18, sebagian besar pulau Jawa dikuasai secara langsung oleh orang-orang Belanda. Setelah VOC bubar pada tahun 1799, keadaan politik di Jawa menjadi tidak tetap. Pada tahun 1811, pemerintah Belanda yang menggantikan VOC diusir oleh pemerintah Inggris. Namun pada tahun 1816, pemerintah Belanda kembali lagi ke tanah Jawa. Hal ini berdampak pada sistem ekonomi yang telah di re-organisasikan sistem perpajakan dan tanahnya oleh para penguasa yang silih berganti menguasai daerah Jawa ini. Pada masa kekuasaan Inggris, gubernur jenderal yang memerintah sudah memiliki rencana-rencana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Jawa. Namun, ketika perang Diponegoro pecah dan mengakibatkan perbendaharaan negara Belanda kosong, maka tenaga orang-orang Jawa dikerahkan untuk mengisi kembali kas Belanda dengan sistem Tanam Paksa. Sistem inilah yang menentukan kebijaksanaan pemerintah Belanda di Jawa mulai dari tahun 1830 sampai 1860-an (Van den End 2006, 197).
            Dari segi keagamaan, pada abad ke-19 dunia rohani orang Jawa mengalami pergolakan yang besar dan banyak orang yang berjalan keliling Jawa untuk mencari “Ngelmu” baru. Sebagai catatan, kehidupan orang Jawa tetap diatur oleh adat namun banyak pula orang Jawa yang terpengaruh ilmu kebatinan. Ilmu kebatinan ini lebih berpengaruh besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur dibandingkan dengan Jawa Barat. Pada tahun 1815, tercatat bahwa tidak ada penganut agama Kristen yang adalah orang Jawa, sebagian besar adalah orang-orang Belanda serta keturunan mereka dan beberapa orang yang berasal dari Indonesia Timur. Orang Kristen ini tersebar di tiga kota besar di pantai Utara yakni Surabaya, Semarang dan Batavia; juga sebagian tersebar di dusun-dusun terpencil yang hidup sebagai pengusaha perkebunan dan tuan tanah. Jemaat-jemaat Kristen ini hidup terpencil dan tidak merasa terpanggil untuk menyebarkan Injil kepada orang-orang pribumi di sekitar mereka.  Bahkan anggota-anggota jemaat Depok malah dilarang bergaul dengan penduduk desa-desa tetangga yang beragama Islam (Van den End 2006, 198).
            Dari segi kebudayaan pada abad ke 19 di Jawa, sejak bangkitnya semangat Islamisasi pada masa Pakubuwana II terjadilah penyesuaian secara bertahap dengan peraturan-peraturan dan praktik-praktik Islam yang lebih saleh dalam kehidupan orang Jawa[1]. Namun, pada akhir abad 19, beberapa elite Jawa yang bekerja pada rezim kolonial melihat hal ini sebagai fenomena yang berbahaya, dan kaum muslim yang lebih reformis dalam masyarakat melihat itu sebagai kompromi yang tak semestinya. Pengaruh kelompok elite ini begitu kuat sehingga islamisasi atas bentuk kesenian lama yang banyak terjadi itu malah mundur (Ricklefs 2005, 274-275).

Perkembangan Karya Zending dan Misi di Jawa Barat
Abad ke-19 hingga Pertengahan Abad ke-20
            Peralihan kekuasaan dari VOC ke pemerintahan kolonial Belanda bagi para Organisasi Pekhabaran Injil merupakan angin segar, khususnya bagi gereja Katolik. Bila VOC mewakili Gereja Protestan, maka pemerintahan kolonial Belanda tidak memprioritaskan suatu denominasi di atas yang lain. Gubernur Jenderal Belanda memberikan kebebasan bagi setiap lembaga misionaris untuk beroperasi di Hindia Belanda dengan syarat ketat yang ditetapkan pemerintah (Ali 2009, 49). Oleh sebab itu, di Batavia umat Katolik dapat mendirikan institusi-institus besar. Sebuah Gereja Katedral besar dalam gaya neo-gothic mendominasi lanskap dari pusat baru Batavia, tidak begitu jauh dari kubah grand Gereja Protestan Willem I. Ordo Yesuit dan Ursula juga membangun sekolah dengan asrama yang memberikan pendidikan kelas satu untuk anak-anak beragama Katolik, juga beberapa anak-anak Protestan. Selain itu, Rumah Sakit Katolik Carolus telah didirikan tahun 1910-an (Aritonang 2008, 645).
            Di Pesisir Jawa Barat pada tahun 1863, 3 orang misionaris pertama yang diutus NZV menginjakkan kakinya, yakni Albers, Grashuis, dan Van der Linden. Ketiga orang misionaris ini diutus oleh NZV lantaran desakan dari I. Esser dan E.W. King dengan alasan bahwa sejak Belanda memerintah tahun 1596, tidak ada orang Belanda yang menyebarkan Injil di Jawa Barat. Pada awalnya memang pemerintah Belanda agak ragu untuk memberikan ijin kepada para misionaris untuk masuk dan menyebarkan Injil di Jawa Barat, namun argumentasi Esser yang menyatakan bahwa orang Sunda telah berandil besar terhadap perekonomian Belanda sehingga ada hutang budi pemerintah Belanda terhadap mereka (orang Sunda), membuat pemerintah Belanda menyetujui Pekabaran Injil terjadi di Jawa Barat (Kraemer 1958, 97). 
            Setelah mendapat izin dari pemerintah Belanda, ternyata Pekabaran Injil di Jawa Barat tidak semudah yang diperkirakan para misionaris ini. Kraemer mencatat dan memetaforakan Pekabaran Injil di Jawa Barat bagaikan Nova Zembla Spiritual[2]. Para misionaris secara pribadi mengalami betapa mengerikannya jika seluruh orang Sunda menyatakan diri dengan jalan membisu dan tak peduli seolah-olah mengatakan, “Kami tidak  mengundang anda, juga tidak menginginkan pemberian anda.” Akhirnya para misionaris berpaling kian kemari, mereka mempelajari bahasa Sunda, mereka mengunjungi yang sakit dan mencoba memperlihatkan perasaan manusiawinya dengan membantu secara sederhana dan menyatakan belas kasihan mereka. Selain itu, para misionaris juga beberapa kali mencoba masuk melalui dunia pendidikan, namun sedikit sekali anak-anak Sunda yang datang, Jika mereka datang dan kemudian memeluk agama Kristen karena pergaulannya dengan para misionaris, maka sekolah itu akan dijauhi seperti orang menghindari wabah. Oleh sebab itu, pada tahun 1876, 1879, dan 1881 pengurus NZV serta beberapa misionaris mempertimbangkan secara sungguh-sungguh pengunduran diri dari pekerjaan Pekabaran Injil tersebut. Para misionaris ini menjadi objek kritikan karena kegagalan mereka disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri. Kesalahan mereka adalah pertama-tama tidak menjaga iklim spiritual di daeran Sunda serta keadaan orang-orang sekitar di tempat para misionaris itu tinggal (Kraemer 1958, 98).
            Mr. F. L. Anthing, adalah seorang yang saleh keturunan Belanda. Ia bekerja di kantor pengadilan negeri Semarang sejak akhir 1850-an , dan sejak 1863 dia bertugas di Batavia sebagai wakil ketua Mahkamah Agung. Sejak di Semarang, Anthing telah memberikan perhatiannya terhadap pekabaran injil kepada masyarakat pribumi. Di sanalah Anthing berkenalan dengan Ibrahim Tunggul Wulung. Ketika dipindahkan tugasnya ke Batavia, ia bergabung bersama Genootschap voor Inen Uitwendige Zending (Aritonang 2010, 90) sehingga ia adalah orang yang disebut Kraemer sebagai penyelamat Pekabaran Injil di Jawa Barat. Anthing disebut sebagai penyelamat karena pemikirannya ada di luar batas pemikiran orang-orang Eropa lainnya. Anthing menyadari bahwa hal-hal seperti kebangsaan, keturunan, kebudayaan, dan pandangan hidup menyebabkan adanya jurang pemisah yang dalam antara dunia pribumi dan dunia orang Eropa. Anthing juga mengukur betapa besar hambatan terhadap Pekabaran Injil yang diakibatkan oleh dominasi politik dan posisi ekonomi bangsa Eropa yang dianggap sebagai orang-orang Kristen. Anthing juga tidak menutup mata bahwa bagi orang Timur, agama, kebangsaan dan adat istiadat masyarakat dan lain sebagainya merupakan suatu kesatuan, demikian eratnya sehingga menanggalkan agama sendiri dan memeluk agama lain karena keyakinan, tanpa meninggalkan kebangsaan, adat istiadat dan lain sebagainya bagi mereka merupakan suatu yang ganjil, yang tak masuk akal dan merupakan penyangkalan terhadap identitasnya yang benar yang telah ditentukan oleh takdir dan perjalanan/tujuan hidup mereka. Pemikiran Anthing ini pada akhirnya menjadi hipotesa cara kerjanya, yakni dengan tidak mengutus para pembantunya untuk menjadi alat sebuah organisasi Belanda dan pengkhotbah Kekristenan, melainkan mengutus mereka untuk menampilkan diri sebagaimana seorang penduduk pribumi layaknya, yang menyimpan rahasia yang sangat berharga atau yang biasa orang pribumi Jawa sebut “ngelmu” sehingga mereka (orang Sunda) ingin mengetahuinya. Dengan cara ini, orang-orang dapat didekatkan dengan pokok-pokok Injil tanpa gangguan atau ciri khas yang asing. Dengan cara inilah, Anthing berhasil secara gemilang. Maksudnya ialah bahwa hasil pekerjaan Anthing-lah yang masih tetap ada dan tidak musnah sama sekali (Kraemer 1958, 99-100). Para didikan Anthing kemudian mendirikan sejumlah jemaat kecil dan mendirikan desa-desa Kristen, di Batavia, antara lain Kampung Sawah dan Gunung Putri (Van den End 2006, 209).
            Hampir serupa dengan Jawa Barat, metode Pekabaran Injil di Banten pun terbagi dalam lima bagian. Pertama, para misionaris di Banten mendirikan sekolah, tempat di mana para utusan injil mengajarkan kepada para siswa keterampilan membaca, menulis, dan berhitung, juga pelajaran agama Kristen (katekisasi) terutama bagi persiapan pembaptisan. Kedua, kunjungan keliling desa, ke tempat keramaian seperti pasar untuk menampilkan sciopticon (gambar sorot) sambil menceritakan kisah Injil yang diilustrasikan oleh gambar tersebut. Ketiga, pelayanan kesehatan, baik dengan mendirikan poliklinik maupun dengan berkeliling ke kampung-kampung mengunjungi orang sakit. Keempat, pengedaran bacaan Kristen (colportage) kepada tokoh-tokoh masyarakat, pejabat pemerintah dari kalangan pribumi, dan juga dijual dengan harga yang murah kepada masyarakat lainnya. Kelima, pembuatan desa Kristen dengan menyediakan tanah, sawah untuk dijual kepada para anggota jemaat, yang kemudian membayarnya dengan padi hasil panen (Ali 2009, 54).

Gereja Kristen Pasundan
            Pada awal abad ke-20 yakni sekitar tahun 1930, sudah ada keinginan dari sebagian anggota Gereja di Jawa Barat untuk berdiri sendiri dan tidak selalu berada dalam asuhan Zending. Oleh sebab itu, mulailah dipikirkan masalah ini dikalangan zending dan pemimpin pribumi. Pada tahun 1933, Prof. Dr. Hendrik Kraemer ditugaskan untuk memeriksa keadaan Jemaat-jemaat Pasundan. Selama hampir 4 bulan, ia mengunjungi Jemaat-jemaat Pasundan dan menarik sebuah kesimpulan, yakni “Turunkanlah anak ini dari gendongan bagaimanapun keadaannya. Yang menjadi pengasuhnya hanyalah menjaga dan memperhatiannya dari jarak yang tidak terlalu dekat.” Kraemer mendorong NZV untuk secepatnya memberikan status berdiri sendiri kepada Gereja Pasundan setelah cukup lama diasuh oleh NZV selama kurang lebih 70 tahun, dan dari kalangan pemimpin pribumi juga sudah muncul keinginan untuk berdiri sendiri, namun jemaat pada umumnya belum dipersiapkan untuk berdiri sendiri[3]. Namun Kraemer tetap yakin bahwa Gereja Pasundan harus dilepas oleh NZV karena bagaimanapun gereja-gereja muda harus berdiri sendiri agar potensi untuk berkembang muncul dari gereja-gereja muda ini (Soejana 1975, 37-38). 
            Pada hari Rabu, 14 November 1934 bertempat di gedung gereja jemaat Bandung, dilakukan upacara peresmian Gereja Kristen Pasundan menjadi gereja yang berdiri sendiri. Dengan disaksikan oeh utusan-utusan dari semua jemaat-jemaat Pasundan, utusan-utusan Gereja-gereja lainnya yang ada di Bandung dan para pendeta NZV yang ada di Jawa Barat, Dr. N.A.C. Slotemaker de Bruine, konsol zending yang bertindak selaku wakil pimpinan NZV, membacakan “Oorkonde” (piagam penyerahan). Dengan demikian, terhitung tanggal 14 November 1934 jemaat-jemaat di Jawa Barat bekas asuhan NZV telah menjadi gereja yang berdiri sendiri dengan nama de Christelijke Kerk van West Java[4]. Sejak saat itu, gereja ini bertanggung jawab sendiri atas pemeliharaan dan pengembangan dirinya, dan melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya di Jawa Barat. Namun, ada satu bidang yang masih dibantu oleh NZV yakni bidang pembiayaan pekerjaan (bantuan keuangan)[5] (Soejana 1975, 44).
            Meski GKP telah dikatakan berdiri sendiri pada tahun 1934, namun NZV masih memegang peranan yang penting hingga tahun 1942. Antara 1934-1942 itulah GKP masih berada dibawah bimbingan NZV. Pengurus Harian Rad Ageng masih dipegang oleh petugas NZV yakni Pdt. J. Iken dan kemudian digantikan oleh Pdt. H.D. Woortman hingga tahun 1942. Jadi, meskipun secara formal GKP sudah berdiri sendiri, namun yang memimpin GKP masih tetap orang-orang NZV. Keadaan ini berakhir pada awal tahun 1942 bukan karena NZV telah yakin melepaskan GKP untuk berdiri sendiri, tetapi karena Pemerintah Hindia Belanda berakhir kekuasaannya dan digantikan kependudukan Jepang (Soejana 1975, 45-46).
            Pada masa kependudukan Jepang, GKP harus sudah mulai bersikap mandiri karena para zendeling tidak diperkenankan bekerja lagi di Jawa Barat. Pada waktu itu, pimpinan Rad Ageng segera diganti[6] dan pengurus harian ini disebut pengurus harian darurat dan berkedudukan di bandung. Pemerintah Jepang memang tidak menghambat kehidupan GKP[7].  Justru setelah kemerdekaan Indonesia, GKP baru mendapatkan hambatan-hambatan. Beberapa jemaat GKP mengalami tindakan pengacauan antara lain di Cigelam, Gunung Putri, dan Kampung Sawah. Kejadian tersebut menyebabkan anggota-anggota jemaat mengungsi ke Bogor, Jakarta, dan tempat-tempat lain. Setelah keadaan aman, barulah mereka kembali ke kampung halaman mereka, kecuali anggota jemaat dari Cigelam. Tidak hanya pada jemaat, tetapi seorang pendeta GKP dari NZV yakni Pdt. J. van de Weg yang melayani di Juntikebon dibunuh oleh beberapa orang yang tidak bertanggung jawab  (Soejana 1975, 49).
            Hingga kini, GKP masih terus bertumbuh dan berkembang di Indonesia. GKP bukanlah gereja suku meski awalnya Pekabaran Injil difokuskan kepada orang-orang pribumi Sunda. GKP adalah gereja teritorial di mana Pekabaran Injil GKP hanya sebatas Pulau Jawa bagian Barat saja.

Perkembangan Karya Zending dan Misi di Jawa Tengah
Abad ke-19 hingga Pertengahan Abad ke-20
            Injil datang ke Jawa Tengah ditandai dengan datangnya rohaniawan VOC di Semarang. Namun, baru ada kesempatan untuk berkembang pada zaman pemerintahan Inggris di Indonesia (1811-1816) yaitu dengan terbukanya kesempatan bagi badan-badan pekabaran Injil masuk ke Indonesia. Dengan kesimpulan persidangan Middelburg maka Gereformeerde Kerken in Nederland atau GKN masukd an mengabarkan injil di 5 wilayah di Jawa Tengah, yakni Yogyakarta, Banyumas, Purworejo, Kebumen, dan Wonosobo (Purnomo 1986, 95-97).
            Injil disebarkan di Jawa Tengah melalui dua jalan. Jalan yang satu adalah melalui usaha beberapa orang kulit putih dan jalan yang kedua adalah penyiaran “ilmu” Kristen oleh penduduk Ngoro dan Mojowarno. Riwayat sejarah gereja di Jawa Tengah mempunyai pola yakni utusan-utusan lembaga zending datang menetap di tengah-tengah jemaat Kristen Jawa dan mengambil alih pimpinan. Salah seorang tokoh pemimpin dalam kekristenan Jawa adalah Ibrahim Tunggul Wulung[8]. Ia berasal dari daerah Juwono dekat Gunung Muria, Jepara (Van den End 2006, 207). Pada masa ini Tunggul Wulung berkenalan dengan agama Kristen lewat hasil pertapaannya[9]. Selanjutnya Tunggul Wulung menemui Coolen, Emde, dan Jellesma (seorang penginjil utusan NZG, yang bekerja di Surabaya sejak 1848 dan di Mojowarno sejak 1851). Setelah itu ia berkelana ke mana-mana sambil mengabarkan Injil. Melihat semangat Tunggul Wullung membuat Jellesma yakin akan kesungguhan Tunggul Wulung dan akhirnya membaptis dia dan isrinya pada tanggal 6 Juli 1857 (Aritonang 2010, 93-94). Sementara itu dan juga sesudahnya, ia mengadakan perjalanan pekabaran Injil terus menerus ke daerah Pasuruan, Rembang, dan kawasan Gunung Muria. Di beberapa tempat ia menjadi perintis jemaat-jemaat Kristen yang baru (Van den End 2006, 207). Dia membuka desa bernama Banyutowo setelah membuka hutan Bondo sebelumnya. Juga dia mendirikan desa lain di Tegalombo (Aritonang 2010, 94).
            Setelah kematian Tunggul Wulung, jemaat-jemaat yang dipimpinnya beralih kepada zending Mennonit. Tetapi di Jawa Tengah bagian selatan tetap terdapat kelompok orang Kristen yang meneruskan tradisi Tunggul Wulung. Mereka dipimpin oleh seorang murid Tunggul Wulung yang bernama Sadrach. Sadrach lahir di daerah antara Demak dan Jepara dengan nama Radin Abas, di lingkungan keluarga Islam abangan atau Islam Kejawen. Begitu besarnya minat mendalami agama membuatnya ia berguru dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Hingga suatu saat ia berkenalan dengan Pak Kurmen alian Sis Kanoman yang adalah seorang guru “Ngelmu” yang pernah dikalahkan Tunggul Wulung. Selanjutnya dia diantar untuk menemui Kiai Ibrahim Tunggul Wulung di desa Bondo. Namun kemudian dia memiliki niatan untuk menempuh jalan sendiri dan Tunggul Wulung memperkenalkannya kepada Anthing di Batavia[10]. Setelah ia dibaptis, ia kembali ke Jawa Timur dan kemudian menginjili membantu Ny. Philips di daerah Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah (Aritonang 2010, 97).  Setelah Ny. Philips meninggal, jemaat yang telah dikumpulkannya menerima Sadrach menjadi pemimpinnya pada tahun 1876. Pada masa ini juga masuk NGZV dan kemudian diteruskan Zending Gereformeerde Kerken di Nederland (ZGKN). Karena sikap NGZV yang begitu keras terhadap agama Kristen Jawa dibanding Jansz maka terjadilah keretakan yang tidak dapat dipulihkan lagi sehingga Sadrach menggabungkan diri dengan Gereja Kerasulan (Van den End 2006, 208).
            Sejak saat itulah ZGK muncul dan mempengaruhi sejarah dan perkembangan Gereja-gereja di Jawa, khususnya Jawa Tengah dengan utusannya Ds. L. Adriaanse yang bertempat tinggal di Purworejo. Adriaanse mencoba untuk menggabungkan kembali gerejanya dengan Gereja Sadrach namun hal itu tidak berhasil karena Sadrach telah memilih untuk mendirikan Gereja Kerasulan. Pengganti Adriaanse yakni Jotham, membuka diri untuk berhubungan dengan zending Gereja Gereformeerd, bahkan kemudian banyak pengikut Sadrach yang menggabungkan diri dengan Gereja Gereformeerd. Gereja Sadrach yang besar itu memang tidak terpelihara dan pengetahuan kekristenannya masih sederhana jika dibandingkan dengan pengikut Gereja Gereformeerd pada umumnya ketika itu. NGZV yang sudah habis masa pelayanannya sebagai badan pekabaran Injil akhirnya menyerahkan daerah-daerah pekabaran Injil di Jawa kepada gereja Gereformeerd Belanda dan sebagian ke Zending Salatiga (Purnomo 1986, 19-20).

Gereja-gereja Kristen Jawa
            Nama-nama seperti Johanes Emde di Surabaya, Coenard Laurens Coolen di Ngoro, Ny. Van Oostrom Philips di Banyumas, Ny. Christina Petrolena Philips Stevens di Purworejo, Mr. F.L. Anthing di Jakarta harus diingat. Tentu saja, dari mereka tercatat sejarah panjang yang tidak kecil makna serta dampaknya kelak kemudian hari dan kaitannya dengan kehidupan Gereja-gereja Kristen jawa kini. Dari merekalah kemudian lahir pekabar-pekabar Injil bumi putera seperti Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Sadrach yang kemudian dikenal sebagai pengembang kekristenan Jawa.. Merekalah yang bergerak mendahului dan meratakan jalan bagi para utusan perkumpulan dan pekabaran Injil. Bahkan mereka juga yang menerobos daerah-daerah terlarang untuk pekabaran Injil akibat Regerings Reglement 177 di daerah Yogyakarta dan Surakarta (Purnomo 1986, 16).
            Pekerjaan pekabaran Injil kaum awam menghasilkan “buah” yaitu generasi pertama dari keristenan Jawa. Timbulah kelompok-kelompok Kristen di daerah Purworejo, Tegal, dan Banyumas. Mereka dibaptiskan di Gereja Protestan Belanda. Baptisan pertama bagi orang-orang Jawa terjadi di Semarang tahun 1858 dan di Purworejo tahun 1860. Kelompok-kelompok tersebut tadi merupakan cikal-bakal dari Gereja-gereja Kristen Jawa. Barangkali mereka merupakan Gereja di dalam kandungan. Dari kelompok-kelompok itulah tersebar kekristenan ke Yogyakarta, Surakarta, dan ke seluruh Jawa Tengah (Purnomo 1986, 16).
            Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa inilah yang mewariskan gereja Gereformeerd Belanda. Namun, Bakker mengemukakan bahwa ada bahaya dalam hubungan antara Gereja Jawa dengan Gereja Gereformeerd Belanda. Ada anggapan dari pihak orang-orang Kristen Jawa bahwa pendeta zending lebih tinggi kedudukannya dibandingkan pendeta Jawa, mereka lebih suka dibaptis pendeta Belanda daripada pendeta Jawa. Ada perbedaan dalam pastoral: pendeta Belanda lebih keras sedangkan pendeta Jawa lunak. Oleh sebab itu Bakker memperingatkan kedua belah pihak dan ia pun memberikan pandangan yang tepat sesuai proporsi kedudukan masing-masing. Pendeta Utusan Belanda, secara organisatoris adalah konsulen bagi gereja (majelis gereja) yang belum mempunyai pendeta, kedudukan mereka di sidang klasis maupun sinode hanya sebagai penasihat. Hal inilah yang menjadi latar belakang GKJ baru mendapat ketegasan kesamaderajatan dengan Gereja-gereja di Belanda dan di luar negeri pada tahun 1947 melalui Regional Accoord serta nota Probowinoto[11]. Dengan kesepakatan tersebut, maka hubungan antara Gereja-gereja Jawa dengan Gereja-gereja di Belanda menjadi hubungan kerja sama (partnership yang sama derajatnya) (Purnomo 1986, 31).

Perkembangan Karya Zending dan Misi di Jawa Timur
Abad ke-19 hingga Pertengahan Abad ke-20
Keadaan umum di daerah Jawa Timur tidak jauh berbeda dengan keadaan yang ada di Jawa Tengah. Ada kesamaan situasi, yakni masih berkembangnya kejawen dan juga agama Islam serta kekuatan politik. Walaupun demikian, proses penampungan Kekristenan oleh lembaga-lembaga zending Eropa telah usai (End dan Weitjens 2008, 249).
Kekristenan di Jawa Timur dimulai dengan lingkaran Orang-orang Kudus Surabaya dengan pusatnya adalah Johannes Emde (Aritonang dan Steenbrink 2008, 712). Emde menikah dengan seorang wanita Jawa dan memulai pelayanan religiusnya dari keluarganya tersebut. Dalam pelayanannya, Emde tidak memperbolehkan adanya penggunaan atribut-atribut ke-Jawa-an, seperti blankon, keris dan gamelan. Baginya, beberapa pengetahuan Belanda itu lebih baik dipahami oleh penganut agama baru, ketimbang pengetahuan setempat. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai Kristen londo tanpa kursi, karena dianggap ajarannya kurang cocok (Aritonang dan Steenbrink 2008, 713).
Di sisi lain, terdapat pula inisiator yang banyak berkontribusi dan lebih setuju dengan budaya Jawa, yakni Coenraad Laurens Coolen. Ia justru menampilkan ekspresi tradisional Jawa dalam praktik Kekristenan, seperti wayang, musik dan tarian Jawa. Coolen tinggal di desa Ngoro. Di situlah ia banyak belajar mengenai budaya jawa dan di situ pulalah ia menikah dengan wanita setempat, setelah ia bercerai dengan istrinya. Cara Coolen yang unik, dengan memakai budaya setempat sebagai bentuk pengajarannya, dilihat berbeda oleh Emde. Ia melihat bahwa Coolen mencampuradukan agama Kristen dan lebih kepada ranah sinkretisme.
Di tengah dua kutub yang berbeda tersebut, antara Emde dan Coolen, muncullah seorang yang bernama Paulus Tosari. Ia berasal dari Madura. Sebelumnya Tosari adalah seorang Islam yang taat dan juga seorang anak pesantren. Namun, pada saat Tosari mengunjungi Ngoro, ia bertemu dengan Coolen, dan mengajarkan banyak hal mengenai Kekristenan kepadanya. Coolen dibantu oleh beberapa orang dari desa Wiung ketika mengajarkan Tosari. Akhirnya, pada tanggal 12 September 1844, Tosari dibaptis oleh Emde. Setelah dibaptis, Tosari tidak dapat kembali ke Ngoro, sehingga ia memulai pembukaan lahan hutan dan memberikan nama tempat itu sebagai Mojowarno, yang akhirnya menjadi tempat lahirnya Kekristenan di Jatim. Paulus Tosari menjadi pemimpin spiritual pertama di tempat tersebut (Aritonang dan Steenbrink 2008, 714). Dengan begitu, ada dua desa Kristen yang menjadi tonggak awal penyebaran agama Kristen, yakni Ngoro dan Mojowarno. Walaupun demikian, perkembangan selanjutnya tetap ada ke berbagai tempat hingga pulau Madura.
Pada tahun 1870-1910 terdapat pergerakan dari para badan zending yang berada Jawa Timur. Pertama, zending tetap memperhatikan desa ketimbang kota. Pemilihan itu didasarkan pada faktor sosial, yakni kota-kota besar merupakan tempat tinggal bagi para orang Eropa dan Tionghoa, sementara itu, zending tidak suka bergaul dengan orang-orang tersebut. Lagi pula, pada zaman itu, gerakan kekristenan yang ada di Jatim adalah gerakan petani, yang meluas melalui pembukaan lahan. Kedua, zending menetapkan pekabaran Injil melalui karya pendidikan. Tujuan dari hal itu ialah supaya dapat meningkatkan mutu jemaat Mojowarno dan jemaat lainnya, sehingga mereka tidak memerlukan lagi adanya seorang zendeling. Penunjang pI itu ialah dengan menggunakan sarana pendidikan seperti pelayanan Firman, disiplin gereja dan pendidikan sekolah (End dan Weitjens 2008, 250).
Gerakan tersebut itu berdampak ganda, yakni ke dalam dan ke luar. Dampak ke dalamnya ialah makin banyaknya jemaat yang berdiri dengan mendasarkannya pada aturan dan kebiasaan hidup desa-desa Kristen, sehingga pertambahan jumlah pun meningkat perlahan-lahan. Selain itu, dimulainyalah pI ke tanah Madura, yang kemudian bersatu dengan NZG. Sedangkan dampak ke luarnya ialah datangnya perkembangan-perkembangan baru yang menantang wawasan zending lama pada tahun 1910, yang menyebabkan bedirinya lembaga pergerakan nasional di kalangan orang Jawa. Pada tahun 1909 didirikan lembaga Rentjono Budijo yang mengedepankan penelaahan Alkitab. Nama-nama yang berkecimpung dalam organisasi ini adalah  Jerobeam Mattheus Kertoadmodjo, Kismus Wirisoebroto, R.S. Jonathan, R. Soedono Nimpoeno (Nortier 1981, 143). Dilanjutkan dengan berdirinya Mardi Pratjojo (1911), yang berkecimpung dalam PA, PI, Paduan Suara, dana kematian, dana pinjaman dan sebagainya. Kemudian, pada tahun 1918 kelompok Mardi Pratjojo dibubarkan dan bersama orang Kristen di Jatim, mendirikan Perserikatan Kaoem Christen (PKC) dan bergabung bersama partai Belanda, yakni Christelijke Ethische Partij (CEP). Kedua kelompok itu tidak begitu cocok, sebab tujuan mereka saling berbeda. CEP bertujuan untuk mempertahankan orang Belanda di Indonesia, sedangkan PKC ingin memperjuangkan kemajuan orang Indonesia dan kesamaan hak antara orang Belanda dan Indonesia (End dan Weitjens 2008, 251).
Kebangkitan kekristenan di Jatim merupakan tantangan bagi zending NZG. Ini disebabkan pemuda Kristen Jawa tidak bersedia menerima pimpinan mereka karena mereka menganggap para zendeling bertindak sebagai penjajah rohani. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 1918, diadakan perundingan antara orang Kristen di Jatim dengan orang Belanda. Rundingan tersebut menghasilkan kesetaraan antara orang Belanda dan orang Kristen di Jatim, sehingga mereka dapat makan di meja bersama. Selanjutnya, sekitar tahun 1920-an, ada pengaruh timbal balik di antara keduanya. Para zendeling yakin bahwa orang Kristen Jawa masih memahami organisasi gereja secara formalistis, sebab masih ada pembedaan antara gereja dan aparat negara. Ini menyebabkan adanya penundaan pembentukan sinode oleh mereka. Sebaliknya, para zendeling sadar mengenai desakan orang Kristen Jawa sehingga mereka meninggalkan Jatim pada awal abad ke-20.
Kesaling-berpengaruhan ini menghasilkan beberapa hasil seperti, berdirinya jemaat Mojowarno secara mandiri, didirikannya sekolah Bale Wiyata di tahun 1925. Dua tahun berikutnya sekolah itu dipindahkan ke Malang dan menjadikan kota itu sebagai pusat gerakan Kristen di Jawa Timur, menggantikan kota Mojowarno. Selain itu, terjadi pula perubahan pola pI yang terjadi di Jatim. Awalnya, pI dilakukan pada kantong-kantong Kristen yang ada di Jatim, kemudian hal itu berganti menjadi penyebaran Kabar Sukacita ke kota-kota dan desa-desa (End dan Weitjens 2008, 252-3).

Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW)
Pada tahun 1928 diadakan konferensi gereja Kristen di Jawa Timur. Dalam konferensi ini diangkat panitia yang akan menyusun tata gereja. Selain itu, melalui nasihat H. Kraemer, gereja-gereja diminta untuk berdiri secara mandiri. Gereja pertama yang mendirikan secara mandiri adalah Gereja Kristen Jawi Wetan pada tanggal 11 Desember 1931. Langkah ini merupakan langkah awal berkembangnya gereja-gereja mandiri di Jatim. Pada periode 1931-1941, melalui usaha pI, perluasan lahan, dan lain sebagainya, maka bertambahlah orang Kristen di Jatim, bahkan GKJW menyebarkan Injil sampai ke Bali.
Namun, perkembangan itu terhenti dengan selepas tahun 1941. Pada masa perang, tepatnya tahun 1942-1945, seluruh gereja yang ada di pulau Jawa dan juga agama lain yang ada di pulau itu, mengalami penderitaan saat Jepang datang menjajah Indonesia. Selain itu, terjadi perpecahan di tubuh GKJW, sehingga pada tanggal 6 Agustus 1946 diadakan pertemuan umum pendeta se-GKJW. Mereka melakukan perbaikan ke dalam dan ke luar. Alhasil, mereka berhasil mengatasi kemelut yang terjadi, dengan dibuktikan meningkatnya jumlah anggotanya. Salah satu faktornya ialah kehadiran gereja di tengah masyarakat yang sedang dalam pergolakan, sebagai persekutuan yang tidak ikut dalam kutuk-mengkutuk dan benci-membenci yang berkembang pada saat itu (End dan Weitjens 2008, 254-5).

Gereja Kristen lainnya di Jawa Timur
NZG yang membentuk GJKW tersebut tidak hidup dalam lingkungan Tionghoa, oleh karena itu, pI di kalangan tersebut diprakarsai oleh kaum Metodis dari Amerika (1905-1927). Di tahun 1928, karya pI itu diambil alih oleh gereja Calvinis kecil di Negeri Belanda, yan baru saja memisahkan diri dari GKN. Zending Belanda mulai bekerja di tengah orang Tionghoa di daerah Surabaya. Tanggal 9 Agustus 1934, delapan jemaat yang berhasil dibentuk, disatukan menjadi satu Khoe Hwee (Klasis) Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee-Khoe Hwee Jawa Timur. Lalu, THKTKH-DT berkembang menjadi Gereja Kristen Indonesia Jatim. Sementara itu, sebagian anggota yang berbahasa Mandarin, membentuk Gereja Kristus Tuhan yang berpusat di kota Lawang (End dan Weitjens 2008, 256-7).

Perkembangan Karya Zending dan Misi di Bali
Abad ke-19 hingga Pertengahan Abad ke-20
Perkembangan gereja Kristen di Bali pertama-tama dimulai sejak dipikirkannya penginjilan di pulau tersebut pada tahun 1633 hingga terbunuhnya seorang penginjil Belanda, Jacob de Vroom, pada tahun 1881 (Aritonang 2012, 77). Namun, usaha itu gagal karena Pulau Bali dikenal sebagai pulau yang tertutup karena itu merupakan benteng pertahanan orang Hindu setelah mereka diusir oleh orang Islam di pulau Jawa. Kemudian penyebaran diambil alih oleh UZV. Pada tahun 1863, UZV mengirim W. van der Jagt sebagai zendeling yang mempersiapkan penginjilan di Bali. Tanggal 16 Oktober 1864, ia sampai di Bali dan diterima oleh pemimpin masyarakat Bali di Singaraja. Selain itu, UZV bekerja sama dengan Nederlans Bijbelgenootschap (NBG) menugaskan Herman Neubronnes van der Tuuk untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bali pada tahun 1862. Namun, pelaksanaan itu terealisasikan di tahun 1870 (Aritonang 2012, 85).
Usaha UZV untuk melakukan penginjilan di Bali juga terus dilancarkan dengan mengirim beberapa cendikiawannya. Pertama, UZV mengirim R. van Eck pada tahun 1866. Ia pandai dalam berbahasa dan salah satu karyanya ialah kamus bahasa Bali-Belanda pada tahun 1876.  Lalu, dikirimkannya Jacob de Vroom pada November 1866 sampai 1881. Ia ahli dalam bidang obat-obatan. Sayangnya, ia dibunuh ketika sedang bertugas dan dalang pembunuhannya itu adalah I Gusti Wayan Karangasem, yang merupakan anak didikan dari de Vroom (Aritonang 2012, 86-7). Yang terakhir dikirimkan adalah N. Wiggelendam yang tiba di Bali pada bulan April 1880, tetapi baru bisa menetap pada bulan Oktober.
Sayangnya, hampir selama 18 tahun menyiarkan Injil di sana, di tahun 1873 hanya ada satu orang saja yang terbaptis. Kemudian, orang yang membaptis itu dibunuh oleh masyarakat setempat (End dan Weitjens 2008, 256).
Pada tahun 1929, Injil masuk di Bali melalui seorang penginjil CAMA dari Tiongkok daratan, bernama Tsang To Hang (Kam Fuk). Ia diberi izin untuk bekerja pada orang Tionghoa di Bali. Melalui dirinya, pada tanggal 11 November 1931, 12 orang Bali dibaptis dan kemudian bertambah lagi, hingga akhirnya ada sekitar seratus lebih yang dibaptis. Namun, ia mendapat sanksi atas pekerjaannya itu, sampai akhirnya, di tahun 1933, ia harus meninggalkan Bali. Lalu CAMA dilarang mengadakan hubungan dengan Belanda dua tahun berikutnya(End dan Weitjens 2008, 256-7).

[Perjalanan Menuju] Gereja Kristen Protestan Bali
Kemudian, misi pekabaran Injil dilanjutkan dan diambil alih oleh GKJW. Pada tahun 1933, GKJW, melalui sidang Swaru, mengutus Mas Tartib Eprajim dan Mas Darmoadi ke Bali. Mas Tartib melakukan interaksi langsung, dengan duduk bersama-sama di warung kopi dan tempat-tempat lainnya, sebagai bentuk metodenya. Ia menggunakan buku Rasa Sejati kepada orang Bali, sehingga mereka menganggap Mas Tartib sebagai orang yang mengerti rahasia hati manusia. Melalui itu, ia berhasil mengajak orang Bali untuk menjadi Kristen, dan ia membaptiskan mereka dengan cara yang berkembang di pulau itu. Selain itu, Mas Darmoadi menerjemahkan Alkitab ke bahasa Bali, karena ia berbakat di bidang itu (End dan Weitjens 2008, 257-8). Selanjutnya, pada tanggal 5-7 Desember 1933, diutuslah juga guru ketiga yang diputuskan dalam sidang GKJW ke-5, yang bernama Nekamija.
Usaha penginjilan dilakukan terus-menerus kepada masyarakat Bali. Masyarakat Bali pun sudah mulai banyak yang menjadi Kristen. Namun, nilai Kristen yang mereka anut masih terpecah-pecah sehingga adanya kekacauan di antara mereka. Untuk mengatasi perpecahan gereja itu, H. Kraemer mengambil alih kepemimpinan gereja di Bali. Ia juga merekonsiliasi perpecahan gereja di Bali juga.
Pada tahun 1937, jemaat-jemaat yang terpisah tersebut dikumpulkan dalam Pasikian Kristen Bali (PKB). Perkumpulan ini didirikan sebagai wadah tempat mereka melakukan rapat untuk membicarakan persoalan-persoalan yang mereka hadapi (Aritonang 2012, 251). Kemudian, diadakannyalah kursus penghantar jemaat yang dipimpin oleh tenaga dari Jawa dan Belanda. Hal ini disebabkan pernyataan Kraemer yang mengatakan bahwa kemerdekaan gereja ini (yang akan menjadi GKPB) harus dari permulaan, orang-orang Belanda dan Jawa hanya menjadi penasihat dan Gereja berdiri sendiri (Aritonang 2012, 251). Kursus itu diperuntukan bagi jemaat agar mereka siap untuk mandiri. Bukti dari kesiapan menuju kemandirian Gereja Bali ditunjukan melalui pendirian desa Kristen yang bernama Blimbingsari pada tahun 1938. Desa inilah yang menjadi pusat Kekristenan di Bali.
Menjelang tahun 1947, PKB mencetuskan tiga hal yang mendorong kemandirian Gereja Bali serta sebuah sinode yang mengaturnya. Pertama, adanya Gerakan Persatuan Nasional di Indonesia, sehingga muncullah semangat revolusi untuk mempunyai cita-cita kemerdekaan. Kedua, adanya penyerahan tanggung jawab kepada Gereja Bali untuk mengurus dirinya sendiri. Ketiga, adanya kekosongan di Gereja Bali, akibat perginya utusan-utusan non-Bali (Aritonang 2012, 252).
Berdasarkan tiga hal itu, Ketut Suwetja, Made Rungu, dan Wayan Regog mulai membicarakan usaha pemandirian gereja. Dengan mengacu pada AD dan ART Majelis Kristen Indonesia mereka menyusun AD dan ART untuk gereja Bali. Maka pada tanggal 14-15 Januari 1948 diadakanlah sidang Gereja Bali di desa Blimbingsari. Dalam sidang itu, diputuskan bahwa gereja yang berdiri sendiri ini dinamakan Persekutuan Kristen Prostestan Bali (PKPB). Selain itu, dputuskan juga AD dan ART yang melandasinya serta Badan Pengerjanya (BP).
Perjuangan berlanjut. BP melanjutkan rapatnya setelah sidang tersebut. Mereka mengajukan maklumat kepada raja-raja di Bali, yang menyatakan bahwa Gereja telah berdiri sendiri. Surat itu diajukan pada tanggal 31 Januari 1948. Selepas masa pengajuan itu, PKPB mengalami jatuh-bangun dalam hal organisasi gereja dan kebutuhan-kebutuhan gereja. Selain itu, banyak yang merasakan bahwa status yang melekat sebagai PKPB membuat mereka kurang begitu luwes dan luas dalam bertindak. Oleh sebab itu, pada tanggal 12-13 Januari 1949 diadakan sidang kedua. Dalam sidang tersebut muncul pertikaian yang disebabkan adanya perbedaan pandangan mengenai makna berdiri sendiri. walaupun demikian, hal itu dapat dijembatani oleh Nona Frans yang didukung oleh Dr. J. L. Swellenggrebel (Aritonang 2012, 254-6).
Pada akhirnya, kata berdiri sendiri diganti dengan berdiri bersama-sama dengan Gereja lain. Ini menandakan di dalam gereja sendiri kita mempunyai tanggung jawab di hadapan Tuhan. Selanjutnya, nama Gereja PKPB diganti dengan GKPB, yakni Gereja Kristen Protestan Bali. Pada tanggal 20 April 1949, ditetapkanlah nama gereja menjadi Gereja Kristen Protestan Bali. Bersama dengan itu, maka pemerintahan Gereja pun (Sinode) terbentuk (Aritonang 2012, 258).

Refleksi dan Kesimpulan
             Pekabaran Injil di Jawa Barat adalah hal yang sulit bagi para zendeling, karena mereka mendapat penolakan dari pribumi Sunda yang sudah terlebih dahulu memeluk agama Islam. Namun, ketika Anthing mulai ikut ambil bagian dalam mengabarkan Injil dengan memadukan agama Kristen dengan kebudayaan Sunda. Hal yang tidak pernah dipakai para zendeling sehingga orang-orang pribumi asing dengan hal tersebut dan tidak terjadilah penolakan tersebut.
Hal serupa juga terjadi di Jawa Tengah. Bedanya, di Jawa Tengah, masuknya Kekristenan melalui 2 jalan, yakni jalan para zendeling dan jalan dari penginjil Pribumi, yakni Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Sadrach. Meskipun pada akhirnya jalan melalui zendinglah yang berhasil mendewasakan jemaat-jemaat di Jawa Tengah, namun pada awalnya penginjil pribumi seperti Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Sadrach lah yang menjadikan agama Kristen diterima oleh pribumi Jawa. Keadaan sosial politik juga menjadi penentu berhasil tidaknya suatu pekabaran Injil. Ini terlihat ketika VOC dibubarkan dan digantikan oleh pemerintahan Belanda untuk menguasai Indonesia, maka orang-orang Katolik dapat juga melakukan misi mereka sehingga orang-orang Katolik dapat mendirikan institusinya di Indonesia.
Tak jauh berbeda tentang pekabaran Injil yang ada di Jawa Timur, dengan daerah lainnya. Di Jatim pekabaran Injil lebih diwarnai dengan perbedaan metode yang digunakan oleh Johannes Emde, C.L. Coolen dan Paulus Tosari. Para Zendeling yang ada di Jatim memiliki dua fokus dalam melakukan penyebarannya, yakni fokus terhadap desa-desa dengan membuka lahan (gerakan petani) dan terhadap pendidikan. Perkembangan selanjutnya pekabaran Injil di Jatim juga dipenuhi dengan pergerakan nasionalis dari masyarakat, di mana muncul lembaga-lembaga yang mendukung pI tersebut. Hasil akhir dari pekabaran Injil ini dibuktikan dengan berdirinya Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW).
Pekabaran Injil yang terakhir, Bali, merupakan pekabaran Injil yang paling sulit dan penuh tantangan. PI di Bali dapat dikatakan sebagai pI tersulit sepanjang sejarah pI di Indonesia. Kesulitan dirasakan karena Pulau Bali adalah pulau yang tertutup dari pemahaman dan kepercayaan dari luar pulaunya. Maka dari itu, badan zending yang mau mengabarkan Injil menjadi sulit menembus. Walaupun demikian, tidak semua masyarakat Bali kolot dan kaku dalam penerimaan itu, khususnya terhadap orang asing. Ini yang diterima oleh R. van Eck dan Jacob de Vroom. Mereka diterima baik pada awalnya, namun karena kesalahan yang mereka perbuat, terkhusus de Vroom, sehingga ia dibunuh oleh muridnya sendiri. Setelah melewati pergumulan yang lumayan panjang, Kabar Baik pun tersebar di Bali dan gerejanya pun berdiri sendiri dengan nama Gereja Kristen Protestan Bali.
Melihat karya zending yang dilakukan di Jawa dan Bali, ada hal menarik yang dapat dipelajari. Di setiap daerah pekabaran, para zending dan zendeling melibatkan warga setempat dengan baik. Terlebih lagi, banyak orang-orang di daerah setempat yang menjadi pekabar Injil di wilayahnya, seperti Kyai Sadrach dan Paulus Tosari. Selain itu, pekabaran Injil yang dilakukan lebih kepada penyebaran interkultural, yakni penggunaan unsur-unsur budaya setempat sebagai sarana pekabaran. Karya zending lainnya yang berharga adalah penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah, sehingga memudahkan terjadinya pekabaran Injil dan berguna bagi pemahaman akan Kebenaran itu sendiri.

Daftar Acuan
Ali, Mufti (Ed.). 2009. Misionarisme di Banten. Banten: Laboratorium Bantenologi.
Aritonang, Jan S. al. (eds.). 2008. A History of Christianity in Indonesia. Leiden: BRILL.
Aritonang, Jan S. 2010.  Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Aritonang, Jan S. (ed). 2012. Dinamika GKPB: Dalam Perjalanan Sejarah. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
End, Th. van den. 2006. Ragi Carita I. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
End, Th. van den & Weitjens, J. 2008. Ragi Carita II. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kraemer, Hendrik. 1958. From Missionfield to Independent Church. Boekencentrum: The Hague.
Nortier, C.W. 1981. Tumbuh, Dewasa, Bertanggunjawab: Studi Mengenai Pertumbuhan Gereja Kristen Jawi Wetan Menuju ke Kedewasaan dan Kemerdekaan ±1835-1935. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Purnomo, Hadi. al. (Ed.) 1986. Gereja-gereja Kristen Jawa: Benih yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi.
Singgih, E.G. 2009. Dua Konteks: Tafsir-tafsir Perjanjian Lama Sebagai Respons Atas Perjalanan di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Soejana, Koernia Atje. 1975. Benih Yang Tumbuh 2. Bandung: Percetakan Universitas Kristen Satya Wacana.




[1] Misalnya, cerita-cerita wayang disesuaikan dan ditafsirkan dalam pengertian-pengertian yang lebih Islami
[2] Nova Zembla adalah pulau di Laut Utara (di sebelah utara Siberia) yang dingin, tandus, dan tidak berpenduduk. Nova Zembla ini menjadi metafor untuk menggambarkan sesuatu yang tidak menghasilkan apa-apa. Menurut Singgih, Kraemer berpikir seperti itu karena dia menganggap bahwa tanah Sunda adalah tandus sebab Pekabaran Injil yang telah sekian lama tidak membuat hati orang-orang sunda terbuka untuk berpindah agama dari Islam ke Kristen (Singgih 2009, 75; mengacu pada Kraemer).
[3] Salah satu contohnya adalah mentalitas anggota jemaat yang masih suka dipimpin oleh para Zendeling Barat. Kraemer mengungkapkan bahwa bila guru-guru (Guru Injil-pemimpin pribumi) diizinkan untuk melayani sakramen, anggota jemaat tidak akan berkata, “Lihatlah, betapa nilai guru kita menjadi naik”, tetapi: “Lihatlah, betapa nilai sakramen menjadi turun. Kita tetap meminta seorang pendeta (Pendeta kulit putih)” (Soejana 1975, 37).
[4] Gereja Kristen di Jawa Barat, yang kemudian berubah nama menjadi GKP, dengan Rad Ageng (Majelis besar, yaitu persidangan utusan-utusan Jemaat-jemaat) sebagai pemegang wewenang tertinggi dan dipilihlah pengurus harian dengan Pdt. J. Iken sebagai ketua, Pdt. D. Abednego sebagai sekretaris, dan Pdt. J. Tan Goan Tjong sebagai bendahara.
[5] Dengan catatan bahwa sejak tahun 1937, bantuan tersebut dikurangi 5% sehingga dalam jangka waktu 20 tahun bantuan tersebut sudah tidak diberikan lagi (Soejana 1975, 44).
[6] Ketua: Pdt. J. Aniroen, Sekretaris: Sdr. J. Elia, Bendahara: Sdr. Martinus Abednego, Anggota: Pdt. Kasdo Tjokrosiswondo.
[7] meskipun sempat muncul fitnah bahwa gereja dan kekristenan adalah milik Belanda. Oleh sebab itu, para pimpinan jemaat menjelaskannya kepada pemerintahan Jepang yang berkedudukan di Batavia dan mereka pun mengerti dan tidak mempermasalahkan kehidupan bergereja.
[8] Nama aslinya adalah Ngabdullah. Nama Tunggul Wulung dipakai setelah 7 tahun ia bersama istrinya madeg pandito (menjadi petapa) di Gunung Kelud. Tunggul Wulung secara harafiah berarti panji atau bendera biru-hitam yang mengacu pada cerita mistis Panji Jayakusuma, yaitu panji yang berupa sehelai kain berwarna biru-hitam atau ungu,yang melambangkan klaim atas kekuasaan mutlak dan ngelmu sejati (Aritonang 2010, 93). Setelah ia dibaptis oleh Jellesma, ia diberi nama Ibrahim (Van den End 2006, 207).
[9] Menurut legenda, setelah ia pulang bertapa dan “turun gunung” dari Gunung Kelud, ia menemukan salinan Dasa Titah di bawah tikar tempat tidurnya. Van Akkeren berkomentar bahwa Tunggul Wulung agaknya memandang titah-titah ini selaku tanda kedatangan kerajaan mesianis bagi mereka yang ingin keluar dari rumah perhambaan (Aritonang 2010, 93)
[10] Kemudian, di sanalah Radin Abas dibaptis oeh seorang pendeta Indische Kerk dan menerima nama baptis Sadrach yang mengacu pada kitab Daniel (Aritonang 2010, 97).
[11] Nota Probowinoto adalah suatu nota tentang efisiensi penggunaan tenaga dan harta benda untuk pekabaran Injil di Jawa Tengah, yang memberi arah dan ketegasan hubungan kerja sama dengan partner, khususnya di bidang ketenaggan. Dengan nota tersebut maka GKJ seluruhnya dipegang oleh tenaga-tenaga pribumi (Purnomo 1986, 32).