Kehidupan
dan Masa Lalu Nietzsche
Nietzsche adalah seorang filsuf yang lahir pada tanggal
15 Oktober 1844 di Rocken di wilayah Sachsen. Dia adalah seorang anak laki-laki
berperangai halus dari sebuah keluarga Protestan Lutheran yang sangat saleh.
Ayahnya adalah seorang pastor Lutheran, dan dia berharap agar kelak Nietzsche
itu menjadi seorang pendeta. Ketika berusia lima tahun, ayahnya meninggal dan
Nietzcshe tinggal di lingkungan keluarga ibunya yang kebanyakan perempuan.
Teman-teman sekolahnya di sana menjulukinya “si pendeta kecil”. Bahkan sampai
dewasa, orang-orang di sekitarnya melihat Nietzcshe sebagai seorang Kristen,
seperti orang lain (Hardiman 2007, 257)
Pada tahun 1854, Nietzsche masuk Gymnasiumn di kota
Naumburg, namun 4 tahun kemudian ibunya memintanya belajar di sebuah sekolah
asrama Lutheran yang sangat termasyhur di kota Pforta. Di sana dia sudah
membaca karya-karya para sastrawan dan pemikir-pemikir besar, seperti Schiller,
Hoderlin, dan Byron, dan dia sangat kagum pada kejeniusan kebudayaan Yunani
kuno, maka saat itu dia juga meminati Plato dan Aeschylus. Pada tahun 1864, dia
belajar di Universitas Bonn bersama temannya dari Pforta yang kemudian juga
termasyhur sebagai pemikir dan filsuf, Paul Deussen. Pada tahun 1865, dia
belajar folologi di kota Leipzig, di bawah bimbingan Profesor Ritschl. Di kota
inilah, secara kebetulan di tukang loak, dia menemukan buku Schopenhauer, Die Welt als Wille und Vorstellung. Di
kota ini pula, dia meninggalkan agamanya (Hardiman 2007, 259).
Keasyikan studinya terputus ketika tahun 1867 dia diminta
menunaikan wajib militer di bagian artileri di sebuah barak di Naumburg. Dia
kembali lagi ke Leipzig dan belajar lagi ketika terjatuh dari kudanya dan
terluka. Pada masa inilah dia berkenalan dengan Richard Wagner, dan bahkan
komponis Jerman termasyhur itu menjadi sahabatnya. Persahabatan itu juga
mempengaruhi tulisan Nietzsche pada periode pertama riwayat intelektualnya, Die Geburt der Tragodie aus dem Geiste der
Musik (Asal-usul Tragedi dari Semangat Musik). Sekitar tahun 1869, oleh
Ritschl dia diminta menjadi dosen di Universitas Basel. Waktu itu usianya baru
24 tahun dan belum meraih gelar doktor. Antara tahun 1873-1876, dia menerbitkan
empat buah esai dengan satu judul umum Unzeitgemasse
Betrachtungen (Kontemplasi-kontemplasi Tak Aktual). Pada tahun 1876, dia
menerbutkan esai keempat yang berjudul Richard
Wagner in Bayreuth, dan pada saat ini, hubungannya dengan Wagner retak.
Nietzsche merasa diperalat oleh Wagner untuk menyebarluaskan Wagnerisme, dia
pun kecewa dan salah sangka bahwa musik Wagner merupakan kelahiran kembali seni
Yunani Kuno, sebab ternyata Wagner lompat ke iman Kristen (Hardiman 2007, 259).
Setelah patah arang dengan Wagner, mulailah tahap kedua
dari riwayat intelektual Nietzsche. Pada tahap ini, dia menjadi kurang meminati
seni dan lebih meminati filsafat dan ilmu, maka dia lebih menyukai Sokrates
daripada filsuf-filsuf pra-Sokrates. Periode kedua ini sering disebut “periode
positivistis”, sebuah sebutan yang tidak disepakati oleh semua sejarawan, dan
karyanya yang menandai periode ini adalah Menschliches,
Allzumenschliches (Manusiawi, Terlalu Manusiawi). Kemudian periode ketiga
adalah suatu periode ketika Nietzsche menemukan kemandiriannya dalam
berfilsafat. Selama periode terakhir inilah, kesehatannya juga memburuk dan dia
menjadi sakit-sakitan. Begitu juga dia merasa semakin kesepian, sebab dia butuh
teman yang bisa diajak bicara secara sejajar, tetapi banyak orang tak memahami
pikiran-pikirannya. Selama periode ini dia berpindah-pindah dari Jerman, ke
Italia, ke Swiss, dan sementara itu menghasilkan karya-karya pokoknya, seperti Also Sprach Zarathustra (Demikianlah
Sabda Zarathustra), Der Antichrist (Sang
Antikristus), Ecce Homo (Itulah
Manusia), dan lain-lainnya. Dua buku terakhir itu tidak hanya dipenuhi
sanjungan-sanjungan diri, tetapi juga ditulis untuk menghancurkan moralitas dan
agama Kristen yang menurutnya menghisap darah manusia yang hidup (Hardiman
2007, 260).
Ketegangan mental yang hebat dan semangat yang
menggebu-gebu untuk menyanjung dirinya, di bulan Januari 1889, Nietzsche
menjadi gila. Pada saat itu dia sempat menulis surat-surat ganjil kepada
teman-temannya, misalnya dia memperkenalkan diri sebagai Ferdinan de Lesseps,
atau sebagai “Yang Tersalib”, dan bahkan sebagai Allah sendiri. Meski demikian,
dia masih mampu mengapresiasi musik dan karya sastra, dan tetap ramah tamah
kepada tamunya. Pada masa kegilaannya ini, karya-karyanya menjadi termasyhur,
tetapi dia sama sekali tak bisa menikmati kemasyhurannya. Saudarinya Elizabeth,
dengan setia merawatnya sampai dia meninggal dunia di Weimar pada Agustus 1990
karena Pneumonia (Hardiman 2007, 261).
Aforisme
Pemikiran Nietzsche dituangkan dalam bentuk
aforisme-aforisme. Membaca aforisme tidaklah sulit, karena berupa
kalimat-kalimat pendek yang mudah dibaca secara harafiah namun yang sulit
adalah memahami maksud dari kalimat-kalimat itu. Dalam hal ini, Nietzsche
adalah filsuf yang paling sulit dipahami sepanjang sejarah filsafat modern.
Tulisan-tulisannya tidak membentuk sistem, melainkan mengandung pertentangan
satu sama lain. (Hardiman 2007, 261).
Pemakaian aforisme berhubungan dengan penolakan Nietzsche
terhadap sistem. Alasannya adalah sebuah sistem berpikir harus didasarkan pada
premis-premis, namun dalam rangka sistem itu, premis tersebut tak bisa
dipersoalkan lagi. Dengan begitu asumsi-asumsi filosofis sang filsuf diandaikan
begitu saja, seolah benar pada dirinya. Bagi Nietzsche, kebenaran mustahil
dikemas dalam satu sistem. Sikap antisistem ini sama sekali tak berarti bahwa
Nietzsche tidak menggunakan premis-premis. Dia menggunakannya tetapi tidak untuk
menggiring para pembaca pada sebuah kesimpulan atau penyelesaian masalah,
melainkan untuk mencari, menyelami, mengoyak asumsi-asumsi tersembunyi sebuah
gagasan, termasuk pikirannya sendiri. Nietzsche bukan hanya “berfilsafat dengan
gada”, yakni ingin menghancurkan apa-apa yang diandaikan begitu saja, tapi juga
menjadi “pengajar kecurigaan” (Hardiman 2007, 262).
Moralitas
Anti-Alam
Ada masa ketika
nafsu-nafsu merupakan kefatalan-kefatalan, ketika mereka menjerumuskan korban
mereka ke tingkat yang rendah akibat kebodohan mereka, ada masa yang jauh
kemudian, ketika nafsu-nafsu di“spiritualkan”. Tadinya orang memerangi nafsu
itu sendiri karena kebodohan yang inheren dalam nafsu itu: orang berkonspirasi
untuk mematikannya (Hadikusumo 2000, 55).
Spiritualitas sensualitas itu disebut kasih. Ini
merupakan kemenangan besar atas Kekristenan. Kemenangan selanjutnya adalah
spiritualitas atas permusuhan. Ini merupakan cara memahami sedalam-dalamnya
kegunaan memiliki musuh: secara singkat, ini adalah berbuat dan berpikir
sebelumnya. Gereja selamanya menginginkan penghancuran musuh-musuhnya. Dalam
politik pun, permusuhan telah menjadi jauh lebih spiritual, jauh lebih terarah,
jauh lebih cermat, dan jauh lebih sabar. Hampir semua partai memahami bahwa
demi kelangsungan hidup mereka maka partai oposisi harus tetap hidup dan kuat;
demikian juga dalam perpolitikan tingkat tinggi (Hadikusumo 2000,56).
Nietzsche merumuskan suatu asas. Semua naturalisme dalam
moralitas, yaitu moralitas sehat, itu didominasi oleh suatu instink kehidupan,
sebagian perintah kehidupan itu dipenuhi melalui aturan tertentu mengenai yang
“boleh” dan “tidak boleh”. Dengan demikian, menghilangkan sebagian unsur-unsur
yang menghambat dan melawan jalan kehidupan. Moralitas antialam adalah semua moralitas yang telah diajarkan hingga kini,
diagungkan dan dikotbahkan, itu justru bertentangan dengan instink kehidupan.
Moralitas kini merupakan pengutukan yang kadang terselubung, kadang keras, dan
angkuh terhadap instink-instink ini. Dengan mengatakan bahwa “Tuhan bisa
melihat sampai ke dalam hatimu”, maka moralitas mengingkari keinginan-keinginan
hidup yang terdalam dan tertinggi dan menjadikan Tuhan musuh seumur hidup dan kehidupan berakhir pada saat Kerajaan Allah dimulai (Hadikusumo 2000,
58).
Jika seseorang memahami kejahatan dari pemberontakan
melawan kehidupan yang dalam moralitas Kristen telah menjadi sesuatu yang
hampir suci, orang dengan demikian telah memahami sesuatu yang lain:
kesia-siaan, kekhayalan, keabsurdan, dan kepalsuan
pemberontakan seperti itu karena, pada akhirnya pengutukan atas kehidupan oleh
mereka yang hidup tidak lain adalah satu gejala dari satu jenis kehidupan
tertentu. Orang harus bertempat di luar kehidupan, dan di sisi lain harus
mengetahui mengenai kehidupan itu sama mendalamnya dengan setiap, sebanyak, dan
sema orang yang telah mengalaminya, sebelum diperbolehkan menyinggung masalah
nilai kehidupan. Ini merupakan alasan yang cukup untuk memahami masalah ini
bagi orang Kristen adalah masalah yang tidak terpecahkan. Ketika kita berbicara
mengenai nilai-nilai, kita berbicara dengan inspirasi dan dari perspektif
kehidupan. Kehidupan itu sendiri melakukan penilaian melalui kita bilamana kita
telah menetapkan nilai-nilai tersebut. Dari sini diketahui bahwa bahkan moralitas antialam yang membayangkan
Tuhan sebagai konsep yang berlawanan dengan dan sebagai kutukan terhadap
kehidupan hanyalah merupakan satu pertimbangan nilai oleh kehidupan (Hadikusumo
2000, 59).
Disposisi
Religius
Jiwa manusia beserta batasannya; dimensi-dimensi
kehidupan batin yang telah dicapai hingga saat ini, puncaknya, ngarainya, dan
jauhnya, seluruh sejarah terdahulu tentang jiwa dan kemungkinan-kemungkinannya
yang belum dijajagi bagi seorang psikolog sejati dan pecinta ‘perburuan besar’,
inilah medan perburuan yang telah ditahbiskan sebelumnya. Untuk mengetahui dan
membentuk sejarah masalah pengetahuan dan kesadaran dalam jiwa homines
religiosi, misalnya kita perlu memiliki kesadaran yang mendalam, terluka, dan
mengerikan seperti kesadaran intelektual Pascal. Sekali pun begitu kita masih
memerlukan luasnya langit di atas sana dengan spiritualitas yang terang dan
jahat untuk kita amati besarnya pengalaman-pengalaman yang berbahaya dan
menyakitkan ini, untuk menatanya, dan kemudian merumuskannya (Winarno 2002,56).
Keimanan yang diharuskan dan seringkali dicapai oleh
Kekristenan awal di tengah-tengah kebebasan jiwa yang skeptis di belahan dunia
selatan, di mana mazhab-mazhab filsafat tidak hanya berperang selama
berabad-abad namun juga di mana kekaisaran romawi mendidik manusia menjadi
toleran, tidak sama dengan keimanan naif dan rendah yang diyakini oleh Luther.
Keimanan awal ini lebih mirip dengan keyakinan Pascal, sebuah keimanan yang
memiliki aspek penalaran yang mengerikan, yang keras, tahan lama, seperti
cacign tak dapat dibunuh sekaligus dengan satu pengorbanan, yakni pengorbanan
atas kebebasan, kebanggaan, keyakinan diri spiritual; juga berarti penaklukan
dan pencemoohan diri atau penggundulan diri. Jenis keimanan ini mengasumsikan
bahwa kepatuhan jiwa pada dasarnya memang menyakitkan , bahwa sejarah masa lalu
dan kebiasaan dari jenis jiwa seperti ini biasanya tahan terhadap absudissimum yang dihadapi oleh
keimanan itu sendiri. Orang-orang zaman modern yang ditekan dan disesuaikan
dengan bahasa Kristen, tidak lagi memiliki perasaan yang sangat baik., yang
kesanggupan merasakannya terletak dalam paradoks rumusan yang sedemikian
menakutkan, mempercayakan, dan dipertanyakan: yang disampaikan dalam bentuk
re-evaluasi atas semua nilai lama (Winarno 2002, 57).
Katolisisme tampaknya lebih terinternalisasi pada ras
Latin dibandingkan semua bentuk Kekristenan diantara orang-orang utara; sebagai
akibatnya, ketiadaan keimanan memiliki arti yang relatif berbeda di
negara-negara Katolik dibandingkan negara-negara Protestan. Di negara Katolik
ini berarti pemberontakan terhadap jiwa ras mereka, sementara bagi Nietzsche,
ketiadaan keimanan lebih berarti kembali pada jiwa (atau ketiadaan jiwa) dari
ras ini. Tidak diragukan lagi jika ras orang utara berasal dari ras barbar,
bahkan dalam kaitannya dengan hadiah yang diberian pada agama (Winarno 2002,
59).
Refleksi
dari Pemikiran Nietzsche
Proyek Nietzsche ini bukanlah suatu kegilaan atau
ketidakrasionalan. Ia memiliki logikanya sendiri yang sangat koheren dan pasti.
Hal ini membuatnya bisa dikomunikasikan dan bisa diterima untuk mencapai tujuan
anti-idealisme. Dalam buku “50 Filsuf Kontemporer”, pada bagian Nietzsche,
dipaparkan kesulitan untuk menerima pemikiran Nietzsche ini.
Pertama, jika
kehendak untuk berkuasa itu adalah segalanya, mengapa Nietzsche ingin memberi
penjelasan untuk itu? Mungkin ia akan menjawabnya dengan mengatakan bahwa ia
tidak berupaya menjelaskannya, tetapi hanya memberi sebuah contoh tentang hal
ini melalui gaya berfilsafat aforismenya. Meskipun demikian, tidak ada seorang
pun pembaca karyanya yang tidak melihat pesan yang menyertai gayanya itu. Sudah
tidak diragukan lagi bahwa sebagai pemikir, Nietzsche adalah seorang yang cukup
unik. Ia tidak menulis puisi murni. Maka dari itu, teorinya harus dilihat
sebagai gerakan dalam permainan filsafat; menolaknya berarti menolak satu
dimensi penting dalam pemikiran Nietzsche. Di pihak lain, mengakuinya berarti
mencurigai kemungkinan bahwa kita bertemu dengan seorang pemikir yang
pemikirannya heterogen secara radikal (Admiranto 2001, 334).
Kedua, anti-idealisme
Nietzsche akan jatuh atau tetap bertahan berdasarkan kemungkinan bahwa suatu
peristiwa bisa direduksikan pada suatu pemerian tentang hal itu; klaim semacam
itu jelas akan dipertanyakan jika metafora ada dalam inti bahasa, sebagaimana
pernah dikatakan penulis seperti Kristeva. Akhirnya,
jika kita tidak ingin Nietzsche dikatakan sebagai “penolak” hidup, apakah itu
berarti ia tidak boleh menerima bahwa hidup itu sebagian mensyaratkan adanya
penolakan terhadap kehidupan itu sendiri, bahwa keinginan untuk melakukan ilusi
bukan hanya berada dalam bentuk seni, melainkan juga dalam bentuk kehendak
untuk mendapat kebahagiaan? (Admiranto 2001, 335)
Daftar Acuan
Admiranto, A. Gunawan
(Terj.). 50 Filsuf Kontemporer.
Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Hadikusumo, Hartono
(Terj.). Senjakala Berhala dan Anti-Krist
Friederich Nietzsche. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai
Nietzsche. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Winarno, Basuki Heri
(Terj.). Beyond Good and Evil- Friederich
Nietzsche, Prelude Menuju Filsafat Masa Depan. Yogyakarta: Ikon Teralitera,
2002.