Monday, December 16, 2013

Sang Firman Allah yang Tak Dapat Dibunuh Manusia

Pendahuluan          
            Kematian Kristus memang menjadi topik yang hangat dibicarakan, baik di kalangan umat Kristen yang memercayai bahwa Yesus adalah Mesias yang datang dan mati untuk menebus manusia dari dosa maupun di kalangan Islam yang memercayai Yesus sebagai Nabi Isa A.S yang adalah Rasul Allah. Kematian Kristus di atas salib telah diceritakan Alkitab dengan begitu gamblangnya. Namun, Al-Qur’an sebagai Kitab Suci sekaligus dipercayai sebagai Wahyu Allah bagi umat Islam menceritakan bahwa Yesus tidak mati disalibkan. Bagaimana konsep kematian Yesus menurut umat Islam, khususnya menurut Al-Qur’an? Bagaimana konsep kematian ini dapat mengkritisi iman umat Kristen yang meyakini bahwa Yesus mati disalibkan untuk menebus manusia dari dosa?
Konsep Kematian Yesus Menurut Al-Qur’an
            Agama Islam lahir dalam ruang dan waktu ketika tokoh Yesus sudah dikenal secara luas. Melalui sumber-sumber tertulis yang beredar di sekitar Arab dan Timur Dekat, gambaran mengenai Arab pra-Islam dan citra yang kaya dan beraneka ragam mengenai Yesus dalam komunitas Kristen di Arab dapat dilihat. Di saat Islam mulai hadir dan memasuki sejarah, Dewan Gereja Agung (the Church of the Great Councils) ternyata belum menyebarkan ajaran-ajarannya di wilayah Timur Dekat. Alhasil, Islam lahir di tengah-tengah umat Kristen yang bukan lahir dari “rahim” gerejawi yang kita kenal sekarang ini (Khalidi 2003, 13).
            Jika melihat runutan sejarah lahirnya agama Islam, maka jelaslah bahwa Wahyu Allah yang turun atas Muhammad[1] mengenai Kekristenan menimbulkan polemik di masa sekarang. Sebab, pengetahuan Muhammad akan Kekristenan pada saat itu adalah Kekristenan dengan ajaran yang membingungkan dan dianggap sebagai bidah. Pada akhirnya muncul persepsi bahwa kisah dan nasihat Yesus dalam Al-Qur’an adalah fabel dan khayalan Muhammad berdasarkan pengetahuannya tentang Kekristenan yang beredar luas di daerah pinggiran Byzantium. Kisah-kisah tersebut sering dikatakan sebagai buah dari imajinasi Timur yang baik (Khalidi 2003, 14).
            Lalu, bagaimana dengan kematian Yesus? Apa yang Al-Qur’an kisahkan tentang kematian Yesus? Berbeda dengan Alkitab, Qur'an tidak mengatakan bahwa Yesus disalibkan, dibangkitkan, dan naik ke surga. Surah 4:157-159 jelas menyatakan bahwa klaim dari orang-orang Yahudi bahwa mereka telah membunuh Yesus itu palsu, karena Allah menyelamatkan Yesus dan membangkitkan Yesus untuk diri-Nya (Harmakaputra 2013, 93)
dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.
            Banyak komentar yang menyimpulkan bahwa penyaliban yang direncanakan oleh orang-orang Yahudi mengalami keguguran dalam fisik orang lain yang ditempatkan di kayu salib. Fisik orang tersebut dibuat untuk tampil persis seperti tubuh Yesus. Orang tersebut diduga Yudas, Pilatus atau Simon dari Kirene (Steenbrink 2011, 75). Tuhan (dalam Islam) memang menolak penyaliban Yesus, namun tidak menolak peran kenabian yang dimainkannya (Khalidi 2003, 18). Penafsiran di atas memang tidak ada salahnya, sebab Al-Qur’an terbiasa diterjemahkan secara literer. Steenbrink mengungkapkan bahwa memang tidak ada teks Qur’an yang menjelaskan apa yang terjadi kepada Yesus setelah Ia naik ke Surga setelah bebas dari penyaliban. Ada pendapat pula dari Muslim Ahmadiyah bahwa Yesus dibawa ke Kashmir dan ia bekerja di sana dan mati pada usia 120 tahun. Namun, mereka tidak dapat memberikan detail mengenai kapan Yesus dibawa ke sana (Steenbrink 2011, 75). Inilah pandangan umum para Muslim yang menolak dan penyaliban Yesus.
            Woly dalam bukunya mengungkapkan pertanyaan Ayoub yang telah melakukan penelitian yang cermat dan kritis terhadap berbagai intepretasi dari tokoh Islam terkemuka mengenai ayat Qur’an di atas yakni, “Kalau begitu yang harus dipertanyakan, mengapa Qur’an menyangkal penyaliban Yesus, berhadapan dengan sejumlah besar bukti-bukti yang nyata?” Ayoub menanyakan hal ini karena ia melihat bahwa para penafsir Qur’an klasik selalu bertanya mengenai historisitas kematian Yesus saja, apakah kematian Yesus itu suatu kenyataan atau hanya khayalan belaka. Para penafsir Qur’an hanya memperumit ayat Qur’an ini dengan menambahkan kesimpulan dari teori-teori substitusionisnya. Para penafsir secara umum telah mengalihkan ayat tersebut menjadi suatu pernyataan historis, padahal pernyataan ini (dan semua pernyataan di dalam Al-Qur’an) tidak berhubungan dengan sejarah, melainkan dengan teologi dalam pengertian yang luas (Woly 2008, 82).
            Ayoub menafsirkan Surah 4:157-159 ini dari sudut pandang yang berbeda. Ayoub menjelaskan bahwa perkataan orang Yahudi di dalam bagian Surah 4 ini tidak ditujukan untuk menceritakan suatu kebohongan sejarah atau membuat suatu laporan yang salah. Konteks pewahyuan Surah pada saat itu ditujukan pada arogansi dan kebodohan manusia, yakni pada sikap terhadap Allah dan utusan-utusanNya. Kata-kata yang menerangkan tentang Yesus adalah sangat penting. Mereka ingin membunuh Yesus, orang yang tidak bersalah, yang juga adalah Kristus, Sang Firman, dan representasi Allah di antara mereka. Dengan menerangkan Kristus dalam konteks ini, Qur’an mengalamatkan tidak hanya kepada orang-orang yang mungkin telah membunuh nabi lain, akan tetapi kepada seluruh umat manusia diberitahukan siapa sesungguhnya Yesus itu. Di sini Qur’an tidak membicarakan tentang seorang manusia, yang salah atau benar, tetapi mengenai Firman Allah yang diutus ke dalam dunia dan yang telah kembali kepada Allah. Ayoub menarik kesimpulan bahwa penangkalan akan pembunuhan Yesus merupakan penyangkalan akan kekuatan manusia untuk menundukkan dan menghancurkan Firman Allah, yaitu Firman yang selalu menang untuk selama-lamanya (Woly 2008, 84).
            Serupa dengan Ayoub, Anton Wessels juga mencoba menafsirkan Surah 4:157-159 ini dari sudut pandang yang berbeda dari penafsir klasik Qur’an. Wessels mengemukakan bahwa Surah ini secara keseluruhan adalah dakwaan terhadap orang-orang Yahudi dari Madinah. Mereka membanggakan diri sebab mereka telah membunuh Yesus. Hal ini ditolak dalam Al-Qur’an dengan cara yang sama dalam Surah 8:17 di mana sekelompok Muslim membanggakan diri mereka setelah memenangkan perang Badar. Teks Surah 8:17 secara eksplisit mengatakan: Kalian tidak membunuh mereka, tetapi Aku (Allah) yang telah membunuh mereka (Steenbrink 2011, 77). Jadi, berhubungan dengan Surah 4:157-159 bahwa teks sebenarnya tidak menolak peristiwa sebenarnya (kematian Yesus), tetapi menolak penafsiran keliru yang bisa diberikan pada peristiwa tersebut.
Refleksi
            Kematian Yesus merupakan salah satu peristiwa penting dalam iman Kekristenan. Tanpa adanya kematian Yesus, konsep keselamatan melalui penebusan Yesus tak akan pernah berlaku. Konsep ini justru ditabrak oleh Surah 4:157-158 di dalam Al-Qur’an. Secara literer ketika membaca Surah ini maka kita akan berpikir bahwa Islam melalui Muhammad menolak kematian Yesus di salib. Dengan adanya pemahaman ini maka akan muncul polemik antara Islam dan Kristen dalam mengintepretasikan pemahaman ini. Untuk mencapai titik temunya, maka Surah ini harus ditafsirkan menurut konteks pewahyuan dan maksud dibalik pewahyuan Allah tersebut.
            Setelah diatas dibahas mengenai tafsiran menurut cara pandang yang baru, kita bisa melihat bahwa ternyata bukanlah sebuah pertentangan yang dimaksudkan dalam pewahyuan tersebut. Apa yang tertulis di Al-Quran bukanlah sebuah catatan sejarah yang bisa ditemukan bukti otentiknya. Apa yang tertulis di Al-Qur’an adalah pandangan teologis mereka mengenai Allah. Dalam Surah ini tertuanglah pandangan teologis mereka bahwa Yesus, Firman Allah tidak dapat dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Menurut Ayoub,  dengan menolak pembunuhan Yesus berarti umat Islam juga menolak kekuatan manusia untuk mengalahkan dan menghancurkan Firman ilahi, yang selamanya menang (Harmakaputra 2013, 96). Sekalipun Yesus, Sang Firman Allah mau dimusnahkan, maka yang bisa memusnahkannya hanyalah Allah sendiri (Steenbrink 2011, 77).
            Islam menolak penyaliban bahkan kematian Yesus bukan dalam rangka mengusik iman percaya umat Kristen. Islam menolak penyaliban bahkan kematian Yesus dalam rangka memperkuat iman percaya mereka bahwa tidak ada manusia manapun  yang bisa membunuh Sang Firman Allah, kecuali Allah itu sendiri. Hal inilah yang perlu disadari umat Kristen dalam rangka memperkuat iman mereka bahwa Yesus benar-benar Firman Allah yang hidup itu. Bedanya dengan umat Muslim, di dalam Kekristenan, Firman Allah yang hidup itu diizinkan Allah untuk menyerahkan nyawa-Nya di atas kayu salib untuk menebus seluruh umat manusia dari belenggu dosa. Di sinilah titik temu pandangan mengenai Yesus antara Islam dan Kristen sebagai agama Abrahamik dan sebagai umat yang percaya bahwa Yesus adalah Firman Allah yang hidup.
Daftar Acuan
Harmakaputra, Hans Abdiel. “A PRELIMINARY RESEARCH ON THE ISLAMIC CONCEPT OF         JESUS AS THE SPIRIT AND WORD OF GOD: From Polemics towards a Comparative Theology.” Dalam Jurnal Teologi Indonesia, oleh Asosiasi Teolog Indonesia, 90-102. Jakarta: BPK Gunung Mulia dan UPI STT Jakarta, 2013.
Khalidi, Tarif. The Muslim Jesus: Kisah dan Sabda Yesus dalam Literatur Islam. Jakarta:           Serambi Ilmu Semesta, 2003.
Steenbrink, Karel. The Jesus Verses of The Qur’an. Noida: Henry Maryn Institute, 2011.
Woly, Nicolas J. Perjumpaan di Serambi Iman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.




[1] Sekaran berupa Al-Qur’an

1 comment:

  1. Shalom saudara seiman dalam Kristus dimana pun berada. Mari kita sama-sama belajar tentang Shema Yisrael yang pernah diucapkan oleh Yeshua ( nama Ibrani Yesus tertulis ישוע ) seperti yang dapat kita temukan dalam Markus 12 : 29 dan Ulangan/ דברים/ Devarim 6 : 4 sebagai berikut :

    Huruf Ibrani, " שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אחד "

    Pengucapannya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani, " Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad "

    Orang Yahudi pada jaman Yeshua hingga sekarang terus memegang teguh prinsip keesaan Tuhan YHWH ( Adonai ) yang tersirat dalam kalimat Shema. Pada akhir pengucapan diikuti juga dengan kalimat berkat sebagai berikut :

    " ברוך שם כבוד מלכותו לעולם ועד " ( Barukh Shem, kevod malkuto le'olam va'ed, artinya diberkatilah nama yang mulia kerajaanNya untuk selamanya dan kekal )
    🕎✡️🐟🤚🏻👁️📜🕯️🕍🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️⚓🗺️✝️🌫️☀️🌒⚡🌈🌌🔥💧🌊🌬️❄️🌱🌾🍇🍎🍏🌹🥛🍯🥖🍷🐏🐑🐐🐂🐎🦌🐪🐫🦁🦅🕊️🐍₪🇮🇱

    ReplyDelete