Pendahuluan
Kematian Kristus
memang menjadi topik yang hangat dibicarakan, baik di kalangan umat Kristen
yang memercayai bahwa Yesus adalah Mesias yang datang dan mati untuk menebus manusia
dari dosa maupun di kalangan Islam yang memercayai Yesus sebagai Nabi Isa A.S yang
adalah Rasul Allah. Kematian Kristus di atas salib telah diceritakan Alkitab dengan
begitu gamblangnya. Namun, Al-Qur’an sebagai Kitab Suci sekaligus dipercayai
sebagai Wahyu Allah bagi umat Islam menceritakan bahwa Yesus tidak mati
disalibkan. Bagaimana konsep kematian Yesus menurut umat Islam, khususnya
menurut Al-Qur’an? Bagaimana konsep kematian ini dapat mengkritisi iman umat
Kristen yang meyakini bahwa Yesus mati disalibkan untuk menebus manusia dari
dosa?
Konsep Kematian Yesus Menurut
Al-Qur’an
Agama Islam lahir dalam ruang dan
waktu ketika tokoh Yesus sudah dikenal secara luas. Melalui sumber-sumber
tertulis yang beredar di sekitar Arab dan Timur Dekat, gambaran mengenai Arab
pra-Islam dan citra yang kaya dan beraneka ragam mengenai Yesus dalam komunitas
Kristen di Arab dapat dilihat. Di saat Islam mulai hadir dan memasuki sejarah,
Dewan Gereja Agung (the Church of the Great Councils) ternyata belum
menyebarkan ajaran-ajarannya di wilayah Timur Dekat. Alhasil, Islam lahir di
tengah-tengah umat Kristen yang bukan lahir dari “rahim” gerejawi yang kita
kenal sekarang ini (Khalidi 2003, 13).
Jika melihat
runutan sejarah lahirnya agama Islam, maka jelaslah bahwa Wahyu Allah yang
turun atas Muhammad[1] mengenai
Kekristenan menimbulkan polemik di masa sekarang. Sebab, pengetahuan Muhammad
akan Kekristenan pada saat itu adalah Kekristenan dengan ajaran yang
membingungkan dan dianggap sebagai bidah. Pada akhirnya muncul persepsi bahwa
kisah dan nasihat Yesus dalam Al-Qur’an adalah fabel dan khayalan Muhammad
berdasarkan pengetahuannya tentang Kekristenan yang beredar luas di daerah
pinggiran Byzantium. Kisah-kisah tersebut sering dikatakan sebagai buah dari
imajinasi Timur yang baik (Khalidi 2003, 14).
Lalu, bagaimana
dengan kematian Yesus? Apa yang Al-Qur’an kisahkan tentang kematian Yesus? Berbeda
dengan Alkitab, Qur'an tidak mengatakan bahwa Yesus disalibkan, dibangkitkan,
dan naik ke surga. Surah 4:157-159 jelas menyatakan bahwa klaim dari
orang-orang Yahudi bahwa mereka telah membunuh Yesus itu palsu, karena Allah
menyelamatkan Yesus dan membangkitkan Yesus untuk diri-Nya (Harmakaputra 2013,
93)
dan karena
ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam,
Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya,
tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.
Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa,
benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak
mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti
persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu
adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya.
Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Tidak ada seorangpun dari
Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di
hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.
Banyak komentar
yang menyimpulkan bahwa penyaliban yang direncanakan oleh orang-orang Yahudi
mengalami keguguran dalam fisik orang lain yang ditempatkan di kayu salib.
Fisik orang tersebut dibuat untuk tampil persis seperti tubuh Yesus. Orang
tersebut diduga Yudas, Pilatus atau Simon dari Kirene (Steenbrink 2011, 75). Tuhan
(dalam Islam) memang menolak penyaliban Yesus, namun tidak menolak peran
kenabian yang dimainkannya (Khalidi 2003, 18). Penafsiran di atas memang tidak
ada salahnya, sebab Al-Qur’an terbiasa diterjemahkan secara literer. Steenbrink
mengungkapkan bahwa memang tidak ada teks Qur’an yang menjelaskan apa yang
terjadi kepada Yesus setelah Ia naik ke Surga setelah bebas dari penyaliban.
Ada pendapat pula dari Muslim Ahmadiyah bahwa Yesus dibawa ke Kashmir dan ia
bekerja di sana dan mati pada usia 120 tahun. Namun, mereka tidak dapat memberikan
detail mengenai kapan Yesus dibawa ke sana (Steenbrink 2011, 75). Inilah
pandangan umum para Muslim yang menolak dan penyaliban Yesus.
Woly dalam
bukunya mengungkapkan pertanyaan Ayoub yang telah melakukan penelitian yang
cermat dan kritis terhadap berbagai intepretasi dari tokoh Islam terkemuka
mengenai ayat Qur’an di atas yakni, “Kalau begitu yang harus dipertanyakan,
mengapa Qur’an menyangkal penyaliban Yesus, berhadapan dengan sejumlah besar
bukti-bukti yang nyata?” Ayoub menanyakan hal ini karena ia melihat bahwa para
penafsir Qur’an klasik selalu bertanya mengenai historisitas kematian Yesus
saja, apakah kematian Yesus itu suatu kenyataan atau hanya khayalan belaka.
Para penafsir Qur’an hanya memperumit ayat Qur’an ini dengan menambahkan kesimpulan
dari teori-teori substitusionisnya. Para penafsir secara umum telah mengalihkan
ayat tersebut menjadi suatu pernyataan historis, padahal pernyataan ini (dan
semua pernyataan di dalam Al-Qur’an) tidak berhubungan dengan sejarah,
melainkan dengan teologi dalam pengertian yang luas (Woly 2008, 82).
Ayoub menafsirkan
Surah 4:157-159 ini dari sudut pandang yang berbeda. Ayoub menjelaskan bahwa
perkataan orang Yahudi di dalam bagian Surah 4 ini tidak ditujukan untuk
menceritakan suatu kebohongan sejarah atau membuat suatu laporan yang salah.
Konteks pewahyuan Surah pada saat itu ditujukan pada arogansi dan kebodohan
manusia, yakni pada sikap terhadap Allah dan utusan-utusanNya. Kata-kata yang
menerangkan tentang Yesus adalah sangat penting. Mereka ingin membunuh Yesus,
orang yang tidak bersalah, yang juga adalah Kristus, Sang Firman, dan
representasi Allah di antara mereka. Dengan menerangkan Kristus dalam konteks
ini, Qur’an mengalamatkan tidak hanya kepada orang-orang yang mungkin telah
membunuh nabi lain, akan tetapi kepada seluruh umat manusia diberitahukan siapa
sesungguhnya Yesus itu. Di sini Qur’an tidak membicarakan tentang seorang
manusia, yang salah atau benar, tetapi mengenai Firman Allah yang diutus ke
dalam dunia dan yang telah kembali kepada Allah. Ayoub menarik kesimpulan bahwa
penangkalan akan pembunuhan Yesus merupakan penyangkalan akan kekuatan manusia
untuk menundukkan dan menghancurkan Firman Allah, yaitu Firman yang selalu
menang untuk selama-lamanya (Woly 2008, 84).
Serupa dengan Ayoub,
Anton Wessels juga mencoba menafsirkan Surah 4:157-159 ini dari sudut pandang
yang berbeda dari penafsir klasik Qur’an. Wessels mengemukakan bahwa Surah ini
secara keseluruhan adalah dakwaan terhadap orang-orang Yahudi dari Madinah.
Mereka membanggakan diri sebab mereka telah membunuh Yesus. Hal ini ditolak
dalam Al-Qur’an dengan cara yang sama dalam Surah 8:17 di mana sekelompok
Muslim membanggakan diri mereka setelah memenangkan perang Badar. Teks Surah
8:17 secara eksplisit mengatakan: Kalian tidak membunuh mereka, tetapi Aku
(Allah) yang telah membunuh mereka (Steenbrink 2011, 77). Jadi, berhubungan
dengan Surah 4:157-159 bahwa teks sebenarnya tidak menolak peristiwa sebenarnya
(kematian Yesus), tetapi menolak penafsiran keliru yang bisa diberikan pada
peristiwa tersebut.
Refleksi
Kematian Yesus merupakan salah
satu peristiwa penting dalam iman Kekristenan. Tanpa adanya kematian Yesus,
konsep keselamatan melalui penebusan Yesus tak akan pernah berlaku. Konsep ini
justru ditabrak oleh Surah 4:157-158 di dalam Al-Qur’an. Secara literer ketika
membaca Surah ini maka kita akan berpikir bahwa Islam melalui Muhammad menolak
kematian Yesus di salib. Dengan adanya pemahaman ini maka akan muncul polemik
antara Islam dan Kristen dalam mengintepretasikan pemahaman ini. Untuk mencapai
titik temunya, maka Surah ini harus ditafsirkan menurut konteks pewahyuan dan
maksud dibalik pewahyuan Allah tersebut.
Setelah diatas
dibahas mengenai tafsiran menurut cara pandang yang baru, kita bisa melihat
bahwa ternyata bukanlah sebuah pertentangan yang dimaksudkan dalam pewahyuan
tersebut. Apa yang tertulis di Al-Quran bukanlah sebuah catatan sejarah yang
bisa ditemukan bukti otentiknya. Apa yang tertulis di Al-Qur’an adalah
pandangan teologis mereka mengenai Allah. Dalam Surah ini tertuanglah pandangan
teologis mereka bahwa Yesus, Firman Allah tidak dapat dibunuh oleh orang-orang
Yahudi. Menurut Ayoub, dengan menolak
pembunuhan Yesus berarti umat Islam juga menolak kekuatan manusia untuk
mengalahkan dan menghancurkan Firman ilahi, yang selamanya menang (Harmakaputra
2013, 96). Sekalipun Yesus, Sang Firman Allah mau dimusnahkan, maka yang bisa
memusnahkannya hanyalah Allah sendiri (Steenbrink 2011, 77).
Islam menolak
penyaliban bahkan kematian Yesus bukan dalam rangka mengusik iman percaya umat
Kristen. Islam menolak penyaliban bahkan kematian Yesus dalam rangka memperkuat
iman percaya mereka bahwa tidak ada manusia manapun yang bisa membunuh Sang Firman Allah, kecuali
Allah itu sendiri. Hal inilah yang perlu disadari umat Kristen dalam rangka
memperkuat iman mereka bahwa Yesus benar-benar Firman Allah yang hidup itu.
Bedanya dengan umat Muslim, di dalam Kekristenan, Firman Allah yang hidup itu
diizinkan Allah untuk menyerahkan nyawa-Nya di atas kayu salib untuk menebus
seluruh umat manusia dari belenggu dosa. Di sinilah titik temu pandangan
mengenai Yesus antara Islam dan Kristen sebagai agama Abrahamik dan sebagai
umat yang percaya bahwa Yesus adalah Firman Allah yang hidup.
Daftar Acuan
Harmakaputra,
Hans Abdiel. “A PRELIMINARY RESEARCH ON THE ISLAMIC CONCEPT OF JESUS AS THE SPIRIT AND WORD OF GOD:
From Polemics towards a Comparative
Theology.” Dalam Jurnal Teologi Indonesia, oleh Asosiasi Teolog Indonesia, 90-102. Jakarta: BPK Gunung
Mulia dan UPI STT Jakarta, 2013.
Khalidi, Tarif. The Muslim Jesus: Kisah dan Sabda Yesus dalam Literatur Islam.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2003.
Steenbrink, Karel. The Jesus Verses of The Qur’an. Noida: Henry Maryn Institute, 2011.
Woly, Nicolas J. Perjumpaan di Serambi Iman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Shalom saudara seiman dalam Kristus dimana pun berada. Mari kita sama-sama belajar tentang Shema Yisrael yang pernah diucapkan oleh Yeshua ( nama Ibrani Yesus tertulis ישוע ) seperti yang dapat kita temukan dalam Markus 12 : 29 dan Ulangan/ דברים/ Devarim 6 : 4 sebagai berikut :
ReplyDeleteHuruf Ibrani, " שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אחד "
Pengucapannya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani, " Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad "
Orang Yahudi pada jaman Yeshua hingga sekarang terus memegang teguh prinsip keesaan Tuhan YHWH ( Adonai ) yang tersirat dalam kalimat Shema. Pada akhir pengucapan diikuti juga dengan kalimat berkat sebagai berikut :
" ברוך שם כבוד מלכותו לעולם ועד " ( Barukh Shem, kevod malkuto le'olam va'ed, artinya diberkatilah nama yang mulia kerajaanNya untuk selamanya dan kekal )
🕎✡️🐟🤚🏻👁️📜🕯️🕍🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️⚓🗺️✝️🌫️☀️🌒⚡🌈🌌🔥💧🌊🌬️❄️🌱🌾🍇🍎🍏🌹🥛🍯🥖🍷🐏🐑🐐🐂🐎🦌🐪🐫🦁🦅🕊️🐍₪🇮🇱