Latar Belakang
Kitab Bilangan merupakan bagian dari kitab Taurat yang
berisi mengenai hukum-hukum dan cerita-cerita mengenai keimaman (J. Blommendaal
1979, 56). Kitab Bilangan tidak dikarang ataupun ditulis secara sekaligus,
melainkan terdiri dari berbagai sumber. Salah satu sumbernya adalah kitab peperangan Tuhan, yang terdapat
pada Bilangan 21:14 (D.C. Mulder 1963, 56). Kitab Bilangan juga menjelaskan
tentang masa hukuman 38 tahun sebagai akibat dari ketidakpercayaan bangsa
Israel (LaSor 1982, 232). Pada bagian ini, kelompok akan membahas pasal 20:2-13
yang menerangkan tentang dosa Musa dan Harun yang tidak menguduskan nama Tuhan
(Mulder 1963, 57).
Tafsiran
Ayat
2: wayikahelu al
“berkumpullah mereka mengerumuni Musa dan Harun (TB).” Kata tersebut adalah
sebuah pikiran tentang ketidakpuasan yang digunakan oleh pengarang Imamat (priestly author) di dalam tradisi Korah (Phillip
J. Budd 1984, 217). Kata kerjanya tidak menunjukkan kesanggrahan, tetapi
konteksnya menuntut sebuah tindakan agresif, mungkin karena keputusasaan (Budd
1984, 217).
Ayat
3: wayareb “bertengkar” menggambarkan
terjadinya perkelahian. Penggunaan kata ini berkaitan dengan mempertahankan
diri (Budd, 1984, 217). Perselisihan yang terjadi diantara orang-orang
merupakan suatu tindakan yang jelas terlihat. Pemikiran ini telah diambil alih
oleh pengarang Imamat (priestly author)
dari adaptasi etiologis para Yahwist dari cerita yang berasal dari batu (Budd
1984, 217). Kata lo menegasikan
sebuah noun dalam bentuk terikat (meqom) dengan beberapa kasus
genetif, yang diambil berdasarkan penggunaan kolektif (Timothy R. Ashley 1992,
377). Terjadi pemberontakan atas Musa dan Harun (Ashley 1992, 380). Kematian
pada ayat ini kemungkinan merupakan kiasan tradisi Korah (Budd 1984, 218).
Ayat 4: Pada ayat ini,
terlihat bahwa pertengkaran yang terjadi antara orang-orang Israel dengan Musa
dan Harun semakin jelas. Mereka (orang-orang Israel) memiliki pemikiran bahwa
Musa dan Harun ingin mencelakakan mereka. Mereka beranggapan Musa dan Harun ingin
membinasakan mereka serta segala kepunyaannya. Pada ayat ini, juga ditemukan
bahwa posisi normal dari ’ayin
menegasikan bentuk terikat. Hal ini terjadi untuk menekankan bahwa hal tersebut
ditiadakan atau diingkari (Ashley 1992, 377).
Ayat 5: umayim ’ayin listot “bahkan air minum pun tidak ada (TB)” menjadi
puncak dari pertikaian antara orang-orang Israel dengan Musa dan Harun, serta
menegaskan keinginan mereka untuk mencari air minum bagi mereka. Hal ini
menunjukkan bahwa Bangsa Israel pada saat itu tidak memiliki persediaan air
minum yang tersisa. Teks ini juga menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan
daerah yang gersang dan tandus. Ini juga menggambarkan keliaran (wilderness)
dari daerah di sekitar Mesir (Ashley 1992, 381).
Ayat 6: Kelesuan oleh hawa
panas sangatlah khas untuk menunjukkan cerita-cerita ketidakpuasan yang ditulis
oleh pengarang Imamat (priestly author)
(Budd 1984, 218). Sebagai tanggapan atas protes yang dilancarkan oleh
orang-orang Israel, sang pemimpin meminta kepada Tuhan sebuah petunjuk untuk
menjawab kesulitan mereka. Lokasinya adalah di depan kemah pertemuan (Ashley
1992, 381). “mereka sujud” wayyipelu
‘al-penehem menunjukkan bahwa Musa dan Harun benar-benar meminta
pertolongan Tuhan untuk menghadapi masalah ini. Tidak diketahui apa yang
dikatakan oleh Musa dan Harun kepada Tuhan. “Kemudian tampaklah kemuliaan Tuhan
kepada mereka” wayyera’ kebod-YHWH
(adonai) ’alehem menunjukkan kemuliaan Tuhan yang muncul sebagai
permulaan dari jawaban atas permasalahan yang mereka hadapi (Ashley 1992, 382).
Kemungkinan, latar cerita ini berada di Kadesh (Ashley 1992, 382).
Ayat 7: Pada ayat ini, Tuhan
memberikan pengarahan kepada Musa (Ashley 1992, 382).
Ayat 8: hamatteh “tongkat” adalah sesuatu yang ditempatkan “sebelum
kesaksian” (Budd 1984, 218). Peran serta Imamat dalam tradisi wabah menempatkan
tongkat di tangan Harun, walaupun Musa juga memiliki tongkat dalam perlengkapan
Imamatnya. Musa harus mengambil tongkatnya, dia bersama dengan Harun harus
mengumpulkan orang-orang, dan berbicara kepada batu tersebut, yang akan
menghasilkan air untuk memuaskan rasa kehausan orang-orang Israel dan segala
ternaknya (Ashley 1992, 382). Kata “batu” (sela’)
berbeda dengan batu-batu biasa dan mengindikasikan sebuah jurang ataupun tebing
batu yang terjal (Ashley 1992, 382).
Ayat 9: Musa mengikuti apa
yang diperintahkan oleh Tuhan (Ashley 1992, 383).
Ayat 10: syame’u na’ hamorim
“dengarlah kepadaku hai orang-orang durhaka (TB)” membuktikan sebuah amanat
Musa kepada orang-orang (Budd 1984, 218). Pendapat mereka sama saja dengan
pemberontakkan (Budd 1984, 218). Mungkin, hal itu jugalah yang menyebabkan Musa
mengatakan hamin-hassela’
hazeh nosi lakem mayim “apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari
bukit batu ini (TB)” (Ashley 1992, 384). Hal ini mengindikasikan Musa tidak
yakin dengan apa yang akan dilakukannya (Ashley 1992, 384). Kata kerja nosi (haruskah kami membawa) mengindikasikan
bahwa Musa dan Harun dipanggil untuk melakukan sebuah “mujizat” kepada
orang-orang yang merupakan pembelot-pembelot Tuhan (Ashley 1992, 385).
Ayat
11: Walaupun Musa telah diperintahkan untuk berbicara kepada tebing ataupun
bukit batu tersebut, pada ayat ini, kita melihat bahwa Musa memukul tebing
ataupun bukit batu tersebut (Budd 1984, 218). Menurut Hieronimus, para imam juga
harus berhati-hati ketika mereka tidak tulus, mereka meragukan kekuatan Tuhan
(Joseph T. Lienhard 2001, 239). Musa tidak hanya mengucapkan kata-kata kasar
kepada orang-orang Israel. Ia juga berlaku kasar dengan memukul bukit batu itu.
Hal ini mengindikasikan bahwa Musa tidak menaati perintah Tuhan dan hal
tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah dosa (Ashley 1992, 385).
Ayat
12: Pada ayat ini, terlihat bahwa model kepemimpinan yang haram
(ketidakpatuhan, melawan umat Tuhan memakai kata-kata yang kasar, kekerasan)
atau keterlibatan dalam sejumlah tindakan telah cukup untuk menahan Musa dan
Harun tidak memasuki tanah perjanjian (Ashley 1992, 385). Ayat ini juga
menunnjukkan bahwa Musa tidak percaya kepada Tuhan (he’emanetem), dan tidak menguduskan-Nya (lehakediseni) di
depan Bangsa Israel (Budd 1984, 218). Hal ini juga mengakibatkan nama Kadesh (qades yang memiliki akar kata yang sama
dengan haqdis) yang berarti Tuhan di
tempat kudus berubah dan diketahui dengan nama yang lain (Ashley 1992, 386).
Ayat
13: Nama tempat tersebut adalah Meribah, karena di tempat itulah Bangsa Israel
bertengkar dengan Tuhan (rabu bene-yisra’el
’et-YHWH). Hal ini merupakan pengenangan akan orang-orang Israel atas apa
yang pernah terjadi di tempat tersebut (Ashley 1992, 386). Mereka lebih
mengingat pertengkaran dengan Tuhan ketimbang dosa-dosa Musa dan Harun (Ashley
1992, 386). Wayyiqqades “Ia
menunjukkan kekudusan-Nya (TB)” pada dasarnya adalah permainan etiologis dari
nama tempat Kadesh (Budd 1984, 219). Hal tersebut sesuai karena dosa-dosa para
pemimpin mereka dan tersingkapnya kekuatan kudus dalam bentuk air (Budd 1984,
219).
Kritik dan Aplikasi
Melalui tafsiran tersebut, kami
melihat bahwa teks ini ingin mengangkat permasalahan yang dihadapi Bangsa
Israel setelah keluar dari Mesir. Selain itu, teks ini juga ingin menunjukkan
keliaran alam yang dihadapi Bangsa Israel dalam perjalanan mereka menuju tanah
perjanjian. Teks ini juga ingin menggambarkan apa yang terjadi ketika mereka
semua sampai di daerah yang bernama Kadesh. Cerita ini juga ingin menggambarkan
penyertaan Tuhan kepada Bangsa Israel selama mereka dalam perjalanan menuju
tanah perjanjian. Tuhan memenuhi apa yang menjadi kebutuhan orang-orang
pilihan-Nya.
Namun, di sisi lain, kami juga
melihat bahwa Tuhan ingin menguji kemampuan Musa dan Harun dalam memimpin
Bangsa Israel. Menurut kami, pemimpin Bangsa Israel, dalam hal ini Musa dan
Harun, diuji kemampuannya untuk memimpin kumpulan orang-orang yang “tegar
tengkuk” serta tidak siap menghadapi kesulitan-kesulitan yang mungkin akan
dihadapi selama perjalanan. Walaupun Bangsa Israel secara literer dikatakan
sebagai “Bangsa Pilihan Tuhan,” namun menurut kami, Bangsa Israel tidak
menunjukkan perilaku sebagai bangsa pilihan Tuhan. Bangsa Israel justru
menunjukkan sikap bahwa mereka adalah orang-orang keras kepala yang
menginginkan segala sesuatu telah tersedia. Harun dan Musa dituntut untuk
memiliki kesabaran ekstra dalam memimpin Israel menuju tanah perjanjian.
Memang pada akhirnya, Musa dan Harun
tidak bisa memimpin Bangsa Israel masuk ke dalam tanah perjanjian karena
kesalahan mereka tidak menaati perintah Tuhan. Namun, kami melihat bahwa ini
merupakan sebuah hal positif karena dalam hal ini, terjadi proses regenerasi.
Menurut kami, Musa dan Harun sudah cukup tua dan gaya kepemimpinannya juga
sudah tidak terlalu relevan dengan keadaan Bangsa Israel yang akan memasuki
tanah perjanjian. Pada masa itu juga, Bangsa Israel belum memikirkan pengganti
Musa dan Harun seandainya saja mereka meninggal karena usia mereka yang sudah
lanjut.
Melalui peristiwa ini, Tuhan
mengajak Bangsa Israel untuk memikirkan pemimpin pengganti yang dapat memimpin
mereka selanjutnya. Menurut kami, melalui peristiwa tersebut, Tuhan juga ingin
memperkenalkan konsep kaderisasi, yaitu konsep mempersiapkan pemimpin yang
berikutnnya, kepada Bangsa Israel. Memang, pada prakteknya, pemimpin yang berikutnya
masih ditentukan oleh Tuhan dan bukan oleh Bangsa Israel sendiri. Namun,
setidaknya mereka telah memiliki konsep dasar bahwa pemimpin tidak harus
seseorang yang sama dan memimpin bangsa tersebut hingga akhir hayatnya.
Pada masa kini, teks ini ingin
mengajak kita tidak hanya menaati perintah Tuhan seperti aplikasi-aplikasi yang
sering kita dengar, baik melalui buku renungan harian, ataupun khotbah-khotbah
yang berdasarkan teks ini. Menurut kami, teks ini juga ingin mengajarkan kepada
kita konsep kaderisasi tersebut. Hal ini tidak saja tejadi hanya pada Bangsa
Israel. Hal ini juga terjadi pada masa kini, walaupun katanya masa kini adalah
zaman yang moderen.
Kita tentu sering mendengar
singkatan 4L, yang dapat diperpanjang sebagai “Lu Lagi Lu Lagi.” Singkatan ini
sering terdengar di gereja-gereja, mungkin tidak semua gereja. Namun, singkatan
ini menunjukkan kekeringan kepemimpinan yang terjadi pada gereja masa kini.
Mungkin, jika kita memperhatikan susunan panitia suatu acara di gereja kita secara
seksama dan teliti, kita akan menyadari akan hal ini. Menurut kami, hal ini
juga terjadi di kampus ini, dimana kita melihat bahwa kebanyakan susunan
panitia acara apapun di kampus ini diisi oleh “muka-muka” yang “itu-itu lagi.”
Menurut kami, bacaan ini sangat
relevan dengan apa yang saat ini terjadi, baik di gereja maupun di kampus ini.
Konsep kaderisasi memang sangatlah diperlukan. Kita tidak mungkin bergantung
kepada seorang pemimpin yang sama hingga akhir hayatnya. Tidaklah mungkin
sebuah gereja bergantung kepada pemimpin yang sama. Kalau hal tersebut terjadi,
kemungkinan akan melahirkan sebuah gereja yang gaya kepemimpinannya monoton.
Pada akhirnya, kami menyimpulkan
bahwa melalui bacaan ini, kita tidak hanya diperkenalkan konsep ketaatan kepada
Tuhan. Kita juga tidak hanya diperkenalkan konsep bersabar dan menahan diri.
Kita diperkenalkan kepada suatu konsep mempersiapkan pemimpin baru. Konsep ini
merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan pada gereja dan masyarakat saat ini.
DAFTAR
ACUAN
Ashley,
Timothy R. The Book of Numbers. Gran
Rapids: Eerdmans, 1992.
Bloomendaal,
J. Pengantar Kedalam Perjanjian Lama.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979
Budd,
Philip J. Word Biblical Commentary vol 5
– Numbers. Waco: Word Books Publisher, 1984.
LaSor,
William Sandford, David Allan Hubard dan Frederic William Bush. Old Testament Survey: The Message, Form, and
Background of the Old Testament. Gran Rapids: Eerdmans, 1982.
Lienhard, Joseph T (ed). Ancient Christian Commentary on Scripture vol 3. Downers Groove:
InterVarsity Press, 2001.
Mulder,
D. C. Pembimbing Kedalam Perdjandjian
Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1963
NB: Hasil Tafsiran ini adalah karya Kelompok 3 Kelas Hermeneutika Perjanjian Lama 1 di STT Jakarta