Monday, November 26, 2012

Kaderisasi Kepemimpinan (Sebuah Tafsiran atas teks Bilangan 20:2-13)

Latar Belakang
Kitab Bilangan merupakan bagian dari kitab Taurat yang berisi mengenai hukum-hukum dan cerita-cerita mengenai keimaman (J. Blommendaal 1979, 56). Kitab Bilangan tidak dikarang ataupun ditulis secara sekaligus, melainkan terdiri dari berbagai sumber. Salah satu sumbernya adalah kitab peperangan Tuhan, yang terdapat pada Bilangan 21:14 (D.C. Mulder 1963, 56). Kitab Bilangan juga menjelaskan tentang masa hukuman 38 tahun sebagai akibat dari ketidakpercayaan bangsa Israel (LaSor 1982, 232). Pada bagian ini, kelompok akan membahas pasal 20:2-13 yang menerangkan tentang dosa Musa dan Harun yang tidak menguduskan nama Tuhan (Mulder 1963, 57).

Tafsiran
Ayat 2: wayikahelu al “berkumpullah mereka mengerumuni Musa dan Harun (TB).” Kata tersebut adalah sebuah pikiran tentang ketidakpuasan yang digunakan oleh pengarang Imamat (priestly author) di dalam tradisi Korah (Phillip J. Budd 1984, 217). Kata kerjanya tidak menunjukkan kesanggrahan, tetapi konteksnya menuntut sebuah tindakan agresif, mungkin karena keputusasaan (Budd 1984, 217).

Ayat 3: wayareb “bertengkar” menggambarkan terjadinya perkelahian. Penggunaan kata ini berkaitan dengan mempertahankan diri (Budd, 1984, 217). Perselisihan yang terjadi diantara orang-orang merupakan suatu tindakan yang jelas terlihat. Pemikiran ini telah diambil alih oleh pengarang Imamat (priestly author) dari adaptasi etiologis para Yahwist dari cerita yang berasal dari batu (Budd 1984, 217). Kata lo menegasikan sebuah noun dalam bentuk terikat (meqom) dengan beberapa kasus genetif, yang diambil berdasarkan penggunaan kolektif (Timothy R. Ashley 1992, 377). Terjadi pemberontakan atas Musa dan Harun (Ashley 1992, 380). Kematian pada ayat ini kemungkinan merupakan kiasan tradisi Korah (Budd 1984, 218).

Ayat 4: Pada ayat ini, terlihat bahwa pertengkaran yang terjadi antara orang-orang Israel dengan Musa dan Harun semakin jelas. Mereka (orang-orang Israel) memiliki pemikiran bahwa Musa dan Harun ingin mencelakakan mereka. Mereka beranggapan Musa dan Harun ingin membinasakan mereka serta segala kepunyaannya. Pada ayat ini, juga ditemukan bahwa posisi normal dari ’ayin menegasikan bentuk terikat. Hal ini terjadi untuk menekankan bahwa hal tersebut ditiadakan atau diingkari (Ashley 1992, 377).

Ayat 5: umayim ’ayin listot “bahkan air minum pun tidak ada (TB)” menjadi puncak dari pertikaian antara orang-orang Israel dengan Musa dan Harun, serta menegaskan keinginan mereka untuk mencari air minum bagi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Bangsa Israel pada saat itu tidak memiliki persediaan air minum yang tersisa. Teks ini juga menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang gersang dan tandus. Ini juga menggambarkan keliaran (wilderness) dari daerah di sekitar Mesir (Ashley 1992, 381).

Ayat 6: Kelesuan oleh hawa panas sangatlah khas untuk menunjukkan cerita-cerita ketidakpuasan yang ditulis oleh pengarang Imamat (priestly author) (Budd 1984, 218). Sebagai tanggapan atas protes yang dilancarkan oleh orang-orang Israel, sang pemimpin meminta kepada Tuhan sebuah petunjuk untuk menjawab kesulitan mereka. Lokasinya adalah di depan kemah pertemuan (Ashley 1992, 381). “mereka sujud” wayyipelu ‘al-penehem menunjukkan bahwa Musa dan Harun benar-benar meminta pertolongan Tuhan untuk menghadapi masalah ini. Tidak diketahui apa yang dikatakan oleh Musa dan Harun kepada Tuhan. “Kemudian tampaklah kemuliaan Tuhan kepada mereka” wayyera’ kebod-YHWH (adonai) ’alehem menunjukkan kemuliaan Tuhan yang muncul sebagai permulaan dari jawaban atas permasalahan yang mereka hadapi (Ashley 1992, 382). Kemungkinan, latar cerita ini berada di Kadesh (Ashley 1992, 382).

Ayat 7: Pada ayat ini, Tuhan memberikan pengarahan kepada Musa (Ashley 1992, 382).

Ayat 8: hamatteh “tongkat” adalah sesuatu yang ditempatkan “sebelum kesaksian” (Budd 1984, 218). Peran serta Imamat dalam tradisi wabah menempatkan tongkat di tangan Harun, walaupun Musa juga memiliki tongkat dalam perlengkapan Imamatnya. Musa harus mengambil tongkatnya, dia bersama dengan Harun harus mengumpulkan orang-orang, dan berbicara kepada batu tersebut, yang akan menghasilkan air untuk memuaskan rasa kehausan orang-orang Israel dan segala ternaknya (Ashley 1992, 382). Kata “batu” (sela’) berbeda dengan batu-batu biasa dan mengindikasikan sebuah jurang ataupun tebing batu yang terjal (Ashley 1992, 382). 

Ayat 9: Musa mengikuti apa yang diperintahkan oleh Tuhan (Ashley 1992, 383).

Ayat 10: syame’u na’ hamorim “dengarlah kepadaku hai orang-orang durhaka (TB)” membuktikan sebuah amanat Musa kepada orang-orang (Budd 1984, 218). Pendapat mereka sama saja dengan pemberontakkan (Budd 1984, 218). Mungkin, hal itu jugalah yang menyebabkan Musa mengatakan hamin-hassela’ hazeh nosi lakem mayim “apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini (TB)” (Ashley 1992, 384). Hal ini mengindikasikan Musa tidak yakin dengan apa yang akan dilakukannya (Ashley 1992, 384). Kata kerja nosi (haruskah kami membawa) mengindikasikan bahwa Musa dan Harun dipanggil untuk melakukan sebuah “mujizat” kepada orang-orang yang merupakan pembelot-pembelot Tuhan (Ashley 1992, 385).

Ayat 11: Walaupun Musa telah diperintahkan untuk berbicara kepada tebing ataupun bukit batu tersebut, pada ayat ini, kita melihat bahwa Musa memukul tebing ataupun bukit batu tersebut (Budd 1984, 218). Menurut Hieronimus, para imam juga harus berhati-hati ketika mereka tidak tulus, mereka meragukan kekuatan Tuhan (Joseph T. Lienhard 2001, 239). Musa tidak hanya mengucapkan kata-kata kasar kepada orang-orang Israel. Ia juga berlaku kasar dengan memukul bukit batu itu. Hal ini mengindikasikan bahwa Musa tidak menaati perintah Tuhan dan hal tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah dosa (Ashley 1992, 385).

Ayat 12: Pada ayat ini, terlihat bahwa model kepemimpinan yang haram (ketidakpatuhan, melawan umat Tuhan memakai kata-kata yang kasar, kekerasan) atau keterlibatan dalam sejumlah tindakan telah cukup untuk menahan Musa dan Harun tidak memasuki tanah perjanjian (Ashley 1992, 385). Ayat ini juga menunnjukkan bahwa Musa tidak percaya kepada Tuhan (he’emanetem), dan tidak menguduskan-Nya (lehakediseni) di depan Bangsa Israel (Budd 1984, 218). Hal ini juga mengakibatkan nama Kadesh (qades yang memiliki akar kata yang sama dengan haqdis) yang berarti Tuhan di tempat kudus berubah dan diketahui dengan nama yang lain (Ashley 1992, 386).

Ayat 13: Nama tempat tersebut adalah Meribah, karena di tempat itulah Bangsa Israel bertengkar dengan Tuhan (rabu bene-yisra’el ’et-YHWH). Hal ini merupakan pengenangan akan orang-orang Israel atas apa yang pernah terjadi di tempat tersebut (Ashley 1992, 386). Mereka lebih mengingat pertengkaran dengan Tuhan ketimbang dosa-dosa Musa dan Harun (Ashley 1992, 386). Wayyiqqades “Ia menunjukkan kekudusan-Nya (TB)” pada dasarnya adalah permainan etiologis dari nama tempat Kadesh (Budd 1984, 219). Hal tersebut sesuai karena dosa-dosa para pemimpin mereka dan tersingkapnya kekuatan kudus dalam bentuk air (Budd 1984, 219).

Kritik dan Aplikasi
            Melalui tafsiran tersebut, kami melihat bahwa teks ini ingin mengangkat permasalahan yang dihadapi Bangsa Israel setelah keluar dari Mesir. Selain itu, teks ini juga ingin menunjukkan keliaran alam yang dihadapi Bangsa Israel dalam perjalanan mereka menuju tanah perjanjian. Teks ini juga ingin menggambarkan apa yang terjadi ketika mereka semua sampai di daerah yang bernama Kadesh. Cerita ini juga ingin menggambarkan penyertaan Tuhan kepada Bangsa Israel selama mereka dalam perjalanan menuju tanah perjanjian. Tuhan memenuhi apa yang menjadi kebutuhan orang-orang pilihan-Nya.
            Namun, di sisi lain, kami juga melihat bahwa Tuhan ingin menguji kemampuan Musa dan Harun dalam memimpin Bangsa Israel. Menurut kami, pemimpin Bangsa Israel, dalam hal ini Musa dan Harun, diuji kemampuannya untuk memimpin kumpulan orang-orang yang “tegar tengkuk” serta tidak siap menghadapi kesulitan-kesulitan yang mungkin akan dihadapi selama perjalanan. Walaupun Bangsa Israel secara literer dikatakan sebagai “Bangsa Pilihan Tuhan,” namun menurut kami, Bangsa Israel tidak menunjukkan perilaku sebagai bangsa pilihan Tuhan. Bangsa Israel justru menunjukkan sikap bahwa mereka adalah orang-orang keras kepala yang menginginkan segala sesuatu telah tersedia. Harun dan Musa dituntut untuk memiliki kesabaran ekstra dalam memimpin Israel menuju tanah perjanjian.
            Memang pada akhirnya, Musa dan Harun tidak bisa memimpin Bangsa Israel masuk ke dalam tanah perjanjian karena kesalahan mereka tidak menaati perintah Tuhan. Namun, kami melihat bahwa ini merupakan sebuah hal positif karena dalam hal ini, terjadi proses regenerasi. Menurut kami, Musa dan Harun sudah cukup tua dan gaya kepemimpinannya juga sudah tidak terlalu relevan dengan keadaan Bangsa Israel yang akan memasuki tanah perjanjian. Pada masa itu juga, Bangsa Israel belum memikirkan pengganti Musa dan Harun seandainya saja mereka meninggal karena usia mereka yang sudah lanjut.
            Melalui peristiwa ini, Tuhan mengajak Bangsa Israel untuk memikirkan pemimpin pengganti yang dapat memimpin mereka selanjutnya. Menurut kami, melalui peristiwa tersebut, Tuhan juga ingin memperkenalkan konsep kaderisasi, yaitu konsep mempersiapkan pemimpin yang berikutnnya, kepada Bangsa Israel. Memang, pada prakteknya, pemimpin yang berikutnya masih ditentukan oleh Tuhan dan bukan oleh Bangsa Israel sendiri. Namun, setidaknya mereka telah memiliki konsep dasar bahwa pemimpin tidak harus seseorang yang sama dan memimpin bangsa tersebut hingga akhir hayatnya.
            Pada masa kini, teks ini ingin mengajak kita tidak hanya menaati perintah Tuhan seperti aplikasi-aplikasi yang sering kita dengar, baik melalui buku renungan harian, ataupun khotbah-khotbah yang berdasarkan teks ini. Menurut kami, teks ini juga ingin mengajarkan kepada kita konsep kaderisasi tersebut. Hal ini tidak saja tejadi hanya pada Bangsa Israel. Hal ini juga terjadi pada masa kini, walaupun katanya masa kini adalah zaman yang moderen.
            Kita tentu sering mendengar singkatan 4L, yang dapat diperpanjang sebagai “Lu Lagi Lu Lagi.” Singkatan ini sering terdengar di gereja-gereja, mungkin tidak semua gereja. Namun, singkatan ini menunjukkan kekeringan kepemimpinan yang terjadi pada gereja masa kini. Mungkin, jika kita memperhatikan susunan panitia suatu acara di gereja kita secara seksama dan teliti, kita akan menyadari akan hal ini. Menurut kami, hal ini juga terjadi di kampus ini, dimana kita melihat bahwa kebanyakan susunan panitia acara apapun di kampus ini diisi oleh “muka-muka” yang “itu-itu lagi.”
            Menurut kami, bacaan ini sangat relevan dengan apa yang saat ini terjadi, baik di gereja maupun di kampus ini. Konsep kaderisasi memang sangatlah diperlukan. Kita tidak mungkin bergantung kepada seorang pemimpin yang sama hingga akhir hayatnya. Tidaklah mungkin sebuah gereja bergantung kepada pemimpin yang sama. Kalau hal tersebut terjadi, kemungkinan akan melahirkan sebuah gereja yang gaya kepemimpinannya monoton.
            Pada akhirnya, kami menyimpulkan bahwa melalui bacaan ini, kita tidak hanya diperkenalkan konsep ketaatan kepada Tuhan. Kita juga tidak hanya diperkenalkan konsep bersabar dan menahan diri. Kita diperkenalkan kepada suatu konsep mempersiapkan pemimpin baru. Konsep ini merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan pada gereja dan masyarakat saat ini.

DAFTAR ACUAN
Ashley, Timothy R. The Book of Numbers. Gran Rapids: Eerdmans, 1992.
Bloomendaal, J. Pengantar Kedalam Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979
Budd, Philip J. Word Biblical Commentary vol 5 – Numbers. Waco: Word Books Publisher, 1984.   
LaSor, William Sandford, David Allan Hubard dan Frederic William Bush. Old Testament Survey: The Message, Form, and Background of the Old Testament. Gran Rapids: Eerdmans, 1982.
 Lienhard, Joseph T (ed). Ancient Christian Commentary on Scripture vol 3. Downers Groove: InterVarsity Press, 2001.
Mulder, D. C. Pembimbing Kedalam Perdjandjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1963 

NB: Hasil Tafsiran ini adalah karya Kelompok 3 Kelas Hermeneutika Perjanjian Lama 1 di STT Jakarta