Wednesday, December 26, 2012

Friedrich Nietzsche


Kehidupan dan Masa Lalu Nietzsche
            Nietzsche adalah seorang filsuf yang lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di Rocken di wilayah Sachsen. Dia adalah seorang anak laki-laki berperangai halus dari sebuah keluarga Protestan Lutheran yang sangat saleh. Ayahnya adalah seorang pastor Lutheran, dan dia berharap agar kelak Nietzsche itu menjadi seorang pendeta. Ketika berusia lima tahun, ayahnya meninggal dan Nietzcshe tinggal di lingkungan keluarga ibunya yang kebanyakan perempuan. Teman-teman sekolahnya di sana menjulukinya “si pendeta kecil”. Bahkan sampai dewasa, orang-orang di sekitarnya melihat Nietzcshe sebagai seorang Kristen, seperti orang lain (Hardiman 2007, 257)
            Pada tahun 1854, Nietzsche masuk Gymnasiumn di kota Naumburg, namun 4 tahun kemudian ibunya memintanya belajar di sebuah sekolah asrama Lutheran yang sangat termasyhur di kota Pforta. Di sana dia sudah membaca karya-karya para sastrawan dan pemikir-pemikir besar, seperti Schiller, Hoderlin, dan Byron, dan dia sangat kagum pada kejeniusan kebudayaan Yunani kuno, maka saat itu dia juga meminati Plato dan Aeschylus. Pada tahun 1864, dia belajar di Universitas Bonn bersama temannya dari Pforta yang kemudian juga termasyhur sebagai pemikir dan filsuf, Paul Deussen. Pada tahun 1865, dia belajar folologi di kota Leipzig, di bawah bimbingan Profesor Ritschl. Di kota inilah, secara kebetulan di tukang loak, dia menemukan buku Schopenhauer, Die Welt als Wille und Vorstellung. Di kota ini pula, dia meninggalkan agamanya (Hardiman 2007, 259).
            Keasyikan studinya terputus ketika tahun 1867 dia diminta menunaikan wajib militer di bagian artileri di sebuah barak di Naumburg. Dia kembali lagi ke Leipzig dan belajar lagi ketika terjatuh dari kudanya dan terluka. Pada masa inilah dia berkenalan dengan Richard Wagner, dan bahkan komponis Jerman termasyhur itu menjadi sahabatnya. Persahabatan itu juga mempengaruhi tulisan Nietzsche pada periode pertama riwayat intelektualnya, Die Geburt der Tragodie aus dem Geiste der Musik (Asal-usul Tragedi dari Semangat Musik). Sekitar tahun 1869, oleh Ritschl dia diminta menjadi dosen di Universitas Basel. Waktu itu usianya baru 24 tahun dan belum meraih gelar doktor. Antara tahun 1873-1876, dia menerbitkan empat buah esai dengan satu judul umum Unzeitgemasse Betrachtungen (Kontemplasi-kontemplasi Tak Aktual). Pada tahun 1876, dia menerbutkan esai keempat yang berjudul Richard Wagner in Bayreuth, dan pada saat ini, hubungannya dengan Wagner retak. Nietzsche merasa diperalat oleh Wagner untuk menyebarluaskan Wagnerisme, dia pun kecewa dan salah sangka bahwa musik Wagner merupakan kelahiran kembali seni Yunani Kuno, sebab ternyata Wagner lompat ke iman Kristen (Hardiman 2007, 259).
            Setelah patah arang dengan Wagner, mulailah tahap kedua dari riwayat intelektual Nietzsche. Pada tahap ini, dia menjadi kurang meminati seni dan lebih meminati filsafat dan ilmu, maka dia lebih menyukai Sokrates daripada filsuf-filsuf pra-Sokrates. Periode kedua ini sering disebut “periode positivistis”, sebuah sebutan yang tidak disepakati oleh semua sejarawan, dan karyanya yang menandai periode ini adalah Menschliches, Allzumenschliches (Manusiawi, Terlalu Manusiawi). Kemudian periode ketiga adalah suatu periode ketika Nietzsche menemukan kemandiriannya dalam berfilsafat. Selama periode terakhir inilah, kesehatannya juga memburuk dan dia menjadi sakit-sakitan. Begitu juga dia merasa semakin kesepian, sebab dia butuh teman yang bisa diajak bicara secara sejajar, tetapi banyak orang tak memahami pikiran-pikirannya. Selama periode ini dia berpindah-pindah dari Jerman, ke Italia, ke Swiss, dan sementara itu menghasilkan karya-karya pokoknya, seperti Also Sprach Zarathustra (Demikianlah Sabda Zarathustra), Der Antichrist (Sang Antikristus), Ecce Homo (Itulah Manusia), dan lain-lainnya. Dua buku terakhir itu tidak hanya dipenuhi sanjungan-sanjungan diri, tetapi juga ditulis untuk menghancurkan moralitas dan agama Kristen yang menurutnya menghisap darah manusia yang hidup (Hardiman 2007, 260).
            Ketegangan mental yang hebat dan semangat yang menggebu-gebu untuk menyanjung dirinya, di bulan Januari 1889, Nietzsche menjadi gila. Pada saat itu dia sempat menulis surat-surat ganjil kepada teman-temannya, misalnya dia memperkenalkan diri sebagai Ferdinan de Lesseps, atau sebagai “Yang Tersalib”, dan bahkan sebagai Allah sendiri. Meski demikian, dia masih mampu mengapresiasi musik dan karya sastra, dan tetap ramah tamah kepada tamunya. Pada masa kegilaannya ini, karya-karyanya menjadi termasyhur, tetapi dia sama sekali tak bisa menikmati kemasyhurannya. Saudarinya Elizabeth, dengan setia merawatnya sampai dia meninggal dunia di Weimar pada Agustus 1990 karena Pneumonia (Hardiman 2007, 261).
Aforisme
            Pemikiran Nietzsche dituangkan dalam bentuk aforisme-aforisme. Membaca aforisme tidaklah sulit, karena berupa kalimat-kalimat pendek yang mudah dibaca secara harafiah namun yang sulit adalah memahami maksud dari kalimat-kalimat itu. Dalam hal ini, Nietzsche adalah filsuf yang paling sulit dipahami sepanjang sejarah filsafat modern. Tulisan-tulisannya tidak membentuk sistem, melainkan mengandung pertentangan satu sama lain. (Hardiman 2007, 261).
            Pemakaian aforisme berhubungan dengan penolakan Nietzsche terhadap sistem. Alasannya adalah sebuah sistem berpikir harus didasarkan pada premis-premis, namun dalam rangka sistem itu, premis tersebut tak bisa dipersoalkan lagi. Dengan begitu asumsi-asumsi filosofis sang filsuf diandaikan begitu saja, seolah benar pada dirinya. Bagi Nietzsche, kebenaran mustahil dikemas dalam satu sistem. Sikap antisistem ini sama sekali tak berarti bahwa Nietzsche tidak menggunakan premis-premis. Dia menggunakannya tetapi tidak untuk menggiring para pembaca pada sebuah kesimpulan atau penyelesaian masalah, melainkan untuk mencari, menyelami, mengoyak asumsi-asumsi tersembunyi sebuah gagasan, termasuk pikirannya sendiri. Nietzsche bukan hanya “berfilsafat dengan gada”, yakni ingin menghancurkan apa-apa yang diandaikan begitu saja, tapi juga menjadi “pengajar kecurigaan” (Hardiman 2007, 262).
Moralitas Anti-Alam
            Ada masa ketika nafsu-nafsu merupakan kefatalan-kefatalan, ketika mereka menjerumuskan korban mereka ke tingkat yang rendah akibat kebodohan mereka, ada masa yang jauh kemudian, ketika nafsu-nafsu di“spiritualkan”. Tadinya orang memerangi nafsu itu sendiri karena kebodohan yang inheren dalam nafsu itu: orang berkonspirasi untuk mematikannya (Hadikusumo 2000, 55).
            Spiritualitas sensualitas itu disebut kasih. Ini merupakan kemenangan besar atas Kekristenan. Kemenangan selanjutnya adalah spiritualitas atas permusuhan. Ini merupakan cara memahami sedalam-dalamnya kegunaan memiliki musuh: secara singkat, ini adalah berbuat dan berpikir sebelumnya. Gereja selamanya menginginkan penghancuran musuh-musuhnya. Dalam politik pun, permusuhan telah menjadi jauh lebih spiritual, jauh lebih terarah, jauh lebih cermat, dan jauh lebih sabar. Hampir semua partai memahami bahwa demi kelangsungan hidup mereka maka partai oposisi harus tetap hidup dan kuat; demikian juga dalam perpolitikan tingkat tinggi (Hadikusumo 2000,56).
            Nietzsche merumuskan suatu asas. Semua naturalisme dalam moralitas, yaitu moralitas sehat, itu didominasi oleh suatu instink kehidupan, sebagian perintah kehidupan itu dipenuhi melalui aturan tertentu mengenai yang “boleh” dan “tidak boleh”. Dengan demikian, menghilangkan sebagian unsur-unsur yang menghambat dan melawan jalan kehidupan. Moralitas antialam adalah semua moralitas yang telah diajarkan hingga kini, diagungkan dan dikotbahkan, itu justru bertentangan dengan instink kehidupan. Moralitas kini merupakan pengutukan yang kadang terselubung, kadang keras, dan angkuh terhadap instink-instink ini. Dengan mengatakan bahwa “Tuhan bisa melihat sampai ke dalam hatimu”, maka moralitas mengingkari keinginan-keinginan hidup yang terdalam dan tertinggi dan menjadikan Tuhan musuh seumur hidup dan kehidupan berakhir pada saat Kerajaan Allah dimulai (Hadikusumo 2000, 58).
            Jika seseorang memahami kejahatan dari pemberontakan melawan kehidupan yang dalam moralitas Kristen telah menjadi sesuatu yang hampir suci, orang dengan demikian telah memahami sesuatu yang lain: kesia-siaan, kekhayalan, keabsurdan, dan kepalsuan pemberontakan seperti itu karena, pada akhirnya pengutukan atas kehidupan oleh mereka yang hidup tidak lain adalah satu gejala dari satu jenis kehidupan tertentu. Orang harus bertempat di luar kehidupan, dan di sisi lain harus mengetahui mengenai kehidupan itu sama mendalamnya dengan setiap, sebanyak, dan sema orang yang telah mengalaminya, sebelum diperbolehkan menyinggung masalah nilai kehidupan. Ini merupakan alasan yang cukup untuk memahami masalah ini bagi orang Kristen adalah masalah yang tidak terpecahkan. Ketika kita berbicara mengenai nilai-nilai, kita berbicara dengan inspirasi dan dari perspektif kehidupan. Kehidupan itu sendiri melakukan penilaian melalui kita bilamana kita telah menetapkan nilai-nilai tersebut. Dari sini diketahui bahwa bahkan moralitas antialam yang membayangkan Tuhan sebagai konsep yang berlawanan dengan dan sebagai kutukan terhadap kehidupan hanyalah merupakan satu pertimbangan nilai oleh kehidupan (Hadikusumo 2000, 59).
Disposisi Religius
            Jiwa manusia beserta batasannya; dimensi-dimensi kehidupan batin yang telah dicapai hingga saat ini, puncaknya, ngarainya, dan jauhnya, seluruh sejarah terdahulu tentang jiwa dan kemungkinan-kemungkinannya yang belum dijajagi bagi seorang psikolog sejati dan pecinta ‘perburuan besar’, inilah medan perburuan yang telah ditahbiskan sebelumnya. Untuk mengetahui dan membentuk sejarah masalah pengetahuan dan kesadaran dalam jiwa homines religiosi, misalnya kita perlu memiliki kesadaran yang mendalam, terluka, dan mengerikan seperti kesadaran intelektual Pascal. Sekali pun begitu kita masih memerlukan luasnya langit di atas sana dengan spiritualitas yang terang dan jahat untuk kita amati besarnya pengalaman-pengalaman yang berbahaya dan menyakitkan ini, untuk menatanya, dan kemudian merumuskannya (Winarno 2002,56).
            Keimanan yang diharuskan dan seringkali dicapai oleh Kekristenan awal di tengah-tengah kebebasan jiwa yang skeptis di belahan dunia selatan, di mana mazhab-mazhab filsafat tidak hanya berperang selama berabad-abad namun juga di mana kekaisaran romawi mendidik manusia menjadi toleran, tidak sama dengan keimanan naif dan rendah yang diyakini oleh Luther. Keimanan awal ini lebih mirip dengan keyakinan Pascal, sebuah keimanan yang memiliki aspek penalaran yang mengerikan, yang keras, tahan lama, seperti cacign tak dapat dibunuh sekaligus dengan satu pengorbanan, yakni pengorbanan atas kebebasan, kebanggaan, keyakinan diri spiritual; juga berarti penaklukan dan pencemoohan diri atau penggundulan diri. Jenis keimanan ini mengasumsikan bahwa kepatuhan jiwa pada dasarnya memang menyakitkan , bahwa sejarah masa lalu dan kebiasaan dari jenis jiwa seperti ini biasanya tahan terhadap absudissimum yang dihadapi oleh keimanan itu sendiri. Orang-orang zaman modern yang ditekan dan disesuaikan dengan bahasa Kristen, tidak lagi memiliki perasaan yang sangat baik., yang kesanggupan merasakannya terletak dalam paradoks rumusan yang sedemikian menakutkan, mempercayakan, dan dipertanyakan: yang disampaikan dalam bentuk re-evaluasi atas semua nilai lama (Winarno 2002, 57).
            Katolisisme tampaknya lebih terinternalisasi pada ras Latin dibandingkan semua bentuk Kekristenan diantara orang-orang utara; sebagai akibatnya, ketiadaan keimanan memiliki arti yang relatif berbeda di negara-negara Katolik dibandingkan negara-negara Protestan. Di negara Katolik ini berarti pemberontakan terhadap jiwa ras mereka, sementara bagi Nietzsche, ketiadaan keimanan lebih berarti kembali pada jiwa (atau ketiadaan jiwa) dari ras ini. Tidak diragukan lagi jika ras orang utara berasal dari ras barbar, bahkan dalam kaitannya dengan hadiah yang diberian pada agama (Winarno 2002, 59).
Refleksi dari Pemikiran Nietzsche
            Proyek Nietzsche ini bukanlah suatu kegilaan atau ketidakrasionalan. Ia memiliki logikanya sendiri yang sangat koheren dan pasti. Hal ini membuatnya bisa dikomunikasikan dan bisa diterima untuk mencapai tujuan anti-idealisme. Dalam buku “50 Filsuf Kontemporer”, pada bagian Nietzsche, dipaparkan kesulitan untuk menerima pemikiran Nietzsche ini.
            Pertama, jika kehendak untuk berkuasa itu adalah segalanya, mengapa Nietzsche ingin memberi penjelasan untuk itu? Mungkin ia akan menjawabnya dengan mengatakan bahwa ia tidak berupaya menjelaskannya, tetapi hanya memberi sebuah contoh tentang hal ini melalui gaya berfilsafat aforismenya. Meskipun demikian, tidak ada seorang pun pembaca karyanya yang tidak melihat pesan yang menyertai gayanya itu. Sudah tidak diragukan lagi bahwa sebagai pemikir, Nietzsche adalah seorang yang cukup unik. Ia tidak menulis puisi murni. Maka dari itu, teorinya harus dilihat sebagai gerakan dalam permainan filsafat; menolaknya berarti menolak satu dimensi penting dalam pemikiran Nietzsche. Di pihak lain, mengakuinya berarti mencurigai kemungkinan bahwa kita bertemu dengan seorang pemikir yang pemikirannya heterogen secara radikal (Admiranto 2001, 334).
            Kedua, anti-idealisme Nietzsche akan jatuh atau tetap bertahan berdasarkan kemungkinan bahwa suatu peristiwa bisa direduksikan pada suatu pemerian tentang hal itu; klaim semacam itu jelas akan dipertanyakan jika metafora ada dalam inti bahasa, sebagaimana pernah dikatakan penulis seperti Kristeva. Akhirnya, jika kita tidak ingin Nietzsche dikatakan sebagai “penolak” hidup, apakah itu berarti ia tidak boleh menerima bahwa hidup itu sebagian mensyaratkan adanya penolakan terhadap kehidupan itu sendiri, bahwa keinginan untuk melakukan ilusi bukan hanya berada dalam bentuk seni, melainkan juga dalam bentuk kehendak untuk mendapat kebahagiaan? (Admiranto 2001, 335)
Daftar Acuan
Admiranto, A. Gunawan (Terj.). 50 Filsuf Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Hadikusumo, Hartono (Terj.). Senjakala Berhala dan Anti-Krist Friederich Nietzsche. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Winarno, Basuki Heri (Terj.). Beyond Good and Evil- Friederich Nietzsche, Prelude Menuju Filsafat Masa Depan. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002.

Kata Berkat? Ternyata Bisa Direfleksikan (Tafsiran atas Bilangan 6:22-27)


Pendahuluan
            “Bilangan” adalah nama yang aneh untuk kitab semacam ini. Nama bilangan muncul dari para penerjemah Septuaginta, yang dalam Kitab Suci Ibrani kitab ini berjudul “Di padang gurun [Sinai]” (Lasor 1993, 232). Kitab Bilangan pasal 1:1 sampai pasal 10:10 merupakan kelanjutan kitab Imamat. Pada bagian ini, saya akan menjelaskan Bilangan 6:22-27 yang merupakan peraturan, yaitu tentang orang nazir (Mulder 1963, 69), khususnya ucapan berkat Harun. Berkat Imamat kepada jemaat menutup bagian kecemaran di perkemahan dalam Bilangan 5-6.
Tafsiran   
Ayat 22-23;27: TUHAN berfirman kepada Musa: "Berbicaralah kepada Harun dan anak-anaknya: Beginilah harus kamu memberkati orang Israel, katakanlah kepada mereka”; Demikianlah harus mereka meletakkan nama-Ku atas orang Israel, maka Aku akan memberkati mereka."
            Materi pengantar dalam ayat 22-23 berasal dari penulis sendiri, dan ada sedikit alasan untuk menyangkal di ayat 27 bahwa itu adalah berasal dari penulis. Surat itu adalah komentar halachic tentang pentingnya berkat imamat (Budd 1984, 75). Bilangan 6:22-23 merupakan kerangka berkat imam dalam konteks Bilangan 5-6. Ayat-ayat ini mengambil bentuk instruksi ilahi untuk imamat Harun. Bilangan 6:22-23 menunjukkan bahwa berkat itu dimaksudkan sebagai fungsi berkat penutup (ayat 22-23) dengan instruksi untuk kemurnian kamp di bab 5-6. Bilangan 6:27 menjelaskan bahwa yang memberkati Israel adalah Allah, bukan imam (Achtemeier 1994, 66).
            Berbeda dengan sebelumnya, menurut Ashley Allah adalah penulis dan Musa mediator. Imam (Harun dan anak-anaknya) adalah untuk menjadi orang-orang di Israel yang mengucapkan berkat tersebut. Kerangka kerja ini menggunakan orang ketiga jamak maskulin, sedangkan berkat itu sendiri bergeser menjadi bentuk ke kedua orang tunggal maskulin. Pergeseran ini mungkin menunjukkan bahwa berkat sudah mencapai bentuk liturgis tetap yang tidak dapat diubah. Bentuk jamak orang ketiga maskulin dilanjutkan pada bagian terakhir dari kerangka, yang menceritakan berkat yang terjadi jika berkat ini diucapkan dan semua hukum bagian sebelumnya secara tepat diikuti. Petunjuk para imam adalah untuk menempatkan nama Yahwe pada umat, dalam arti sempit, namun nama Allah akan diletakkan pada orang-orang jika mereka menaati hukum imam sebagaimana terungkap dalam Imamat 1-Bilangan 6. Bahwa Allah adalah orang yang mampu untuk memberkati umat-Nya yang setia yang terlihat dalam ayat 22 oleh fakta bahwa Yahweh yang merupakan penulis pewahyuan. Dalam ayat 27 Ia membuat pernyataan tegas "Aku akan memberkati mereka". Itu adalah Tuhan yang sama yang menjadi sumber dari semua berkat yang ditetapkan, di sini terlihat dalam keempat tubuh dari berkat dengan tiga kali lipat pengulangan Yahweh sebagai subyek. (Ashley 1992, 150).
Ayat 24-26: TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera.
            Berkat itu sendiri dalam ay 24-26 telah banyak diakui sebagai awal dan tradisional. Karakteristik linguistik menghubungkannya dengan mazmur, dan mungkin telah mempengaruhi Mazmur 67 dan mungkin Mazmur 4:7. Hal ini berirama dengan tiga baris (terdiri tiga kata, lima kata, dan tujuh katanya masing-masing), dan menggunakan modus orang kedua tunggal alamat yang bukan tipikal sumber P. Sebuah tanggung jawab imam dalam hal ini dibuktikan dalam Ul 10:8; 21:5, dan tampaknya ada alasan yang baik untuk percaya bahwa bentuk berkat ini benar-benar digunakan dalam pra-pembuangan Bait Suci, dan bahwa ini adalah teks yang disimpan di antara Zadok di pengasingan (Budd 1984, 75).
            Pada baris pertama ayat 24, imam berdoa agar Tuhan akan memberkati dan melindungi umat yang setia. Istilah pertama adalah ringkasan umum dari segala sesuatu yang lain di berkat. Arti dasar dari memberkati berhubungan dengan kekuatan untuk menjadi subur dan berlimpah atau makmur. Tuhan, itu berdoa, akan memberikan kelimpahan komunitas setia dan kesuburan di semua bidang kehidupan (Ashley 1992, 151).
            Menjaga. Kekuatan Allah dalam menjaga atau melindungi dapat dilihat dalam konteks yang luas yang dipisahkan dalam Perjanjian Lama. Allah memiliki kekuatan untuk menjaga dan melindungi hamba-hambanya yang hidup dengan setia, di mana pun mereka berjalan.
Tuhan dapat mengawasi hamba-hambanya dalam pertempuran, memberikan perhatian untuk umat umat-Nya. Allah juga setia berpegang pada perjanjian-Nya dengan umat-Nya dan teguh pada perjanjian-Nya dan kesetiaan cinta dengan mereka, bukan karena Ia harus tetapi karena rahmat-Nya (Ashley 1992, 152).
            Dalam ayat 25-26, klausa awal ayat-ayat ini adalah identik kecuali untuk kata kerja. Kedua klausa bertanya, dalam hal sedikit berbeda, bahwa TUHAN menunjukkan keberadaan hati kepada umat-Nya yang setia. Klausa pertama adalah doa yang ia mengambil tindakan untuk membuat wajah-Nya bersinar dalam kebajikan pada umat-Nya. Kata kerja kedua, mengangkat, tidak di tempat lain digunakan dengan Allah sebagai subjek. Ketika Tuhan "menyembunyikan wajah-Nya", Dia marah. Jadi ketika Tuhan mengangkat wajahnya, maka pada umat-Nya tampak untuk selamanya. Yang "bersinar ke muka" dan "menadahkan" wajah Yahweh lebih erat didefinisikan oleh dua klausa kedua. Positif kehadiran Allah dengan isu orang-orang-Nya dalam kasih karunia dan damai (Ahley 1992, 152).
            “Karunia” menggambarkan sikap bahwa isu-isu dalam tindakan ramah dari pihak yang lebih unggul kepada yang lebih rendah di mana lebih rendah tidak memiliki klaim atas yang lebih unggul. Keanggunan merupakan aspek fundamental dari karakter Yahweh, sebagai Perjanjian Lama dan Baru berlimpah saksi. Bahkan Meskipun penempatan bagian ini menekankan menjaga dari berbagai hukum dan ritual, yang menjaga hukum tidak memaksa Tuhan untuk menjadi murah hati. Bahkan, jika pihak rendah layak dan kebaikan, itu bukan menjadi hadiah, tetapi pembayaran. Yahwe berkuasa dan Dia akan menunjukkan kasih karunia-Nya kapan dan kepada siapa Ia berkehendak. Kehadiran kemurahan Allah mengarah, pada akhirnya, untuk perdamaian (šālŏm). Dengan berakhir dengan berkat šālŏm Harun berakhir seperti umumnya sebagai permulaan. Šālŏm pada dasarnya bukan hanya tidak adanya konflik, meskipun yang mungkin menjadi bagian dari itu. Pada dasarnya, šālŏm berarti kepenuhan hidup dan keutuhan dalam semua bidang kehidupan: materi, keluarga, sosial, dan religius. Orang mungkin mengatakan bahwa motif pemberian Allah yang utuh adalah karunia-Nya, yang pada gilirannya kembali ke titik terang keberadaan dan kehendak-Nya untuk memberkati (Ashley 1992, 153).
Aplikasi
            Teks Bilangan 6:22-27 merupakan salah satu kerangka berkat yang dipakai di gereja-gereja masa kini. Pada akhir sebuah ibadah, susunan kalimat ini diucapkan oleh pendeta sambil melakukan penumpangan tangan ke hadapan jemaat. Kalimat berkat yang terambil dari teks Bilangan 6:22-27 ini menjadi sebuah tradisi liturgis gerejawi yang dipakai gereja-gereja di dunia, termasuk di Indonesia. Teks ini memang merupakan berkat penutup dari sebuah kisah kecemaran di perkemahan dalam Bilangan 5-6. Jadi, tidak salah kalau teks Bilangan ini dipakai menjadi suatu susunan liturgis gerejawi yang ditempatkan di akhir ibadah sebagai penutup.
            Namun, yang menjadi permasalahan adalah banyak orang yang menunggu kata-kata berkat ini setiap kali beribadah. Di gereja saya, beberapa orang menantikan kata-kata berkat itu dan ketika kata-kata berkat itu diucapkan, beberapa orang membuka telapak tangan layaknya orang meminta-meminta. Padahal sesungguhnya yang memberikan berkat itu adalah Allah, bukan pendeta, tetapi mereka begitu menantikan pendeta memberikan berkat dalam suatu ibadah. Seperti yang sudah dituliskan di dalam hasil penafsiran, bahwa Allah adalah sang penulis, Musa sebagai mediator, dan Harun sebagai imam yang mengucapkan berkat tersebut, demikian pula yang terjadi pada masa kini, Allah adalah sang penulis, Alkitab adalah sebuah mediator, dan pendeta yang mengucapkan berkat.
            Teks Bilangan 6:22-27 ini bukan sekedar kerangka kalimat berkat, tetapi di dalamnya terdapat kata-kata yang begitu menggambarkan betapa besar kuasa Allah atas manusia. Tidak banyak pendeta yang mau menjelaskan kata-kata berkat ini, dan jarang sekali orang memakai teks Bilangan ini sebagai bahan khotbah, padahal isinya sangat menarik. Teks Bilangan ini menjadi sempit maknanya karena terkurung dalam sebuah tradisi liturgis gerejawi yang memakai teks ini sebagai kata-kata berkat. Teks ini bisa menjadi bahan refleksi bagaimana TUHAN mau memberkati manusia yang telah mencemarkan dunia ini.
            Saya berfleksi atas teks bilangan ini, terutama pada ayat 24-26:
·         TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau;
Senantiasa Tuhan memberkati setiap aspek kehidupan kita, jadi seharusnya kita tak perlu bersedih dan takut ketika ada permasalahan dan pergumulan, karena Tuhan selalu memberkati setiap langkah yang kita ambil untuk menyelesaikan suatu permasalahan dan selalu melindungi kita. Mata Tuhan selalu terjaga untuk melihat dan menjaga kita. Maka dari itu, bersukacitalah.
·         TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia;
Kasih karunia telah diberikan Tuhan kepada kita lewat kehidupan kita. Tuhan sudah dengan murah hati memberikan kasih karunia-Nya kepada kita, jadi apa yang harus kita lakukan untuk dia? Melakukan hal yang tak melanggar ketetapannya, karena itulah kewajiban kita sebagai manusia di hadapan Tuhan dan Tuhan telah memberikan hak kita, yaitu kasih karunia-Nya. Oleh sebab itu, bersukacitalah.
·         TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera.
Kita sebagai manusia telah dianggap sebagai citra Tuhan, segambar dengan Tuhan, dan ini dibuktikan ketika Tuhan mau menghadapkan wajahnya kepada kita. Tuhan mau turun dan menyapa kita, serta memberikan kita damai sejahtera. Sebuah kedamaian tak perlu dicari-cari manusia lagi karena sebenarnya Tuhan telah memberikan damai sejahtera, hanya bagaimana cara kita untuk mempertahankan kedamaian itu. Kedamaian bukan hanya sebatas tidak ada konflik, tetapi kepenuhan hidup dan keutuhan dalam semua bidang kehidupan: materi, keluarga, sosial, dan religius. Tuhan telah memberikan kita materi di dunia ini, Tuhan menempatkan kita pada sebuah keluarga, lingkungan sosial masyarakat, dan kita percaya bahwa Tuhan adalah sang pencipta. Jadi, bersukacitalah.

Daftar Acuan
Achtemeier, Elizabeth. The New Interpreter’s Bible Vol. II.  USA: Abingdon Press, 1994.
Ashley, Timothy R. The Book of Numbers. Gran Rapids: Eerdmans, 1992.
Budd, Philip J. Word Biblical Commentary vol 5 – Numbers. Waco: Word Books Publisher, 1984.   
LaSor, William Sandford, David Allan Hubbard dan Frederic William Bush. Pengantar Perjanjian Lama 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Mulder, D. C. Pembimbing Kedalam Perdjandjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1963.




Monday, November 26, 2012

Kaderisasi Kepemimpinan (Sebuah Tafsiran atas teks Bilangan 20:2-13)

Latar Belakang
Kitab Bilangan merupakan bagian dari kitab Taurat yang berisi mengenai hukum-hukum dan cerita-cerita mengenai keimaman (J. Blommendaal 1979, 56). Kitab Bilangan tidak dikarang ataupun ditulis secara sekaligus, melainkan terdiri dari berbagai sumber. Salah satu sumbernya adalah kitab peperangan Tuhan, yang terdapat pada Bilangan 21:14 (D.C. Mulder 1963, 56). Kitab Bilangan juga menjelaskan tentang masa hukuman 38 tahun sebagai akibat dari ketidakpercayaan bangsa Israel (LaSor 1982, 232). Pada bagian ini, kelompok akan membahas pasal 20:2-13 yang menerangkan tentang dosa Musa dan Harun yang tidak menguduskan nama Tuhan (Mulder 1963, 57).

Tafsiran
Ayat 2: wayikahelu al “berkumpullah mereka mengerumuni Musa dan Harun (TB).” Kata tersebut adalah sebuah pikiran tentang ketidakpuasan yang digunakan oleh pengarang Imamat (priestly author) di dalam tradisi Korah (Phillip J. Budd 1984, 217). Kata kerjanya tidak menunjukkan kesanggrahan, tetapi konteksnya menuntut sebuah tindakan agresif, mungkin karena keputusasaan (Budd 1984, 217).

Ayat 3: wayareb “bertengkar” menggambarkan terjadinya perkelahian. Penggunaan kata ini berkaitan dengan mempertahankan diri (Budd, 1984, 217). Perselisihan yang terjadi diantara orang-orang merupakan suatu tindakan yang jelas terlihat. Pemikiran ini telah diambil alih oleh pengarang Imamat (priestly author) dari adaptasi etiologis para Yahwist dari cerita yang berasal dari batu (Budd 1984, 217). Kata lo menegasikan sebuah noun dalam bentuk terikat (meqom) dengan beberapa kasus genetif, yang diambil berdasarkan penggunaan kolektif (Timothy R. Ashley 1992, 377). Terjadi pemberontakan atas Musa dan Harun (Ashley 1992, 380). Kematian pada ayat ini kemungkinan merupakan kiasan tradisi Korah (Budd 1984, 218).

Ayat 4: Pada ayat ini, terlihat bahwa pertengkaran yang terjadi antara orang-orang Israel dengan Musa dan Harun semakin jelas. Mereka (orang-orang Israel) memiliki pemikiran bahwa Musa dan Harun ingin mencelakakan mereka. Mereka beranggapan Musa dan Harun ingin membinasakan mereka serta segala kepunyaannya. Pada ayat ini, juga ditemukan bahwa posisi normal dari ’ayin menegasikan bentuk terikat. Hal ini terjadi untuk menekankan bahwa hal tersebut ditiadakan atau diingkari (Ashley 1992, 377).

Ayat 5: umayim ’ayin listot “bahkan air minum pun tidak ada (TB)” menjadi puncak dari pertikaian antara orang-orang Israel dengan Musa dan Harun, serta menegaskan keinginan mereka untuk mencari air minum bagi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Bangsa Israel pada saat itu tidak memiliki persediaan air minum yang tersisa. Teks ini juga menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang gersang dan tandus. Ini juga menggambarkan keliaran (wilderness) dari daerah di sekitar Mesir (Ashley 1992, 381).

Ayat 6: Kelesuan oleh hawa panas sangatlah khas untuk menunjukkan cerita-cerita ketidakpuasan yang ditulis oleh pengarang Imamat (priestly author) (Budd 1984, 218). Sebagai tanggapan atas protes yang dilancarkan oleh orang-orang Israel, sang pemimpin meminta kepada Tuhan sebuah petunjuk untuk menjawab kesulitan mereka. Lokasinya adalah di depan kemah pertemuan (Ashley 1992, 381). “mereka sujud” wayyipelu ‘al-penehem menunjukkan bahwa Musa dan Harun benar-benar meminta pertolongan Tuhan untuk menghadapi masalah ini. Tidak diketahui apa yang dikatakan oleh Musa dan Harun kepada Tuhan. “Kemudian tampaklah kemuliaan Tuhan kepada mereka” wayyera’ kebod-YHWH (adonai) ’alehem menunjukkan kemuliaan Tuhan yang muncul sebagai permulaan dari jawaban atas permasalahan yang mereka hadapi (Ashley 1992, 382). Kemungkinan, latar cerita ini berada di Kadesh (Ashley 1992, 382).

Ayat 7: Pada ayat ini, Tuhan memberikan pengarahan kepada Musa (Ashley 1992, 382).

Ayat 8: hamatteh “tongkat” adalah sesuatu yang ditempatkan “sebelum kesaksian” (Budd 1984, 218). Peran serta Imamat dalam tradisi wabah menempatkan tongkat di tangan Harun, walaupun Musa juga memiliki tongkat dalam perlengkapan Imamatnya. Musa harus mengambil tongkatnya, dia bersama dengan Harun harus mengumpulkan orang-orang, dan berbicara kepada batu tersebut, yang akan menghasilkan air untuk memuaskan rasa kehausan orang-orang Israel dan segala ternaknya (Ashley 1992, 382). Kata “batu” (sela’) berbeda dengan batu-batu biasa dan mengindikasikan sebuah jurang ataupun tebing batu yang terjal (Ashley 1992, 382). 

Ayat 9: Musa mengikuti apa yang diperintahkan oleh Tuhan (Ashley 1992, 383).

Ayat 10: syame’u na’ hamorim “dengarlah kepadaku hai orang-orang durhaka (TB)” membuktikan sebuah amanat Musa kepada orang-orang (Budd 1984, 218). Pendapat mereka sama saja dengan pemberontakkan (Budd 1984, 218). Mungkin, hal itu jugalah yang menyebabkan Musa mengatakan hamin-hassela’ hazeh nosi lakem mayim “apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini (TB)” (Ashley 1992, 384). Hal ini mengindikasikan Musa tidak yakin dengan apa yang akan dilakukannya (Ashley 1992, 384). Kata kerja nosi (haruskah kami membawa) mengindikasikan bahwa Musa dan Harun dipanggil untuk melakukan sebuah “mujizat” kepada orang-orang yang merupakan pembelot-pembelot Tuhan (Ashley 1992, 385).

Ayat 11: Walaupun Musa telah diperintahkan untuk berbicara kepada tebing ataupun bukit batu tersebut, pada ayat ini, kita melihat bahwa Musa memukul tebing ataupun bukit batu tersebut (Budd 1984, 218). Menurut Hieronimus, para imam juga harus berhati-hati ketika mereka tidak tulus, mereka meragukan kekuatan Tuhan (Joseph T. Lienhard 2001, 239). Musa tidak hanya mengucapkan kata-kata kasar kepada orang-orang Israel. Ia juga berlaku kasar dengan memukul bukit batu itu. Hal ini mengindikasikan bahwa Musa tidak menaati perintah Tuhan dan hal tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah dosa (Ashley 1992, 385).

Ayat 12: Pada ayat ini, terlihat bahwa model kepemimpinan yang haram (ketidakpatuhan, melawan umat Tuhan memakai kata-kata yang kasar, kekerasan) atau keterlibatan dalam sejumlah tindakan telah cukup untuk menahan Musa dan Harun tidak memasuki tanah perjanjian (Ashley 1992, 385). Ayat ini juga menunnjukkan bahwa Musa tidak percaya kepada Tuhan (he’emanetem), dan tidak menguduskan-Nya (lehakediseni) di depan Bangsa Israel (Budd 1984, 218). Hal ini juga mengakibatkan nama Kadesh (qades yang memiliki akar kata yang sama dengan haqdis) yang berarti Tuhan di tempat kudus berubah dan diketahui dengan nama yang lain (Ashley 1992, 386).

Ayat 13: Nama tempat tersebut adalah Meribah, karena di tempat itulah Bangsa Israel bertengkar dengan Tuhan (rabu bene-yisra’el ’et-YHWH). Hal ini merupakan pengenangan akan orang-orang Israel atas apa yang pernah terjadi di tempat tersebut (Ashley 1992, 386). Mereka lebih mengingat pertengkaran dengan Tuhan ketimbang dosa-dosa Musa dan Harun (Ashley 1992, 386). Wayyiqqades “Ia menunjukkan kekudusan-Nya (TB)” pada dasarnya adalah permainan etiologis dari nama tempat Kadesh (Budd 1984, 219). Hal tersebut sesuai karena dosa-dosa para pemimpin mereka dan tersingkapnya kekuatan kudus dalam bentuk air (Budd 1984, 219).

Kritik dan Aplikasi
            Melalui tafsiran tersebut, kami melihat bahwa teks ini ingin mengangkat permasalahan yang dihadapi Bangsa Israel setelah keluar dari Mesir. Selain itu, teks ini juga ingin menunjukkan keliaran alam yang dihadapi Bangsa Israel dalam perjalanan mereka menuju tanah perjanjian. Teks ini juga ingin menggambarkan apa yang terjadi ketika mereka semua sampai di daerah yang bernama Kadesh. Cerita ini juga ingin menggambarkan penyertaan Tuhan kepada Bangsa Israel selama mereka dalam perjalanan menuju tanah perjanjian. Tuhan memenuhi apa yang menjadi kebutuhan orang-orang pilihan-Nya.
            Namun, di sisi lain, kami juga melihat bahwa Tuhan ingin menguji kemampuan Musa dan Harun dalam memimpin Bangsa Israel. Menurut kami, pemimpin Bangsa Israel, dalam hal ini Musa dan Harun, diuji kemampuannya untuk memimpin kumpulan orang-orang yang “tegar tengkuk” serta tidak siap menghadapi kesulitan-kesulitan yang mungkin akan dihadapi selama perjalanan. Walaupun Bangsa Israel secara literer dikatakan sebagai “Bangsa Pilihan Tuhan,” namun menurut kami, Bangsa Israel tidak menunjukkan perilaku sebagai bangsa pilihan Tuhan. Bangsa Israel justru menunjukkan sikap bahwa mereka adalah orang-orang keras kepala yang menginginkan segala sesuatu telah tersedia. Harun dan Musa dituntut untuk memiliki kesabaran ekstra dalam memimpin Israel menuju tanah perjanjian.
            Memang pada akhirnya, Musa dan Harun tidak bisa memimpin Bangsa Israel masuk ke dalam tanah perjanjian karena kesalahan mereka tidak menaati perintah Tuhan. Namun, kami melihat bahwa ini merupakan sebuah hal positif karena dalam hal ini, terjadi proses regenerasi. Menurut kami, Musa dan Harun sudah cukup tua dan gaya kepemimpinannya juga sudah tidak terlalu relevan dengan keadaan Bangsa Israel yang akan memasuki tanah perjanjian. Pada masa itu juga, Bangsa Israel belum memikirkan pengganti Musa dan Harun seandainya saja mereka meninggal karena usia mereka yang sudah lanjut.
            Melalui peristiwa ini, Tuhan mengajak Bangsa Israel untuk memikirkan pemimpin pengganti yang dapat memimpin mereka selanjutnya. Menurut kami, melalui peristiwa tersebut, Tuhan juga ingin memperkenalkan konsep kaderisasi, yaitu konsep mempersiapkan pemimpin yang berikutnnya, kepada Bangsa Israel. Memang, pada prakteknya, pemimpin yang berikutnya masih ditentukan oleh Tuhan dan bukan oleh Bangsa Israel sendiri. Namun, setidaknya mereka telah memiliki konsep dasar bahwa pemimpin tidak harus seseorang yang sama dan memimpin bangsa tersebut hingga akhir hayatnya.
            Pada masa kini, teks ini ingin mengajak kita tidak hanya menaati perintah Tuhan seperti aplikasi-aplikasi yang sering kita dengar, baik melalui buku renungan harian, ataupun khotbah-khotbah yang berdasarkan teks ini. Menurut kami, teks ini juga ingin mengajarkan kepada kita konsep kaderisasi tersebut. Hal ini tidak saja tejadi hanya pada Bangsa Israel. Hal ini juga terjadi pada masa kini, walaupun katanya masa kini adalah zaman yang moderen.
            Kita tentu sering mendengar singkatan 4L, yang dapat diperpanjang sebagai “Lu Lagi Lu Lagi.” Singkatan ini sering terdengar di gereja-gereja, mungkin tidak semua gereja. Namun, singkatan ini menunjukkan kekeringan kepemimpinan yang terjadi pada gereja masa kini. Mungkin, jika kita memperhatikan susunan panitia suatu acara di gereja kita secara seksama dan teliti, kita akan menyadari akan hal ini. Menurut kami, hal ini juga terjadi di kampus ini, dimana kita melihat bahwa kebanyakan susunan panitia acara apapun di kampus ini diisi oleh “muka-muka” yang “itu-itu lagi.”
            Menurut kami, bacaan ini sangat relevan dengan apa yang saat ini terjadi, baik di gereja maupun di kampus ini. Konsep kaderisasi memang sangatlah diperlukan. Kita tidak mungkin bergantung kepada seorang pemimpin yang sama hingga akhir hayatnya. Tidaklah mungkin sebuah gereja bergantung kepada pemimpin yang sama. Kalau hal tersebut terjadi, kemungkinan akan melahirkan sebuah gereja yang gaya kepemimpinannya monoton.
            Pada akhirnya, kami menyimpulkan bahwa melalui bacaan ini, kita tidak hanya diperkenalkan konsep ketaatan kepada Tuhan. Kita juga tidak hanya diperkenalkan konsep bersabar dan menahan diri. Kita diperkenalkan kepada suatu konsep mempersiapkan pemimpin baru. Konsep ini merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan pada gereja dan masyarakat saat ini.

DAFTAR ACUAN
Ashley, Timothy R. The Book of Numbers. Gran Rapids: Eerdmans, 1992.
Bloomendaal, J. Pengantar Kedalam Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979
Budd, Philip J. Word Biblical Commentary vol 5 – Numbers. Waco: Word Books Publisher, 1984.   
LaSor, William Sandford, David Allan Hubard dan Frederic William Bush. Old Testament Survey: The Message, Form, and Background of the Old Testament. Gran Rapids: Eerdmans, 1982.
 Lienhard, Joseph T (ed). Ancient Christian Commentary on Scripture vol 3. Downers Groove: InterVarsity Press, 2001.
Mulder, D. C. Pembimbing Kedalam Perdjandjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1963 

NB: Hasil Tafsiran ini adalah karya Kelompok 3 Kelas Hermeneutika Perjanjian Lama 1 di STT Jakarta

Friday, October 26, 2012

Bukan Masalah Halal dan Haram, tetapi Masalah Kesehatan (Sebuah Tafsiran Kitab Ulangan 14:1-21)

Pendahuluan
            Keseluruhan kitab Ulangan berisi mengenai Bangsa Israel yang dipilih Allah karena kasihNya dan bukan karena jasa bangsa tersebut terhadap Allah. Kitab ini pun berbicara mengenai panggilan kepada bangsa Israel untuk mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati, serta melarang keras sikap-sikap yang menduakan Allah (Brown 1993).   
            Kitab Ulangan 14:1-21 ditulis dengan tujuan untuk memberitahu cara menghormati Tuhan dalam perilaku kita. Perikop ini juga menjadi 2 bagian cerita, yaitu apa yang anda lakukan untuk tubuh anda dan  apa yang anda bawa ke meja anda (Brown 1993). Teks ini ditulis dengan latar belakang umat Israel yang mengadopsi cara beribadah bangsa Kanaan sehingga terjadi asimilasi dengan adat bangsa Kanaan.

Tafsiran
Ayat 1: "Kamulah anak-anak TUHAN, Allahmu; janganlah kamu menoreh-noreh dirimu ataupun menggundul rambut di atas dahimu karena kematian seseorang;
Pernyataan ini menggambarkan hubungan parental antara Allah dengan orang-orang terpilihnya. Sebagai anak-anak Allah, orang-orang Israel tidak diperbolehkan untuk mengikutsertakan praktik-praktik tradisi Kanaan yang menjelekkan tubuh manusia (Christensen 2001, 290). Kalimat “Kamulah anak-anak TUHAN, Allahmu;” mengandung konsep hubungan bapa dengan anak, yang digambarkan dengan hubungan Allah dengan bangsa Israel. Hubungan itu mengilustrasikan ketetapan Allah dan kepedulianNya terhadap bangsa Israel. Dalam konteks ini mendapat tekananan akan tangung jawab bangsa Israel atas hubungan intim sebagai “anak”. Dalam ayat ini pun mendapat perhatian khusus terhadap penyembahan berhala agara tidak terjadi penyembahan terhadap allah lain. Kalimat “janganlah kamu menoreh-noreh dirimu ataupun menggundul rambut di atas dahimu karena kematian seseorang” merupakan dua kebiasaan yang dilarang dari adat perkabungan karena itu adalah ritual bangsa Kanaan yang merupakan penyembahan kepada dewa baal (Craigie 1976, 229-230).
                            
Ayat 2: sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu, dan engkau dipilih TUHAN untuk menjadi umat kesayangan-Nya dari antara segala bangsa yang di atas muka bumi."
Sebagai orang yang terpilih untuk menjadi umat yang berharga di mataNya mereka adalah orang-orang kudus yang harus menjaga tingkat kekudusannya. Ada tiga bentuk yang digunakan untuk menggambarkan hubungan Israel dengan Tuhan dalam ayat ini, yaitu kudus, terpilih, dan kepunyaan. Ketiga bentuk ini secara bersamaan mengekspresikan dasar pemilihan teologi Deutronoministik (Christensen 2001, 291).

Ayat 3: "Janganlah engkau memakan sesuatu yang merupakan kekejian.
Terdapat perdebatan di atas prinsip yang menekankan peraturan-peraturan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh Bangsa Israel. Terdapat beberapa orang yang mengadopsi peraturan-peraturan tersebut atas dasar kesehatan dan kebersihan. Hewan-hewan yang tidak diperbolehkan dimakan di atas adalah hewan-hewan biasa (sama dengan hewan pada umumnya), namun yang menjadi pembeda adalah anggapan bahwa hewan tersebut adalah hewan yang dihormati dan dikuduskan  oleh bangsa-bangsa di luar Israel, khususnya bangsa Kanaan (Craigie 1976, 230).

Ayat 4-6: Inilah binatang-binatang berkaki empat yang boleh kamu makan: lembu, domba dan kambing; rusa, kijang, rusa dandi, kambing hutan, kijang gunung, lembu hutan dan domba hutan.Setiap binatang berkaki empat yang berkuku belah -- yaitu yang kukunya bersela panjang menjadi dua -- dan yang memamah biak di antara binatang-binatang berkaki empat, itu boleh kamu makan.
Binatang darat yang boleh dimakan adalah binatang yang diternak dan tujuh jenis binatang liar. Beberapa dari binatang ini tidak dapat dipastikan (Christensen 2001, 291).

Ayat 7: Tetapi inilah yang tidak boleh kamu makan dari antara yang memamah biak atau dari antara yang berbelah dan bersela kukunya: unta, kelinci hutan dan marmot, karena semuanya itu memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram semuanya itu bagimu.
Ketiga binatang yang diilustrasikan peraturan umum tentang binatang yang tidak berkuku belah, tetapi memamah biak. Walaupun mereka bukan pemamah biak, tetapi terlihat seperti pemamah biak. Alasan lainnya adalah bahwa binatang-binatang tersebut merupakan binatang pembawa penyakit (Christensen 2001, 291-292)
Ayat 8: Juga babi hutan, karena memang berkuku belah, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan janganlah kamu terkena bangkainya.
Babi hutan adalah binatang yang berkuku belah, tetapi bukan binatang memamah biak. Binatang-binatang seperti ini tidak boleh dimakan dan dagingnya tidak boleh disentuh. Hal ini terjadi karena babi merupakan binatang kultis dan digunakan dalam penyembahan berhala sesuai budaya pada masa tersebut (Christensen 2001, 292).

Ayat 9-10: Inilah yang boleh kamu makan dari segala yang hidup di dalam air; segala yang bersirip dan bersisik boleh kamu makan, tetapi segala yang tidak bersirip atau bersisik janganlah kamu makan; haram semuanya itu bagimu.
Ikan yang dimaksud tidak bersirip tersebut, seperti ikan lele (catfish) yang berada di dalam laut Chinnereth (Galilee), belut, ikan pari, dan semacam ikan belut yang besar yang berada di dalam pantai Mediterania, di mana tempat tersebut tidaklah bersih dan oleh karena itu, semua jenis ikan yang disebutkan di atas tidak diperbolehkan untuk dimakan. Artinya, larangan tersebut pada dasarnya lebih berkaitan dengan masalah kebersihan dan kesehatan bagi individu yang memakannya (Craigie 1976,232).

Ayat 11-19: Setiap burung yang tidak haram boleh kamu makan. Tetapi yang berikut janganlah kamu makan: burung rajawali, ering janggut dan elang laut; elang merah, elang hitam dan burung dendang menurut jenisnya; setiap burung gagak menurut jenisnya;
burung unta, burung hantu, camar dan elang sikap menurut jenisnya; burung pungguk, burung hantu besar, burung hantu putih; urung undan, burung ering dan burung dendang air; burung ranggung, dan bangau menurut jenisnya, meragai dan kelelawar. Juga segala binatang mengeriap yang bersayap, itu pun haram bagimu, jangan dimakan.
Aturan umum bagi binatang yang memiliki sayap adalah sangatlah mudah, setidaknya semua burung yang bersih boleh dimakan, orang-orang Israel tidak diperbolehkan memakan darah ataupun bangkai atau binatang yang mati diburu oleh makhluk pemburu. Hanya sedikit yang boleh dimakan, bagaimanapun, kata tidak haram itu masih dipertimbangkan dalam praktek aktualnya (Christensen 2001, 292).

Ayat 20: Segala burung yang tidak haram boleh kamu makan.
Ayat ini merupakan pengulangan dari ayat 11, berperan sebagai inklusi untuk melengkapi bagian dari binatang yang bersayap dan memisahkan itu dari apa yang mengikutinya dari ayat 21 (Christensen 2001, 293).

Ayat 21: Janganlah kamu memakan bangkai apa pun, tetapi boleh kauberikan kepada pendatang yang di dalam tempatmu untuk dimakan, atau boleh kaujual kepada orang asing; sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu. Janganlah kaumasak anak kambing dalam air susu induknya."
Ayat ini terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian A dan bagian B. Bagian A memberikan penjelasan mengenai, larangan bagi bangsa Israel untuk mengkonsumsi bangkai binatang atau hewan. Mengapa? Sebab bangkai hewan tersebut memiliki kemungkinan untuk terkontaminasi oleh hal-hal lain yang mungkin saja membahayakan dan tidak steril. Apalagi dengan keadaan cuaca atau iklim daerah Timur Tengah atau Timur dekat kuno yang beriklim panas, akan memperbudah terjadinya kerusakan daging dan kontaminasi terhadap daging tersebut. Larangan tersebut dilakukan untuk menghindari adanya kesamaan dengan agama atau kepercayaan Kanaan (Craigie 1976, 232).
Karena orang Israel adalah orang yang kudus di mata TUHAN, mereka tidak diperbolehkan memakan bangkai, karena darahnya masih ada di dalam tubuh bangkai itu. Perbedaan dalam izin untuk memberikan atau menjual bangkai tersebut kepada orang asing menunjukkan terjadi perbedaan status ekonomi diantara dua kelas dalam masyarakat tersebut. Perintah untuk tidak merebus anak kambing dalam air susu induknya digunakan sebagai kesimpulan untuk hukum pola makan atau diet. Alasan-alasan lainnya yaitu karena Yudaisme Rabinik mengintepretasikan dalam pendapat umum sebagai pemisahan antara produk daging dan produk susu (Christensen 2001, 293).

Aplikasi
            Tubuh menjadi sangat penting bagi orang Israel karena, orang Israel berpendapat bahwa tubuh merupakan ciptaan Allah. Jika tubuh dirusak dengan menggunduli atau memotong janggut maka sama artinya dengan merusak ciptaan Allah dan menjadi sama dengan ritual penyembahan baal yang dilakukan oleh bangsa-bangsa di Kanaan.
            Pada umumnya kita sering menafsirkan ayat ini sebagai dasar mengharamkan pelbagai  jenis hewan tersebut. Namun, setelah melihat dan menelaah dengan lebih dalam lewat metode historis-kritis, ditemukan makna lain dari teks ini, yaitu larangan untuk memakan segala jenis hewan yang disebutkan oleh penulis teks ini dimaksudkan untuk menghindari adanya sinkritisme antara bangsa Israel dengan bangsa-bangsa yang ada di Kanaan. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa bangsa Israel adalah bangsa pilihan Allah. Oleh karena itu terdapat peraturan ataupun batasan mengenai cara hidup bangsa Israel agar mereka tidak menjadi sama dengan bangsa-bangsa yang ada di Kanaan. Misalnya seperti penyembahan terhadap dewa baal sebagai kepercayaan kepada bangsa yang ada di Kanaan.
            Larangan untuk memakan beberapa jenis hewan dikarenakan hewan-hewan tersebut dianggap kotor dan dapat membahayakan kesehatan individu yang memakannya. Beberapa hewan seperti marmut, terbukti sebagai hewan yang menyebarkan dan menularkan penyakit bagi manusia.
            Dalam konteks jaman sekarang, hal memotong rambut atau janggut bukanlah merupakan sebuah perusakan tubuh atau ritual penyembahan terhadap ilah lain, tetapi lebih kepada kerapihan dan kebersihan bagi tubuh itu sendiri. Hal tersebut terkait juga dengan hal makanan. Pada masa kini orang lebih memiliki kebebasan untuk mengkonsumsi beberapa jenis hewan yang dahulu dilarang untuk dikonsumsi. Misalnya memakan babi hutan, orang sudah tidak menganggap lagi jika memakan babi hutan maka dia melakukan ritual penyembahan ilah lainnya.
            Maksud dari penulisan teks tersebut adalah untuk mencegah adanya sinkritisme antara orang Israel dengan bangsa-bangsa di Kanaan, serta larangan terhadap manusia untuk memakan beberapa binatang karena masalah kesehatan manusia dan kebersihan binatang tersebut, serta menyangkut pula masalah ekonomi bangsa Israel yang dahulu lebih lemah dibanding bangsa-bangsa yang ada di Kanaan. So, untuk masalah makanan bukanlah masalah haram dan halal, tetapi menyangkut pilihan kita untuk hidup sehat atau hidup dengan berbagai resiko penyakit setelah memakan makanan itu



DAFTAR ACUAN
Brown, Raymond. 1993. The Message of DEUTERONOMY. England: Inter-Varsity Press.
Christensen, Duanne L. 2001. Word Biblical Commentary; Deuteronomy 1:1-21:9. Mexico: Thomas Nelson, Inc.
Craigie, Peter C. 1976. The Book of DEUTERONOMY. Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.


NB: Tafsiran ini dibuat oleh kelompok 3 kelas Hermeneutika Perjanjian Lama STT Jakarta, yaitu Irene, Samuel, William, dan Karel

                                                                                     

Saturday, June 30, 2012

Uppss.. Sorry Kawan-kawan PARTCIDA

Edisi "SANG PEMIMPI"
Meski di bis, tetep nyenyak....

No Komen!

Doa Syafaat Pribadi, model 1


Doa Syafaat Pribadi, model 2

Doa Syafaat Pribadi, model 3

Anak SD bangun tidur...

Capee selesai KULIah

Hoaaamp....

Tidur di sofa terempuk yaa...

Dimana-mana tidur!!!!

Tidur apa berdoa mas??

Raja tidur di kelas...ckckckk

Tidur apa .....????

Tidur ayam, matanya melek setengah!

Awas jangan sampe becek yaa mejanyaa...

Edisi "POSE SENSUAL"
ooopppsss...

Yang penting ada yang dipeluklah....

Pre-wed gretongaann...

Ngenye banget....hahahahaa

Edisi "ARTIS DADAKAN"
Gak ada mikrofon, gayung pun jadii....

Superman apa Supraman?

Abah Sani, pemeran keluarga cemara 2012

Edisi "POSE PALING ANEH"
Udah kayaa ......

Aduuuh, ampir aja jatuuh....

Paling kurang ajar!!!!

BONUS: PESERTA LOMPAT INDAH 2012


Don't try this at home and your school....