Monday, December 16, 2013

Sejarah Gereja-gereja di Jawa dan Bali

Keadaan Sosial-Politik, Ekonomi, Budaya, dan Agama di Jawa
            Sejak abad ke-18, sebagian besar pulau Jawa dikuasai secara langsung oleh orang-orang Belanda. Setelah VOC bubar pada tahun 1799, keadaan politik di Jawa menjadi tidak tetap. Pada tahun 1811, pemerintah Belanda yang menggantikan VOC diusir oleh pemerintah Inggris. Namun pada tahun 1816, pemerintah Belanda kembali lagi ke tanah Jawa. Hal ini berdampak pada sistem ekonomi yang telah di re-organisasikan sistem perpajakan dan tanahnya oleh para penguasa yang silih berganti menguasai daerah Jawa ini. Pada masa kekuasaan Inggris, gubernur jenderal yang memerintah sudah memiliki rencana-rencana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Jawa. Namun, ketika perang Diponegoro pecah dan mengakibatkan perbendaharaan negara Belanda kosong, maka tenaga orang-orang Jawa dikerahkan untuk mengisi kembali kas Belanda dengan sistem Tanam Paksa. Sistem inilah yang menentukan kebijaksanaan pemerintah Belanda di Jawa mulai dari tahun 1830 sampai 1860-an (Van den End 2006, 197).
            Dari segi keagamaan, pada abad ke-19 dunia rohani orang Jawa mengalami pergolakan yang besar dan banyak orang yang berjalan keliling Jawa untuk mencari “Ngelmu” baru. Sebagai catatan, kehidupan orang Jawa tetap diatur oleh adat namun banyak pula orang Jawa yang terpengaruh ilmu kebatinan. Ilmu kebatinan ini lebih berpengaruh besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur dibandingkan dengan Jawa Barat. Pada tahun 1815, tercatat bahwa tidak ada penganut agama Kristen yang adalah orang Jawa, sebagian besar adalah orang-orang Belanda serta keturunan mereka dan beberapa orang yang berasal dari Indonesia Timur. Orang Kristen ini tersebar di tiga kota besar di pantai Utara yakni Surabaya, Semarang dan Batavia; juga sebagian tersebar di dusun-dusun terpencil yang hidup sebagai pengusaha perkebunan dan tuan tanah. Jemaat-jemaat Kristen ini hidup terpencil dan tidak merasa terpanggil untuk menyebarkan Injil kepada orang-orang pribumi di sekitar mereka.  Bahkan anggota-anggota jemaat Depok malah dilarang bergaul dengan penduduk desa-desa tetangga yang beragama Islam (Van den End 2006, 198).
            Dari segi kebudayaan pada abad ke 19 di Jawa, sejak bangkitnya semangat Islamisasi pada masa Pakubuwana II terjadilah penyesuaian secara bertahap dengan peraturan-peraturan dan praktik-praktik Islam yang lebih saleh dalam kehidupan orang Jawa[1]. Namun, pada akhir abad 19, beberapa elite Jawa yang bekerja pada rezim kolonial melihat hal ini sebagai fenomena yang berbahaya, dan kaum muslim yang lebih reformis dalam masyarakat melihat itu sebagai kompromi yang tak semestinya. Pengaruh kelompok elite ini begitu kuat sehingga islamisasi atas bentuk kesenian lama yang banyak terjadi itu malah mundur (Ricklefs 2005, 274-275).

Perkembangan Karya Zending dan Misi di Jawa Barat
Abad ke-19 hingga Pertengahan Abad ke-20
            Peralihan kekuasaan dari VOC ke pemerintahan kolonial Belanda bagi para Organisasi Pekhabaran Injil merupakan angin segar, khususnya bagi gereja Katolik. Bila VOC mewakili Gereja Protestan, maka pemerintahan kolonial Belanda tidak memprioritaskan suatu denominasi di atas yang lain. Gubernur Jenderal Belanda memberikan kebebasan bagi setiap lembaga misionaris untuk beroperasi di Hindia Belanda dengan syarat ketat yang ditetapkan pemerintah (Ali 2009, 49). Oleh sebab itu, di Batavia umat Katolik dapat mendirikan institusi-institus besar. Sebuah Gereja Katedral besar dalam gaya neo-gothic mendominasi lanskap dari pusat baru Batavia, tidak begitu jauh dari kubah grand Gereja Protestan Willem I. Ordo Yesuit dan Ursula juga membangun sekolah dengan asrama yang memberikan pendidikan kelas satu untuk anak-anak beragama Katolik, juga beberapa anak-anak Protestan. Selain itu, Rumah Sakit Katolik Carolus telah didirikan tahun 1910-an (Aritonang 2008, 645).
            Di Pesisir Jawa Barat pada tahun 1863, 3 orang misionaris pertama yang diutus NZV menginjakkan kakinya, yakni Albers, Grashuis, dan Van der Linden. Ketiga orang misionaris ini diutus oleh NZV lantaran desakan dari I. Esser dan E.W. King dengan alasan bahwa sejak Belanda memerintah tahun 1596, tidak ada orang Belanda yang menyebarkan Injil di Jawa Barat. Pada awalnya memang pemerintah Belanda agak ragu untuk memberikan ijin kepada para misionaris untuk masuk dan menyebarkan Injil di Jawa Barat, namun argumentasi Esser yang menyatakan bahwa orang Sunda telah berandil besar terhadap perekonomian Belanda sehingga ada hutang budi pemerintah Belanda terhadap mereka (orang Sunda), membuat pemerintah Belanda menyetujui Pekabaran Injil terjadi di Jawa Barat (Kraemer 1958, 97). 
            Setelah mendapat izin dari pemerintah Belanda, ternyata Pekabaran Injil di Jawa Barat tidak semudah yang diperkirakan para misionaris ini. Kraemer mencatat dan memetaforakan Pekabaran Injil di Jawa Barat bagaikan Nova Zembla Spiritual[2]. Para misionaris secara pribadi mengalami betapa mengerikannya jika seluruh orang Sunda menyatakan diri dengan jalan membisu dan tak peduli seolah-olah mengatakan, “Kami tidak  mengundang anda, juga tidak menginginkan pemberian anda.” Akhirnya para misionaris berpaling kian kemari, mereka mempelajari bahasa Sunda, mereka mengunjungi yang sakit dan mencoba memperlihatkan perasaan manusiawinya dengan membantu secara sederhana dan menyatakan belas kasihan mereka. Selain itu, para misionaris juga beberapa kali mencoba masuk melalui dunia pendidikan, namun sedikit sekali anak-anak Sunda yang datang, Jika mereka datang dan kemudian memeluk agama Kristen karena pergaulannya dengan para misionaris, maka sekolah itu akan dijauhi seperti orang menghindari wabah. Oleh sebab itu, pada tahun 1876, 1879, dan 1881 pengurus NZV serta beberapa misionaris mempertimbangkan secara sungguh-sungguh pengunduran diri dari pekerjaan Pekabaran Injil tersebut. Para misionaris ini menjadi objek kritikan karena kegagalan mereka disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri. Kesalahan mereka adalah pertama-tama tidak menjaga iklim spiritual di daeran Sunda serta keadaan orang-orang sekitar di tempat para misionaris itu tinggal (Kraemer 1958, 98).
            Mr. F. L. Anthing, adalah seorang yang saleh keturunan Belanda. Ia bekerja di kantor pengadilan negeri Semarang sejak akhir 1850-an , dan sejak 1863 dia bertugas di Batavia sebagai wakil ketua Mahkamah Agung. Sejak di Semarang, Anthing telah memberikan perhatiannya terhadap pekabaran injil kepada masyarakat pribumi. Di sanalah Anthing berkenalan dengan Ibrahim Tunggul Wulung. Ketika dipindahkan tugasnya ke Batavia, ia bergabung bersama Genootschap voor Inen Uitwendige Zending (Aritonang 2010, 90) sehingga ia adalah orang yang disebut Kraemer sebagai penyelamat Pekabaran Injil di Jawa Barat. Anthing disebut sebagai penyelamat karena pemikirannya ada di luar batas pemikiran orang-orang Eropa lainnya. Anthing menyadari bahwa hal-hal seperti kebangsaan, keturunan, kebudayaan, dan pandangan hidup menyebabkan adanya jurang pemisah yang dalam antara dunia pribumi dan dunia orang Eropa. Anthing juga mengukur betapa besar hambatan terhadap Pekabaran Injil yang diakibatkan oleh dominasi politik dan posisi ekonomi bangsa Eropa yang dianggap sebagai orang-orang Kristen. Anthing juga tidak menutup mata bahwa bagi orang Timur, agama, kebangsaan dan adat istiadat masyarakat dan lain sebagainya merupakan suatu kesatuan, demikian eratnya sehingga menanggalkan agama sendiri dan memeluk agama lain karena keyakinan, tanpa meninggalkan kebangsaan, adat istiadat dan lain sebagainya bagi mereka merupakan suatu yang ganjil, yang tak masuk akal dan merupakan penyangkalan terhadap identitasnya yang benar yang telah ditentukan oleh takdir dan perjalanan/tujuan hidup mereka. Pemikiran Anthing ini pada akhirnya menjadi hipotesa cara kerjanya, yakni dengan tidak mengutus para pembantunya untuk menjadi alat sebuah organisasi Belanda dan pengkhotbah Kekristenan, melainkan mengutus mereka untuk menampilkan diri sebagaimana seorang penduduk pribumi layaknya, yang menyimpan rahasia yang sangat berharga atau yang biasa orang pribumi Jawa sebut “ngelmu” sehingga mereka (orang Sunda) ingin mengetahuinya. Dengan cara ini, orang-orang dapat didekatkan dengan pokok-pokok Injil tanpa gangguan atau ciri khas yang asing. Dengan cara inilah, Anthing berhasil secara gemilang. Maksudnya ialah bahwa hasil pekerjaan Anthing-lah yang masih tetap ada dan tidak musnah sama sekali (Kraemer 1958, 99-100). Para didikan Anthing kemudian mendirikan sejumlah jemaat kecil dan mendirikan desa-desa Kristen, di Batavia, antara lain Kampung Sawah dan Gunung Putri (Van den End 2006, 209).
            Hampir serupa dengan Jawa Barat, metode Pekabaran Injil di Banten pun terbagi dalam lima bagian. Pertama, para misionaris di Banten mendirikan sekolah, tempat di mana para utusan injil mengajarkan kepada para siswa keterampilan membaca, menulis, dan berhitung, juga pelajaran agama Kristen (katekisasi) terutama bagi persiapan pembaptisan. Kedua, kunjungan keliling desa, ke tempat keramaian seperti pasar untuk menampilkan sciopticon (gambar sorot) sambil menceritakan kisah Injil yang diilustrasikan oleh gambar tersebut. Ketiga, pelayanan kesehatan, baik dengan mendirikan poliklinik maupun dengan berkeliling ke kampung-kampung mengunjungi orang sakit. Keempat, pengedaran bacaan Kristen (colportage) kepada tokoh-tokoh masyarakat, pejabat pemerintah dari kalangan pribumi, dan juga dijual dengan harga yang murah kepada masyarakat lainnya. Kelima, pembuatan desa Kristen dengan menyediakan tanah, sawah untuk dijual kepada para anggota jemaat, yang kemudian membayarnya dengan padi hasil panen (Ali 2009, 54).

Gereja Kristen Pasundan
            Pada awal abad ke-20 yakni sekitar tahun 1930, sudah ada keinginan dari sebagian anggota Gereja di Jawa Barat untuk berdiri sendiri dan tidak selalu berada dalam asuhan Zending. Oleh sebab itu, mulailah dipikirkan masalah ini dikalangan zending dan pemimpin pribumi. Pada tahun 1933, Prof. Dr. Hendrik Kraemer ditugaskan untuk memeriksa keadaan Jemaat-jemaat Pasundan. Selama hampir 4 bulan, ia mengunjungi Jemaat-jemaat Pasundan dan menarik sebuah kesimpulan, yakni “Turunkanlah anak ini dari gendongan bagaimanapun keadaannya. Yang menjadi pengasuhnya hanyalah menjaga dan memperhatiannya dari jarak yang tidak terlalu dekat.” Kraemer mendorong NZV untuk secepatnya memberikan status berdiri sendiri kepada Gereja Pasundan setelah cukup lama diasuh oleh NZV selama kurang lebih 70 tahun, dan dari kalangan pemimpin pribumi juga sudah muncul keinginan untuk berdiri sendiri, namun jemaat pada umumnya belum dipersiapkan untuk berdiri sendiri[3]. Namun Kraemer tetap yakin bahwa Gereja Pasundan harus dilepas oleh NZV karena bagaimanapun gereja-gereja muda harus berdiri sendiri agar potensi untuk berkembang muncul dari gereja-gereja muda ini (Soejana 1975, 37-38). 
            Pada hari Rabu, 14 November 1934 bertempat di gedung gereja jemaat Bandung, dilakukan upacara peresmian Gereja Kristen Pasundan menjadi gereja yang berdiri sendiri. Dengan disaksikan oeh utusan-utusan dari semua jemaat-jemaat Pasundan, utusan-utusan Gereja-gereja lainnya yang ada di Bandung dan para pendeta NZV yang ada di Jawa Barat, Dr. N.A.C. Slotemaker de Bruine, konsol zending yang bertindak selaku wakil pimpinan NZV, membacakan “Oorkonde” (piagam penyerahan). Dengan demikian, terhitung tanggal 14 November 1934 jemaat-jemaat di Jawa Barat bekas asuhan NZV telah menjadi gereja yang berdiri sendiri dengan nama de Christelijke Kerk van West Java[4]. Sejak saat itu, gereja ini bertanggung jawab sendiri atas pemeliharaan dan pengembangan dirinya, dan melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya di Jawa Barat. Namun, ada satu bidang yang masih dibantu oleh NZV yakni bidang pembiayaan pekerjaan (bantuan keuangan)[5] (Soejana 1975, 44).
            Meski GKP telah dikatakan berdiri sendiri pada tahun 1934, namun NZV masih memegang peranan yang penting hingga tahun 1942. Antara 1934-1942 itulah GKP masih berada dibawah bimbingan NZV. Pengurus Harian Rad Ageng masih dipegang oleh petugas NZV yakni Pdt. J. Iken dan kemudian digantikan oleh Pdt. H.D. Woortman hingga tahun 1942. Jadi, meskipun secara formal GKP sudah berdiri sendiri, namun yang memimpin GKP masih tetap orang-orang NZV. Keadaan ini berakhir pada awal tahun 1942 bukan karena NZV telah yakin melepaskan GKP untuk berdiri sendiri, tetapi karena Pemerintah Hindia Belanda berakhir kekuasaannya dan digantikan kependudukan Jepang (Soejana 1975, 45-46).
            Pada masa kependudukan Jepang, GKP harus sudah mulai bersikap mandiri karena para zendeling tidak diperkenankan bekerja lagi di Jawa Barat. Pada waktu itu, pimpinan Rad Ageng segera diganti[6] dan pengurus harian ini disebut pengurus harian darurat dan berkedudukan di bandung. Pemerintah Jepang memang tidak menghambat kehidupan GKP[7].  Justru setelah kemerdekaan Indonesia, GKP baru mendapatkan hambatan-hambatan. Beberapa jemaat GKP mengalami tindakan pengacauan antara lain di Cigelam, Gunung Putri, dan Kampung Sawah. Kejadian tersebut menyebabkan anggota-anggota jemaat mengungsi ke Bogor, Jakarta, dan tempat-tempat lain. Setelah keadaan aman, barulah mereka kembali ke kampung halaman mereka, kecuali anggota jemaat dari Cigelam. Tidak hanya pada jemaat, tetapi seorang pendeta GKP dari NZV yakni Pdt. J. van de Weg yang melayani di Juntikebon dibunuh oleh beberapa orang yang tidak bertanggung jawab  (Soejana 1975, 49).
            Hingga kini, GKP masih terus bertumbuh dan berkembang di Indonesia. GKP bukanlah gereja suku meski awalnya Pekabaran Injil difokuskan kepada orang-orang pribumi Sunda. GKP adalah gereja teritorial di mana Pekabaran Injil GKP hanya sebatas Pulau Jawa bagian Barat saja.

Perkembangan Karya Zending dan Misi di Jawa Tengah
Abad ke-19 hingga Pertengahan Abad ke-20
            Injil datang ke Jawa Tengah ditandai dengan datangnya rohaniawan VOC di Semarang. Namun, baru ada kesempatan untuk berkembang pada zaman pemerintahan Inggris di Indonesia (1811-1816) yaitu dengan terbukanya kesempatan bagi badan-badan pekabaran Injil masuk ke Indonesia. Dengan kesimpulan persidangan Middelburg maka Gereformeerde Kerken in Nederland atau GKN masukd an mengabarkan injil di 5 wilayah di Jawa Tengah, yakni Yogyakarta, Banyumas, Purworejo, Kebumen, dan Wonosobo (Purnomo 1986, 95-97).
            Injil disebarkan di Jawa Tengah melalui dua jalan. Jalan yang satu adalah melalui usaha beberapa orang kulit putih dan jalan yang kedua adalah penyiaran “ilmu” Kristen oleh penduduk Ngoro dan Mojowarno. Riwayat sejarah gereja di Jawa Tengah mempunyai pola yakni utusan-utusan lembaga zending datang menetap di tengah-tengah jemaat Kristen Jawa dan mengambil alih pimpinan. Salah seorang tokoh pemimpin dalam kekristenan Jawa adalah Ibrahim Tunggul Wulung[8]. Ia berasal dari daerah Juwono dekat Gunung Muria, Jepara (Van den End 2006, 207). Pada masa ini Tunggul Wulung berkenalan dengan agama Kristen lewat hasil pertapaannya[9]. Selanjutnya Tunggul Wulung menemui Coolen, Emde, dan Jellesma (seorang penginjil utusan NZG, yang bekerja di Surabaya sejak 1848 dan di Mojowarno sejak 1851). Setelah itu ia berkelana ke mana-mana sambil mengabarkan Injil. Melihat semangat Tunggul Wullung membuat Jellesma yakin akan kesungguhan Tunggul Wulung dan akhirnya membaptis dia dan isrinya pada tanggal 6 Juli 1857 (Aritonang 2010, 93-94). Sementara itu dan juga sesudahnya, ia mengadakan perjalanan pekabaran Injil terus menerus ke daerah Pasuruan, Rembang, dan kawasan Gunung Muria. Di beberapa tempat ia menjadi perintis jemaat-jemaat Kristen yang baru (Van den End 2006, 207). Dia membuka desa bernama Banyutowo setelah membuka hutan Bondo sebelumnya. Juga dia mendirikan desa lain di Tegalombo (Aritonang 2010, 94).
            Setelah kematian Tunggul Wulung, jemaat-jemaat yang dipimpinnya beralih kepada zending Mennonit. Tetapi di Jawa Tengah bagian selatan tetap terdapat kelompok orang Kristen yang meneruskan tradisi Tunggul Wulung. Mereka dipimpin oleh seorang murid Tunggul Wulung yang bernama Sadrach. Sadrach lahir di daerah antara Demak dan Jepara dengan nama Radin Abas, di lingkungan keluarga Islam abangan atau Islam Kejawen. Begitu besarnya minat mendalami agama membuatnya ia berguru dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Hingga suatu saat ia berkenalan dengan Pak Kurmen alian Sis Kanoman yang adalah seorang guru “Ngelmu” yang pernah dikalahkan Tunggul Wulung. Selanjutnya dia diantar untuk menemui Kiai Ibrahim Tunggul Wulung di desa Bondo. Namun kemudian dia memiliki niatan untuk menempuh jalan sendiri dan Tunggul Wulung memperkenalkannya kepada Anthing di Batavia[10]. Setelah ia dibaptis, ia kembali ke Jawa Timur dan kemudian menginjili membantu Ny. Philips di daerah Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah (Aritonang 2010, 97).  Setelah Ny. Philips meninggal, jemaat yang telah dikumpulkannya menerima Sadrach menjadi pemimpinnya pada tahun 1876. Pada masa ini juga masuk NGZV dan kemudian diteruskan Zending Gereformeerde Kerken di Nederland (ZGKN). Karena sikap NGZV yang begitu keras terhadap agama Kristen Jawa dibanding Jansz maka terjadilah keretakan yang tidak dapat dipulihkan lagi sehingga Sadrach menggabungkan diri dengan Gereja Kerasulan (Van den End 2006, 208).
            Sejak saat itulah ZGK muncul dan mempengaruhi sejarah dan perkembangan Gereja-gereja di Jawa, khususnya Jawa Tengah dengan utusannya Ds. L. Adriaanse yang bertempat tinggal di Purworejo. Adriaanse mencoba untuk menggabungkan kembali gerejanya dengan Gereja Sadrach namun hal itu tidak berhasil karena Sadrach telah memilih untuk mendirikan Gereja Kerasulan. Pengganti Adriaanse yakni Jotham, membuka diri untuk berhubungan dengan zending Gereja Gereformeerd, bahkan kemudian banyak pengikut Sadrach yang menggabungkan diri dengan Gereja Gereformeerd. Gereja Sadrach yang besar itu memang tidak terpelihara dan pengetahuan kekristenannya masih sederhana jika dibandingkan dengan pengikut Gereja Gereformeerd pada umumnya ketika itu. NGZV yang sudah habis masa pelayanannya sebagai badan pekabaran Injil akhirnya menyerahkan daerah-daerah pekabaran Injil di Jawa kepada gereja Gereformeerd Belanda dan sebagian ke Zending Salatiga (Purnomo 1986, 19-20).

Gereja-gereja Kristen Jawa
            Nama-nama seperti Johanes Emde di Surabaya, Coenard Laurens Coolen di Ngoro, Ny. Van Oostrom Philips di Banyumas, Ny. Christina Petrolena Philips Stevens di Purworejo, Mr. F.L. Anthing di Jakarta harus diingat. Tentu saja, dari mereka tercatat sejarah panjang yang tidak kecil makna serta dampaknya kelak kemudian hari dan kaitannya dengan kehidupan Gereja-gereja Kristen jawa kini. Dari merekalah kemudian lahir pekabar-pekabar Injil bumi putera seperti Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Sadrach yang kemudian dikenal sebagai pengembang kekristenan Jawa.. Merekalah yang bergerak mendahului dan meratakan jalan bagi para utusan perkumpulan dan pekabaran Injil. Bahkan mereka juga yang menerobos daerah-daerah terlarang untuk pekabaran Injil akibat Regerings Reglement 177 di daerah Yogyakarta dan Surakarta (Purnomo 1986, 16).
            Pekerjaan pekabaran Injil kaum awam menghasilkan “buah” yaitu generasi pertama dari keristenan Jawa. Timbulah kelompok-kelompok Kristen di daerah Purworejo, Tegal, dan Banyumas. Mereka dibaptiskan di Gereja Protestan Belanda. Baptisan pertama bagi orang-orang Jawa terjadi di Semarang tahun 1858 dan di Purworejo tahun 1860. Kelompok-kelompok tersebut tadi merupakan cikal-bakal dari Gereja-gereja Kristen Jawa. Barangkali mereka merupakan Gereja di dalam kandungan. Dari kelompok-kelompok itulah tersebar kekristenan ke Yogyakarta, Surakarta, dan ke seluruh Jawa Tengah (Purnomo 1986, 16).
            Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa inilah yang mewariskan gereja Gereformeerd Belanda. Namun, Bakker mengemukakan bahwa ada bahaya dalam hubungan antara Gereja Jawa dengan Gereja Gereformeerd Belanda. Ada anggapan dari pihak orang-orang Kristen Jawa bahwa pendeta zending lebih tinggi kedudukannya dibandingkan pendeta Jawa, mereka lebih suka dibaptis pendeta Belanda daripada pendeta Jawa. Ada perbedaan dalam pastoral: pendeta Belanda lebih keras sedangkan pendeta Jawa lunak. Oleh sebab itu Bakker memperingatkan kedua belah pihak dan ia pun memberikan pandangan yang tepat sesuai proporsi kedudukan masing-masing. Pendeta Utusan Belanda, secara organisatoris adalah konsulen bagi gereja (majelis gereja) yang belum mempunyai pendeta, kedudukan mereka di sidang klasis maupun sinode hanya sebagai penasihat. Hal inilah yang menjadi latar belakang GKJ baru mendapat ketegasan kesamaderajatan dengan Gereja-gereja di Belanda dan di luar negeri pada tahun 1947 melalui Regional Accoord serta nota Probowinoto[11]. Dengan kesepakatan tersebut, maka hubungan antara Gereja-gereja Jawa dengan Gereja-gereja di Belanda menjadi hubungan kerja sama (partnership yang sama derajatnya) (Purnomo 1986, 31).

Perkembangan Karya Zending dan Misi di Jawa Timur
Abad ke-19 hingga Pertengahan Abad ke-20
Keadaan umum di daerah Jawa Timur tidak jauh berbeda dengan keadaan yang ada di Jawa Tengah. Ada kesamaan situasi, yakni masih berkembangnya kejawen dan juga agama Islam serta kekuatan politik. Walaupun demikian, proses penampungan Kekristenan oleh lembaga-lembaga zending Eropa telah usai (End dan Weitjens 2008, 249).
Kekristenan di Jawa Timur dimulai dengan lingkaran Orang-orang Kudus Surabaya dengan pusatnya adalah Johannes Emde (Aritonang dan Steenbrink 2008, 712). Emde menikah dengan seorang wanita Jawa dan memulai pelayanan religiusnya dari keluarganya tersebut. Dalam pelayanannya, Emde tidak memperbolehkan adanya penggunaan atribut-atribut ke-Jawa-an, seperti blankon, keris dan gamelan. Baginya, beberapa pengetahuan Belanda itu lebih baik dipahami oleh penganut agama baru, ketimbang pengetahuan setempat. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai Kristen londo tanpa kursi, karena dianggap ajarannya kurang cocok (Aritonang dan Steenbrink 2008, 713).
Di sisi lain, terdapat pula inisiator yang banyak berkontribusi dan lebih setuju dengan budaya Jawa, yakni Coenraad Laurens Coolen. Ia justru menampilkan ekspresi tradisional Jawa dalam praktik Kekristenan, seperti wayang, musik dan tarian Jawa. Coolen tinggal di desa Ngoro. Di situlah ia banyak belajar mengenai budaya jawa dan di situ pulalah ia menikah dengan wanita setempat, setelah ia bercerai dengan istrinya. Cara Coolen yang unik, dengan memakai budaya setempat sebagai bentuk pengajarannya, dilihat berbeda oleh Emde. Ia melihat bahwa Coolen mencampuradukan agama Kristen dan lebih kepada ranah sinkretisme.
Di tengah dua kutub yang berbeda tersebut, antara Emde dan Coolen, muncullah seorang yang bernama Paulus Tosari. Ia berasal dari Madura. Sebelumnya Tosari adalah seorang Islam yang taat dan juga seorang anak pesantren. Namun, pada saat Tosari mengunjungi Ngoro, ia bertemu dengan Coolen, dan mengajarkan banyak hal mengenai Kekristenan kepadanya. Coolen dibantu oleh beberapa orang dari desa Wiung ketika mengajarkan Tosari. Akhirnya, pada tanggal 12 September 1844, Tosari dibaptis oleh Emde. Setelah dibaptis, Tosari tidak dapat kembali ke Ngoro, sehingga ia memulai pembukaan lahan hutan dan memberikan nama tempat itu sebagai Mojowarno, yang akhirnya menjadi tempat lahirnya Kekristenan di Jatim. Paulus Tosari menjadi pemimpin spiritual pertama di tempat tersebut (Aritonang dan Steenbrink 2008, 714). Dengan begitu, ada dua desa Kristen yang menjadi tonggak awal penyebaran agama Kristen, yakni Ngoro dan Mojowarno. Walaupun demikian, perkembangan selanjutnya tetap ada ke berbagai tempat hingga pulau Madura.
Pada tahun 1870-1910 terdapat pergerakan dari para badan zending yang berada Jawa Timur. Pertama, zending tetap memperhatikan desa ketimbang kota. Pemilihan itu didasarkan pada faktor sosial, yakni kota-kota besar merupakan tempat tinggal bagi para orang Eropa dan Tionghoa, sementara itu, zending tidak suka bergaul dengan orang-orang tersebut. Lagi pula, pada zaman itu, gerakan kekristenan yang ada di Jatim adalah gerakan petani, yang meluas melalui pembukaan lahan. Kedua, zending menetapkan pekabaran Injil melalui karya pendidikan. Tujuan dari hal itu ialah supaya dapat meningkatkan mutu jemaat Mojowarno dan jemaat lainnya, sehingga mereka tidak memerlukan lagi adanya seorang zendeling. Penunjang pI itu ialah dengan menggunakan sarana pendidikan seperti pelayanan Firman, disiplin gereja dan pendidikan sekolah (End dan Weitjens 2008, 250).
Gerakan tersebut itu berdampak ganda, yakni ke dalam dan ke luar. Dampak ke dalamnya ialah makin banyaknya jemaat yang berdiri dengan mendasarkannya pada aturan dan kebiasaan hidup desa-desa Kristen, sehingga pertambahan jumlah pun meningkat perlahan-lahan. Selain itu, dimulainyalah pI ke tanah Madura, yang kemudian bersatu dengan NZG. Sedangkan dampak ke luarnya ialah datangnya perkembangan-perkembangan baru yang menantang wawasan zending lama pada tahun 1910, yang menyebabkan bedirinya lembaga pergerakan nasional di kalangan orang Jawa. Pada tahun 1909 didirikan lembaga Rentjono Budijo yang mengedepankan penelaahan Alkitab. Nama-nama yang berkecimpung dalam organisasi ini adalah  Jerobeam Mattheus Kertoadmodjo, Kismus Wirisoebroto, R.S. Jonathan, R. Soedono Nimpoeno (Nortier 1981, 143). Dilanjutkan dengan berdirinya Mardi Pratjojo (1911), yang berkecimpung dalam PA, PI, Paduan Suara, dana kematian, dana pinjaman dan sebagainya. Kemudian, pada tahun 1918 kelompok Mardi Pratjojo dibubarkan dan bersama orang Kristen di Jatim, mendirikan Perserikatan Kaoem Christen (PKC) dan bergabung bersama partai Belanda, yakni Christelijke Ethische Partij (CEP). Kedua kelompok itu tidak begitu cocok, sebab tujuan mereka saling berbeda. CEP bertujuan untuk mempertahankan orang Belanda di Indonesia, sedangkan PKC ingin memperjuangkan kemajuan orang Indonesia dan kesamaan hak antara orang Belanda dan Indonesia (End dan Weitjens 2008, 251).
Kebangkitan kekristenan di Jatim merupakan tantangan bagi zending NZG. Ini disebabkan pemuda Kristen Jawa tidak bersedia menerima pimpinan mereka karena mereka menganggap para zendeling bertindak sebagai penjajah rohani. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 1918, diadakan perundingan antara orang Kristen di Jatim dengan orang Belanda. Rundingan tersebut menghasilkan kesetaraan antara orang Belanda dan orang Kristen di Jatim, sehingga mereka dapat makan di meja bersama. Selanjutnya, sekitar tahun 1920-an, ada pengaruh timbal balik di antara keduanya. Para zendeling yakin bahwa orang Kristen Jawa masih memahami organisasi gereja secara formalistis, sebab masih ada pembedaan antara gereja dan aparat negara. Ini menyebabkan adanya penundaan pembentukan sinode oleh mereka. Sebaliknya, para zendeling sadar mengenai desakan orang Kristen Jawa sehingga mereka meninggalkan Jatim pada awal abad ke-20.
Kesaling-berpengaruhan ini menghasilkan beberapa hasil seperti, berdirinya jemaat Mojowarno secara mandiri, didirikannya sekolah Bale Wiyata di tahun 1925. Dua tahun berikutnya sekolah itu dipindahkan ke Malang dan menjadikan kota itu sebagai pusat gerakan Kristen di Jawa Timur, menggantikan kota Mojowarno. Selain itu, terjadi pula perubahan pola pI yang terjadi di Jatim. Awalnya, pI dilakukan pada kantong-kantong Kristen yang ada di Jatim, kemudian hal itu berganti menjadi penyebaran Kabar Sukacita ke kota-kota dan desa-desa (End dan Weitjens 2008, 252-3).

Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW)
Pada tahun 1928 diadakan konferensi gereja Kristen di Jawa Timur. Dalam konferensi ini diangkat panitia yang akan menyusun tata gereja. Selain itu, melalui nasihat H. Kraemer, gereja-gereja diminta untuk berdiri secara mandiri. Gereja pertama yang mendirikan secara mandiri adalah Gereja Kristen Jawi Wetan pada tanggal 11 Desember 1931. Langkah ini merupakan langkah awal berkembangnya gereja-gereja mandiri di Jatim. Pada periode 1931-1941, melalui usaha pI, perluasan lahan, dan lain sebagainya, maka bertambahlah orang Kristen di Jatim, bahkan GKJW menyebarkan Injil sampai ke Bali.
Namun, perkembangan itu terhenti dengan selepas tahun 1941. Pada masa perang, tepatnya tahun 1942-1945, seluruh gereja yang ada di pulau Jawa dan juga agama lain yang ada di pulau itu, mengalami penderitaan saat Jepang datang menjajah Indonesia. Selain itu, terjadi perpecahan di tubuh GKJW, sehingga pada tanggal 6 Agustus 1946 diadakan pertemuan umum pendeta se-GKJW. Mereka melakukan perbaikan ke dalam dan ke luar. Alhasil, mereka berhasil mengatasi kemelut yang terjadi, dengan dibuktikan meningkatnya jumlah anggotanya. Salah satu faktornya ialah kehadiran gereja di tengah masyarakat yang sedang dalam pergolakan, sebagai persekutuan yang tidak ikut dalam kutuk-mengkutuk dan benci-membenci yang berkembang pada saat itu (End dan Weitjens 2008, 254-5).

Gereja Kristen lainnya di Jawa Timur
NZG yang membentuk GJKW tersebut tidak hidup dalam lingkungan Tionghoa, oleh karena itu, pI di kalangan tersebut diprakarsai oleh kaum Metodis dari Amerika (1905-1927). Di tahun 1928, karya pI itu diambil alih oleh gereja Calvinis kecil di Negeri Belanda, yan baru saja memisahkan diri dari GKN. Zending Belanda mulai bekerja di tengah orang Tionghoa di daerah Surabaya. Tanggal 9 Agustus 1934, delapan jemaat yang berhasil dibentuk, disatukan menjadi satu Khoe Hwee (Klasis) Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee-Khoe Hwee Jawa Timur. Lalu, THKTKH-DT berkembang menjadi Gereja Kristen Indonesia Jatim. Sementara itu, sebagian anggota yang berbahasa Mandarin, membentuk Gereja Kristus Tuhan yang berpusat di kota Lawang (End dan Weitjens 2008, 256-7).

Perkembangan Karya Zending dan Misi di Bali
Abad ke-19 hingga Pertengahan Abad ke-20
Perkembangan gereja Kristen di Bali pertama-tama dimulai sejak dipikirkannya penginjilan di pulau tersebut pada tahun 1633 hingga terbunuhnya seorang penginjil Belanda, Jacob de Vroom, pada tahun 1881 (Aritonang 2012, 77). Namun, usaha itu gagal karena Pulau Bali dikenal sebagai pulau yang tertutup karena itu merupakan benteng pertahanan orang Hindu setelah mereka diusir oleh orang Islam di pulau Jawa. Kemudian penyebaran diambil alih oleh UZV. Pada tahun 1863, UZV mengirim W. van der Jagt sebagai zendeling yang mempersiapkan penginjilan di Bali. Tanggal 16 Oktober 1864, ia sampai di Bali dan diterima oleh pemimpin masyarakat Bali di Singaraja. Selain itu, UZV bekerja sama dengan Nederlans Bijbelgenootschap (NBG) menugaskan Herman Neubronnes van der Tuuk untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bali pada tahun 1862. Namun, pelaksanaan itu terealisasikan di tahun 1870 (Aritonang 2012, 85).
Usaha UZV untuk melakukan penginjilan di Bali juga terus dilancarkan dengan mengirim beberapa cendikiawannya. Pertama, UZV mengirim R. van Eck pada tahun 1866. Ia pandai dalam berbahasa dan salah satu karyanya ialah kamus bahasa Bali-Belanda pada tahun 1876.  Lalu, dikirimkannya Jacob de Vroom pada November 1866 sampai 1881. Ia ahli dalam bidang obat-obatan. Sayangnya, ia dibunuh ketika sedang bertugas dan dalang pembunuhannya itu adalah I Gusti Wayan Karangasem, yang merupakan anak didikan dari de Vroom (Aritonang 2012, 86-7). Yang terakhir dikirimkan adalah N. Wiggelendam yang tiba di Bali pada bulan April 1880, tetapi baru bisa menetap pada bulan Oktober.
Sayangnya, hampir selama 18 tahun menyiarkan Injil di sana, di tahun 1873 hanya ada satu orang saja yang terbaptis. Kemudian, orang yang membaptis itu dibunuh oleh masyarakat setempat (End dan Weitjens 2008, 256).
Pada tahun 1929, Injil masuk di Bali melalui seorang penginjil CAMA dari Tiongkok daratan, bernama Tsang To Hang (Kam Fuk). Ia diberi izin untuk bekerja pada orang Tionghoa di Bali. Melalui dirinya, pada tanggal 11 November 1931, 12 orang Bali dibaptis dan kemudian bertambah lagi, hingga akhirnya ada sekitar seratus lebih yang dibaptis. Namun, ia mendapat sanksi atas pekerjaannya itu, sampai akhirnya, di tahun 1933, ia harus meninggalkan Bali. Lalu CAMA dilarang mengadakan hubungan dengan Belanda dua tahun berikutnya(End dan Weitjens 2008, 256-7).

[Perjalanan Menuju] Gereja Kristen Protestan Bali
Kemudian, misi pekabaran Injil dilanjutkan dan diambil alih oleh GKJW. Pada tahun 1933, GKJW, melalui sidang Swaru, mengutus Mas Tartib Eprajim dan Mas Darmoadi ke Bali. Mas Tartib melakukan interaksi langsung, dengan duduk bersama-sama di warung kopi dan tempat-tempat lainnya, sebagai bentuk metodenya. Ia menggunakan buku Rasa Sejati kepada orang Bali, sehingga mereka menganggap Mas Tartib sebagai orang yang mengerti rahasia hati manusia. Melalui itu, ia berhasil mengajak orang Bali untuk menjadi Kristen, dan ia membaptiskan mereka dengan cara yang berkembang di pulau itu. Selain itu, Mas Darmoadi menerjemahkan Alkitab ke bahasa Bali, karena ia berbakat di bidang itu (End dan Weitjens 2008, 257-8). Selanjutnya, pada tanggal 5-7 Desember 1933, diutuslah juga guru ketiga yang diputuskan dalam sidang GKJW ke-5, yang bernama Nekamija.
Usaha penginjilan dilakukan terus-menerus kepada masyarakat Bali. Masyarakat Bali pun sudah mulai banyak yang menjadi Kristen. Namun, nilai Kristen yang mereka anut masih terpecah-pecah sehingga adanya kekacauan di antara mereka. Untuk mengatasi perpecahan gereja itu, H. Kraemer mengambil alih kepemimpinan gereja di Bali. Ia juga merekonsiliasi perpecahan gereja di Bali juga.
Pada tahun 1937, jemaat-jemaat yang terpisah tersebut dikumpulkan dalam Pasikian Kristen Bali (PKB). Perkumpulan ini didirikan sebagai wadah tempat mereka melakukan rapat untuk membicarakan persoalan-persoalan yang mereka hadapi (Aritonang 2012, 251). Kemudian, diadakannyalah kursus penghantar jemaat yang dipimpin oleh tenaga dari Jawa dan Belanda. Hal ini disebabkan pernyataan Kraemer yang mengatakan bahwa kemerdekaan gereja ini (yang akan menjadi GKPB) harus dari permulaan, orang-orang Belanda dan Jawa hanya menjadi penasihat dan Gereja berdiri sendiri (Aritonang 2012, 251). Kursus itu diperuntukan bagi jemaat agar mereka siap untuk mandiri. Bukti dari kesiapan menuju kemandirian Gereja Bali ditunjukan melalui pendirian desa Kristen yang bernama Blimbingsari pada tahun 1938. Desa inilah yang menjadi pusat Kekristenan di Bali.
Menjelang tahun 1947, PKB mencetuskan tiga hal yang mendorong kemandirian Gereja Bali serta sebuah sinode yang mengaturnya. Pertama, adanya Gerakan Persatuan Nasional di Indonesia, sehingga muncullah semangat revolusi untuk mempunyai cita-cita kemerdekaan. Kedua, adanya penyerahan tanggung jawab kepada Gereja Bali untuk mengurus dirinya sendiri. Ketiga, adanya kekosongan di Gereja Bali, akibat perginya utusan-utusan non-Bali (Aritonang 2012, 252).
Berdasarkan tiga hal itu, Ketut Suwetja, Made Rungu, dan Wayan Regog mulai membicarakan usaha pemandirian gereja. Dengan mengacu pada AD dan ART Majelis Kristen Indonesia mereka menyusun AD dan ART untuk gereja Bali. Maka pada tanggal 14-15 Januari 1948 diadakanlah sidang Gereja Bali di desa Blimbingsari. Dalam sidang itu, diputuskan bahwa gereja yang berdiri sendiri ini dinamakan Persekutuan Kristen Prostestan Bali (PKPB). Selain itu, dputuskan juga AD dan ART yang melandasinya serta Badan Pengerjanya (BP).
Perjuangan berlanjut. BP melanjutkan rapatnya setelah sidang tersebut. Mereka mengajukan maklumat kepada raja-raja di Bali, yang menyatakan bahwa Gereja telah berdiri sendiri. Surat itu diajukan pada tanggal 31 Januari 1948. Selepas masa pengajuan itu, PKPB mengalami jatuh-bangun dalam hal organisasi gereja dan kebutuhan-kebutuhan gereja. Selain itu, banyak yang merasakan bahwa status yang melekat sebagai PKPB membuat mereka kurang begitu luwes dan luas dalam bertindak. Oleh sebab itu, pada tanggal 12-13 Januari 1949 diadakan sidang kedua. Dalam sidang tersebut muncul pertikaian yang disebabkan adanya perbedaan pandangan mengenai makna berdiri sendiri. walaupun demikian, hal itu dapat dijembatani oleh Nona Frans yang didukung oleh Dr. J. L. Swellenggrebel (Aritonang 2012, 254-6).
Pada akhirnya, kata berdiri sendiri diganti dengan berdiri bersama-sama dengan Gereja lain. Ini menandakan di dalam gereja sendiri kita mempunyai tanggung jawab di hadapan Tuhan. Selanjutnya, nama Gereja PKPB diganti dengan GKPB, yakni Gereja Kristen Protestan Bali. Pada tanggal 20 April 1949, ditetapkanlah nama gereja menjadi Gereja Kristen Protestan Bali. Bersama dengan itu, maka pemerintahan Gereja pun (Sinode) terbentuk (Aritonang 2012, 258).

Refleksi dan Kesimpulan
             Pekabaran Injil di Jawa Barat adalah hal yang sulit bagi para zendeling, karena mereka mendapat penolakan dari pribumi Sunda yang sudah terlebih dahulu memeluk agama Islam. Namun, ketika Anthing mulai ikut ambil bagian dalam mengabarkan Injil dengan memadukan agama Kristen dengan kebudayaan Sunda. Hal yang tidak pernah dipakai para zendeling sehingga orang-orang pribumi asing dengan hal tersebut dan tidak terjadilah penolakan tersebut.
Hal serupa juga terjadi di Jawa Tengah. Bedanya, di Jawa Tengah, masuknya Kekristenan melalui 2 jalan, yakni jalan para zendeling dan jalan dari penginjil Pribumi, yakni Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Sadrach. Meskipun pada akhirnya jalan melalui zendinglah yang berhasil mendewasakan jemaat-jemaat di Jawa Tengah, namun pada awalnya penginjil pribumi seperti Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Sadrach lah yang menjadikan agama Kristen diterima oleh pribumi Jawa. Keadaan sosial politik juga menjadi penentu berhasil tidaknya suatu pekabaran Injil. Ini terlihat ketika VOC dibubarkan dan digantikan oleh pemerintahan Belanda untuk menguasai Indonesia, maka orang-orang Katolik dapat juga melakukan misi mereka sehingga orang-orang Katolik dapat mendirikan institusinya di Indonesia.
Tak jauh berbeda tentang pekabaran Injil yang ada di Jawa Timur, dengan daerah lainnya. Di Jatim pekabaran Injil lebih diwarnai dengan perbedaan metode yang digunakan oleh Johannes Emde, C.L. Coolen dan Paulus Tosari. Para Zendeling yang ada di Jatim memiliki dua fokus dalam melakukan penyebarannya, yakni fokus terhadap desa-desa dengan membuka lahan (gerakan petani) dan terhadap pendidikan. Perkembangan selanjutnya pekabaran Injil di Jatim juga dipenuhi dengan pergerakan nasionalis dari masyarakat, di mana muncul lembaga-lembaga yang mendukung pI tersebut. Hasil akhir dari pekabaran Injil ini dibuktikan dengan berdirinya Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW).
Pekabaran Injil yang terakhir, Bali, merupakan pekabaran Injil yang paling sulit dan penuh tantangan. PI di Bali dapat dikatakan sebagai pI tersulit sepanjang sejarah pI di Indonesia. Kesulitan dirasakan karena Pulau Bali adalah pulau yang tertutup dari pemahaman dan kepercayaan dari luar pulaunya. Maka dari itu, badan zending yang mau mengabarkan Injil menjadi sulit menembus. Walaupun demikian, tidak semua masyarakat Bali kolot dan kaku dalam penerimaan itu, khususnya terhadap orang asing. Ini yang diterima oleh R. van Eck dan Jacob de Vroom. Mereka diterima baik pada awalnya, namun karena kesalahan yang mereka perbuat, terkhusus de Vroom, sehingga ia dibunuh oleh muridnya sendiri. Setelah melewati pergumulan yang lumayan panjang, Kabar Baik pun tersebar di Bali dan gerejanya pun berdiri sendiri dengan nama Gereja Kristen Protestan Bali.
Melihat karya zending yang dilakukan di Jawa dan Bali, ada hal menarik yang dapat dipelajari. Di setiap daerah pekabaran, para zending dan zendeling melibatkan warga setempat dengan baik. Terlebih lagi, banyak orang-orang di daerah setempat yang menjadi pekabar Injil di wilayahnya, seperti Kyai Sadrach dan Paulus Tosari. Selain itu, pekabaran Injil yang dilakukan lebih kepada penyebaran interkultural, yakni penggunaan unsur-unsur budaya setempat sebagai sarana pekabaran. Karya zending lainnya yang berharga adalah penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah, sehingga memudahkan terjadinya pekabaran Injil dan berguna bagi pemahaman akan Kebenaran itu sendiri.

Daftar Acuan
Ali, Mufti (Ed.). 2009. Misionarisme di Banten. Banten: Laboratorium Bantenologi.
Aritonang, Jan S. al. (eds.). 2008. A History of Christianity in Indonesia. Leiden: BRILL.
Aritonang, Jan S. 2010.  Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Aritonang, Jan S. (ed). 2012. Dinamika GKPB: Dalam Perjalanan Sejarah. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
End, Th. van den. 2006. Ragi Carita I. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
End, Th. van den & Weitjens, J. 2008. Ragi Carita II. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kraemer, Hendrik. 1958. From Missionfield to Independent Church. Boekencentrum: The Hague.
Nortier, C.W. 1981. Tumbuh, Dewasa, Bertanggunjawab: Studi Mengenai Pertumbuhan Gereja Kristen Jawi Wetan Menuju ke Kedewasaan dan Kemerdekaan ±1835-1935. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Purnomo, Hadi. al. (Ed.) 1986. Gereja-gereja Kristen Jawa: Benih yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi.
Singgih, E.G. 2009. Dua Konteks: Tafsir-tafsir Perjanjian Lama Sebagai Respons Atas Perjalanan di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Soejana, Koernia Atje. 1975. Benih Yang Tumbuh 2. Bandung: Percetakan Universitas Kristen Satya Wacana.




[1] Misalnya, cerita-cerita wayang disesuaikan dan ditafsirkan dalam pengertian-pengertian yang lebih Islami
[2] Nova Zembla adalah pulau di Laut Utara (di sebelah utara Siberia) yang dingin, tandus, dan tidak berpenduduk. Nova Zembla ini menjadi metafor untuk menggambarkan sesuatu yang tidak menghasilkan apa-apa. Menurut Singgih, Kraemer berpikir seperti itu karena dia menganggap bahwa tanah Sunda adalah tandus sebab Pekabaran Injil yang telah sekian lama tidak membuat hati orang-orang sunda terbuka untuk berpindah agama dari Islam ke Kristen (Singgih 2009, 75; mengacu pada Kraemer).
[3] Salah satu contohnya adalah mentalitas anggota jemaat yang masih suka dipimpin oleh para Zendeling Barat. Kraemer mengungkapkan bahwa bila guru-guru (Guru Injil-pemimpin pribumi) diizinkan untuk melayani sakramen, anggota jemaat tidak akan berkata, “Lihatlah, betapa nilai guru kita menjadi naik”, tetapi: “Lihatlah, betapa nilai sakramen menjadi turun. Kita tetap meminta seorang pendeta (Pendeta kulit putih)” (Soejana 1975, 37).
[4] Gereja Kristen di Jawa Barat, yang kemudian berubah nama menjadi GKP, dengan Rad Ageng (Majelis besar, yaitu persidangan utusan-utusan Jemaat-jemaat) sebagai pemegang wewenang tertinggi dan dipilihlah pengurus harian dengan Pdt. J. Iken sebagai ketua, Pdt. D. Abednego sebagai sekretaris, dan Pdt. J. Tan Goan Tjong sebagai bendahara.
[5] Dengan catatan bahwa sejak tahun 1937, bantuan tersebut dikurangi 5% sehingga dalam jangka waktu 20 tahun bantuan tersebut sudah tidak diberikan lagi (Soejana 1975, 44).
[6] Ketua: Pdt. J. Aniroen, Sekretaris: Sdr. J. Elia, Bendahara: Sdr. Martinus Abednego, Anggota: Pdt. Kasdo Tjokrosiswondo.
[7] meskipun sempat muncul fitnah bahwa gereja dan kekristenan adalah milik Belanda. Oleh sebab itu, para pimpinan jemaat menjelaskannya kepada pemerintahan Jepang yang berkedudukan di Batavia dan mereka pun mengerti dan tidak mempermasalahkan kehidupan bergereja.
[8] Nama aslinya adalah Ngabdullah. Nama Tunggul Wulung dipakai setelah 7 tahun ia bersama istrinya madeg pandito (menjadi petapa) di Gunung Kelud. Tunggul Wulung secara harafiah berarti panji atau bendera biru-hitam yang mengacu pada cerita mistis Panji Jayakusuma, yaitu panji yang berupa sehelai kain berwarna biru-hitam atau ungu,yang melambangkan klaim atas kekuasaan mutlak dan ngelmu sejati (Aritonang 2010, 93). Setelah ia dibaptis oleh Jellesma, ia diberi nama Ibrahim (Van den End 2006, 207).
[9] Menurut legenda, setelah ia pulang bertapa dan “turun gunung” dari Gunung Kelud, ia menemukan salinan Dasa Titah di bawah tikar tempat tidurnya. Van Akkeren berkomentar bahwa Tunggul Wulung agaknya memandang titah-titah ini selaku tanda kedatangan kerajaan mesianis bagi mereka yang ingin keluar dari rumah perhambaan (Aritonang 2010, 93)
[10] Kemudian, di sanalah Radin Abas dibaptis oeh seorang pendeta Indische Kerk dan menerima nama baptis Sadrach yang mengacu pada kitab Daniel (Aritonang 2010, 97).
[11] Nota Probowinoto adalah suatu nota tentang efisiensi penggunaan tenaga dan harta benda untuk pekabaran Injil di Jawa Tengah, yang memberi arah dan ketegasan hubungan kerja sama dengan partner, khususnya di bidang ketenaggan. Dengan nota tersebut maka GKJ seluruhnya dipegang oleh tenaga-tenaga pribumi (Purnomo 1986, 32).

1 comment: