Monday, March 3, 2014

Gereja Kristen Pasundan

Sejarah Singkat Berdirinya Gereja Kristen Pasundan
            Pekabaran Injil di Tanah Pasundan bukanlah pekerjaan yang mudah bagi para zendeling. Kraemer mengungkapkan bahwa para zendeling kesulitan melakukan pekabaran Injil di Tanah Pasundan. Bahkan Kraemer mengatakan tanah Pasundan sebagai Nova Zembla Spiritual[1] (Kraemer 1958, 98). Beberapa hal yang menjadikan sulit bagi pekabaran Injil berkembang di tanah Pasundan ini adalah karena para zendeling memakai “cara mereka” dan tidak melihat bagaimana konteks masyarakat Sunda. Para zendeling tak tahu dan mengacuhkan terminologi Sunda dan tentang cara orang Sunda mengungkapkan/merumuskan problema-problema spriritual mereka. Namun, setelah mereka sadar akan hal itu, pekabaran Injil gencar dilakukan di tanah Pasundan.
            Pada awal abad ke-20 yakni sekitar tahun 1930, sudah ada keinginan dari sebagian anggota Gereja di Jawa Barat untuk berdiri sendiri dan tidak selalu berada dalam asuhan Zending. Pada tahun 1933, Prof. Dr. Hendrik Kraemer ditugaskan untuk memeriksa keadaan Jemaat-jemaat Pasundan. Selama hampir 4 bulan, ia mengunjungi Jemaat-jemaat Pasundan dan menarik sebuah kesimpulan bahwa Jemaat Pasundan harus dibiarkan mandiri bagaimanapun kondisinya, dan para zendeling bertugas mengawasi saja dari jauh. Sudah sekitar 70 tahun NZV mengasuh Jemaat Pasundan, namun mereka belum berani melepaskan jemaat ini[2]. Namun Kraemer tetap yakin bahwa Gereja Pasundan harus dilepas oleh NZV karena bagaimanapun gereja-gereja muda harus berdiri sendiri agar potensi untuk berkembang muncul dari gereja-gereja muda ini (Soejana 1974, 37-38). 
            Pada hari Rabu, 14 November 1934 bertempat di gedung gereja jemaat Bandung, dilakukan upacara peresmian Gereja Kristen Pasundan menjadi gereja yang berdiri sendiri. Upacara peresmian ini disaksikan oeh utusan-utusan dari semua jemaat-jemaat Pasundan, utusan-utusan Gereja-gereja lainnya yang ada di Bandung dan para pendeta NZV yang ada di Jawa Barat dan diresmikan oleh Dr. N.A.C. Slotemaker de Bruine, konsol zending yang bertindak selaku wakil pimpinan NZV (Soejana 1974, 44). Dengan demikian, tanggal 14 November 1934 dijadikan tanggal resmi berdirinya Sinode GKP yang bekerja dalam lingkup wilayah Jawa bagian Barat.
GKP: Sebuah Gereja Suku atau Teritorial?
            Menarik ketika banyak orang yang mengatakan GKP sebagai gereja suku Sunda, kemudian disanggah oleh beberapa pihak yang mengatakan bahwa GKP adalah gereja teritorial. Pertanyaan pun kadang muncul dari orang-orang yang baru mengenal GKP, apakah GKP itu gereja suku? Kalau bukan gereja suku, mengapa GKP menerbitkan buku Nyanyian Kidung Kabungahan yang berbahasa Sunda? Inilah kejadian riil yang saya alami selama menjadi anggota GKP. Saya bukan bersuku Sunda, namun saya adalah anggota jemaat GKP. Saya tidak bisa berbahasa Sunda, namun saya adalah anggota jemaat GKP yang turut menyanyikan lagu Kidung Kabungahan dalam ibadah.
            Menarik ketika pengalaman ini saya telusuri jejak sejarahnya. GKP yang wilayah pekabaran Injilnya berada  dalam aras wilayah Jawa bagian Barat menyatakan diri sebagai gereja teritorial. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa awal terbentuknya GKP karena panggilan pekabaran Injil kepada pribumi Sunda. Kraemer melaporkan bahwa Albers, Grashius, dan Van der Linden melakukan pekabaran Injil pertama kali ke tanah Pasundan setelah pemerintah Belanda didesak Esser dan King karena mereka merasa berhutang budi pada pribumi Sunda di Jawa Barat[3] (Kraemer 1958, 97). Pekabaran Injil yang dilakukan di tanah Pasundan juga melihat konteks orang Sunda, misalnya Anthing yang berusaha mengkontekstualisasi Kekristenan dengan budaya Sunda. Anthing dalam lingkup budaya Sunda mampu mempertahankan tradisi sunat dalam budaya Sunda sebagai suatu ikatan persaudaraan dalam masyarakat Sunda atau biasa disebut Tali Paranti. Selain itu, Anthing juga melakukan pekabaran Injil dengan memberikan mantra dan tembang menjadi alat untuk pewartaan iman Kristen kepada penduduk pribumi Sunda (Dalope 2012).
            Pada masa sekarang setelah GKP menjadi sebuah gereja yang mandiri pun, metode pekabaran Injil a la Anthing masih dipertahankan. Misalnya penggunaan Kidung Kabungahan dalam ibadah. Proses kontekstualisasi jaman Anthing masih digunakan pada masa sekarang. Jika ditinjau lagi, penggunaan Kidung Kabungahan dinilai tidak lagi efisien. Beberapa jemaat GKP di Jakarta yang sudah tidak tersentuh dengan kebudayaan Sunda lagi. Mereka justru kesulitan menyanyikan lagu berlanggem dan berbahasa Sunda. Lagi, anggota Jemaat GKP pun sudah banyak yang bukan orang Sunda atau orang yang berbudaya Sunda. Proses kontekstualisasi jaman Anthing yang masih diterapkan pada masa kini justru menjadikan GKP terlihat dualisme. GKP menyatakan diri sebagai gereja teritorial dan gereja berbudaya Sunda. Jadi tidak heran apabila ada orang-orang yang bertanya, apakah GKP merupakan gereja suku Sunda jika kontekstualisasi Anthing ini masih dipertahankan utuh tanpa ada proses kontekstualisasi masa sekarang.
GKP: Bertumbuh dan Berkembang di Tengah Masyarakat Jawa Barat[4]
            Sejak proses pekabaran Injil hingga terbentuk menjadi sebuah sinode gereja, GKP diperhadapkan dengan situasi dan kondisi masyarakat Jawa Barat. Mayoritas masyarakat Jawa Barat adalah etnis Sunda dan pemeluk agama Islam. Pertautan Islam dengan masyarakat Sunda berlangsung sejak abad ke-19. Jika orang berbicara mengenai masyarakat Sunda, maka salah satu cirinya adalah Islam (Ayatrohaedi 1996, 96). Tali temali antara Islam dan ke-Sunda-an telah melewati rentang waktu panjang. Kesadaran itu, kemudian dipertahankan dan dikukuhkan ulang dalam musyawarah masyarakat Sunda pada tahun 1967, yang menyatakan manunggalnya antara Sunda dan Islam (Ayatrohaedi 1996, 98). Islam dengan demikian telah berhasil melakukan integrasi sosial ke orang Sunda. Namun, jauh sebelum itu, pada masa pekabaran Injil di tanah Pasundan, orang Sunda telah menganut sistem bahwa meninggalkan Islam sama dengan meninggalkan kebudayaan mereka.
            Lalu, mengapa sampai orang Sunda memahami dan menganut sistem jika meninggalkan Islam sama dengan meninggalkan kebudayaan mereka? Alasannya ialah, Islam telah berhasil masuk ke stratifikasi sosial orang Sunda, dari lapisan terbawah sampai ke atas, baik masyarakat agraris maupun urban, sehingga Islam menguasai batin orang Sunda. Islam juga telah masuk jauh ke relung-relung institusional, antara lain di bidang hukum, arsitektur bangunan, dan kesusasteraan Sunda. Islam juga telah menjadi agama yang bersifat komunal, dan telah menyatu dengan sistem dan struktur sosial. Pada akhirnya, Islam telah sampai pada taraf proses akulturasi budaya yang efektif (Supriatno 2012).
            Selain masalah agama, orang Sunda juga dikenal dan dikategorikan orang yang memiliki kepribadian ramah, santun, tutur katanya halus, rendah hati, bersifat komunal, dan tidak ambisius. Orang Sunda juga memiliki kepribadian menghindari konflik, tidak ambisius, tidak menyukai friksi dan sangat mengutamakan kehidupan penuh kekeluargaan. Kepribadian orang Sunda yang seperti itu sangat dipengaruhi oleh kultus harmoni yang dihayati orang Sunda (Supriatno 2012).
            Selain kepribadian orang Sunda, tanah Sunda pun memiliki rekam jejak sebagai wilayah yang diminati menjadi tujuan untuk menetap dan menikah berbagai suku dan berbagai bangsa. Mereka dapat diterima untuk mengintegrasikan dirinya ke lingkungan masyarakat dan kultur orang Sunda. Bahkan beberapa orang diakui sebagai tokoh Sunda karena mereka dinilai telah menghayati dan mempergunakan nilai-nilai budaya Sunda, meski mereka bukanlah keturunan Sunda asli. Ini menandakan inklusifnya orang Sunda atas kehadiran para pendatang dan terbuka atas keragaman (Rosidi 1984, 11-13).
            Sejarah memang mencatat bahwa orang Sunda yang menerima kehadiran para zendeling memang menggambarkan inklusifitas mereka, namun tidak tampak dari orang Sunda keramah-tamahan dan keterbukaan mereka atas keragaman. Sebab ketika para zendeling mendirikan sekolah-sekolah Kristen yang diperuntukkan untuk umum, sedikit sekali anak-anak Sunda yang datang, Jika mereka datang dan kemudian memeluk agama Kristen karena pergaulannya dengan para misionaris, maka sekolah itu akan dijauhi seperti orang menghindari wabah (Kraemer 1958, 98). GKP yang memiliki latar belakang budaya Sunda, kini menunjukkan inklusifitas dan keterbukaannya terhadap keberagaman suku. GKP terbuka tidak hanya bagi suku Sunda saja. Dampak dari keterbukaan itu, kini GKP menjadi gereja yang pluralistik dalam suku. Inilah yang membuat GKP semakin kukuh dengan konsep gereja teritorial, yakni gereja yang melayani pekabaran Injil di tanah Jawa Bagian Barat / Pasundan, bukan gereja yang melayani suku Sunda / Pasundan.
Refleksi
            GKP sebagai gereja yang telah mandiri selama 79 tahun masih harus banyak belajar dari perjalanan panjang sejarah kemandirian mereka. GKP lahir dan berkembang di daerah yang disebut tanah Pasundan. Masyarakat Sunda yang terkenal inklusif dan ramah ternyata tak seperti yang dibayangkan. Mereka justru menutup diri dengan kekristenan pada awalnya. Namun, bukan merekalah yang salah. Mereka hanya mempertahankan tradisi mereka yang begitu erat dan sarat akan nilai kekeluargaan, sementara Kekristenan yang ditampilkan para zendeling pada awalnya sangat bersifat eksklusif dan tidak memperhatikan nilai budaya Sunda. Beruntungnya, para zending Belanda masih memiliki Mr. Anthing, orang yang mau belajar dan memahami kepribadian serta tradisi orang Sunda sehingga Kekristenan bisa masuk dalam komunitas mereka. Dari pekabaran Injil menurut Mr. Anthing inilah, GKP belajar sebuah kontekstualisasi teologi Kekristenan.
            Tak terbayangkan apabila tidak ada sosok Anthing, mungkin GKP tidak akan pernah ada di dalam sejarah gereja-gereja di Indonesia. Kontekstualisasi Anthing membuahkan hasil yang cukup gemilang. Namun, GKP masih belum sadar bahwa mereka berkembang bukan lagi di tanah Pasundan yang bersuku Sunda dan memahami budaya Sunda, yang dulu Anthing dan rekan-rekannya hadapi. GKP tidak mengembangkan kontekstualisasi yang dimulai oleh Anthing, tetapi hanya mengikuti saja. Sehingga, ketika merumuskan identitasnya, GKP terjebak pada dualisme yang saling bertentangan. Di satu sisi GKP ingin terbuka dan menerima seluruh suku dan budaya yang ada untuk masuk ke dalam komunitasnya (inklusif), tetapi di sisi lainnya GKP masih tetap mempertahankan pengembangan kebudayaan Sunda itu (ekslusif) di tengah banyaknya anggota jemaat yang tidak lagi mengenal kebudayaan Sunda. Agaknya GKP harus berkaca diri dan melihat apa yang harus dilakukan agar tidak terjebak pada dualisme identitas seperti yang terjadi saat ini. GKP harus berupaya mengembangkan teologi kontekstual Anthing sebab dunia Pasundan yang dikenal oleh Anthing dahulu kala, kini sudah bergeser jauh akibat perkembangan sosial politik.
Daftar Acuan
Ayatrohaedi. Bahasa Sunda di Daerah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Dalope, Leornard Bayu L. “Menggali Teologi Lokal: Sebuah Kisah dari Jemaat Anthing.”       Dalam Identitas GKP di Tengah Kepelbagaian, oleh Hariman Andrey         Pattianakotta, 41-47. Jakarta: Binalitbang GKP Tanah Tinggi, 2012.
Kraemer, Hendrik. From Missionfield to Independent Church. Boekencentrum – The Hague,            1958.
Rosidi, Ayip. Manusia Sunda. Jakarta: Idayu Press, 1984.
Soejana, Koernia Atje. Benih Yang Tumbuh II. Salatiga: Percetakan Universitas Kristen          “Satya Wacana”, 1974.
Supriatno. “Pergulatan Gereja Kristen Pasundan di Tengah Masyarakat Jawa Barat:             Sebuah Catatan Reflektif.” Dalam Identitas GKP di Tengah Kepelbagaian, oleh      Hariman Andrey Pattianakotta, 98-136. Jakarta: Binalitbang GKP Tanah Tinggi,      2012.



[1] Nova Zembla adalah padang pasir yang tandus. Maksud Kraemer adalah tanah Pasundan diumpamakan sebagai wilayah yang secara spiritual tandus dan kosong.
[2] Salah satu penyebabnya ialah mentalitas anggota jemaat yang masih suka dipimpin oleh para Zendeling Barat. Kraemer mengungkapkan bahwa bila guru-guru (Guru Injil-pemimpin pribumi) diizinkan untuk melayani sakramen, anggota jemaat tidak akan berkata, “Lihatlah, betapa nilai guru kita menjadi naik”, tetapi: “Lihatlah, betapa nilai sakramen menjadi turun. Kita tetap meminta seorang pendeta (Pendeta kulit putih)” (Soejana 1975, 37).
[3] Jawa Barat yang dimaksudkan bukanlah Provinsi Jawa Barat pada masa sekarang, tetapi Jawa bagian Barat yang mencakup Jakarta dan Banten.
[4] Jawa Barat yang dimaksudkan bukanlah provinsi Jawa Barat sekarang ini, tetapi wilayah pada saat pekabaran Injil dahulu. 

7 comments:

  1. http://www.tokobagus.com/iklan/alkitab-sutji-kuno-terbitan-amsterdam-tahun-1891-51252755.html

    ReplyDelete
  2. Syalom...

    Mencoba untuk berdiskusi bersama penulis, Saya kira tidak masalah "mempertahankan" budaya Sunda. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini anggota Jemaat GKP sudah banyak yang bukan suku Sunda. Tapi apakah bisa dibilang sudah tidak pas lagi untuk “Nyunda” (berbudaya Sunda). Saya mengenal beberapa Jemaat yang notabene bukan suku Sunda (Batak, Jawa bahkan ada yang dari Ambon) tetapi kemampuan berbahasa Sunda-nya jauh lebih baik daripada Saya yang keturunan Sunda-Jawa, yang lahir besar di tanah Sunda. Tidak cuma dalam hal bahasa, dalam bidang seni pun Jemaat-jemaat ini termasuk yang "Sunda banget".
    Saat ini di Jemaat Bandung (saya anggota Jemaat Bandung) kebaktian bahasa Sunda hanya ada 1x dalam satu bulan, jadi tidak selalu berkebaktian dengan bahasa Sunda bukan? Jika dibandingkan dengan era sampai tahun 2000-an awal, dimana kebaktian bahasa Sunda dilakukan tiap minggu (jadwal kebaktian ke-2) maka proporsinya sudah jauh berkurang bukan? Jika Penulis dalam kajiannya diatas menyebutkan bahwa Jemaat GKP sudah banyak yang diluar suku Sunda dan tidak mengerti budaya Sunda, bagaimana dengan Jemaat yang sehari-harinya "Sunda banget"? Termasuk nenek buyut saya yang jauh lebih fasih berbicara dengan bahasa Sunda daripada bahasa Indonesia?
    Dan juga jangan dilupakan, bahwasanya kegiatan PI juga saat ini masih dilakukan di daerah-daerah pelosok yang bisa dikatakan "Sunda banget".
    Dualisme? Saya rasa memang begitu. Menurut saya, GKP adalah Gereja teritorial yang terbeban, berkeinginan untuk melestarikan budaya Sunda. Bukankah itu sesuatu hal yang indah? Sambil memuji dan memuliakan Tuhan kita turut melestarikan budaya yang hampir hilang ditelan jaman.
    Menurut Saya dalam konteks budaya Sunda ini, masalahnya adalah bagaimana GKP bisa membuat budaya Sunda diterima untuk diaplikasikan dalam kegiatan ber-Gereja, membuat GKP menjadi lebih "modern" tanpa meninggalkan budaya Sunda itu sendiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Syalom bung..

      Terima kasih atas responsnya dan ini yg saya tunggu karena saya jg mau dengar pendapat warga jemaat GKP jg.. maaf baru sempat membalas komentar bung..

      Pada dasarnya saya tidak menolak budaya sunda masih tetap dipertahankan dlm tubuh GKP.. yg menjadi kekhawatiran saya ialah bagaimana dgn jemaat non-Sunda yg tdk mengerti bahasa dan kebudayaan Sunda? Terkhusus yg ada di wil. Jakarta.

      Saya setuju dgn pendapat anda bahwa GKP terbeban untuk melestarikan budaya Sunda. GKP beda dgn gereja teritorial yg lain yg ada di Indonesia, misalnya GPM (Gereja Protestan Maluku) atau gereja lainnya. GKP hadir di daerah Jawa bagian Barat. GKP hadir di 3 provinsi, Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.. maksud dan tujuan penulisan ini bukan semata2 menolak kebudayaan Sunda yg dilestarikan GKP, tetapi mari kita jg meperhatikan budaya lainnya yg ada di GKP. Memang akan terasa bila bung jg berjemaat di GKP yg ada di Jakarta. Ketika kidung kabungahan dilantunkan, berapa org yg bisa mengucapkan lafalnya dgn benar? Bahkan pernah di jemaat tempat saya berjemaat (GKP Tanah Tinggi), dalam suatu hari Minggu, ada lagu dari kidung kabungahan yg harus dinyanyikan, tetapi suasana hening, hanya 1-2 org saja yg bernyanyi dan berani belajar menyanyikannya.

      Sekali lagi, saya tidak bermaksud menolak itu semua. Saya sangat menghargai warisan budaya yang GKP miliki, yakni budaya Sunda. Dan keinginan terbesar sy adalah belajar budaya dan berbahasa Sunda, sebab sebagian besar GKP ada di tanah Sunda. Benar statemen bung yg mengatakan bahwa byk jemaat yg non-Sunda tetapi fasih berbahasa Sunda dan berbudaya Sunda. Sy jg menemuinya di jemaat Ciwidey. Yg sy maksudkan adalah, mari kita melihat budaya lain yg ada di GKP. Sunda mungkin sudah menjadi ciri khas GKP, tetapi jgn sampai itu menjadi beban bagi warga jemaat GKP yg tdk bs berbahasa Sunda dan tdk mengenal budaya Sunda.

      Terima kasih utk responsnya, jika ada komentar dan tulisan saya yg tdk berkenan mohon maaf dan mohon koreksi, sebab sy hanya manusia yg jg memiliki keterbatasn, termasuk Informasi.

      Salam

      Delete
  3. Menarik memang tulisan ini, tapi GKP memang bukan gereja suku melainkan gereja teritorial. Pada awalnya pun demikian, karena memang ketika berdiri sendiri terlepas dari NZV pada Sidang Rad Agengnya, ada banyak orang dari suku lain yang menjadi bagian dari kesepakatan bersinodal. Kenapa ada banyak orang Sunda? Ya, karena memang ada di Tanah Sunda, wajarlah jika memang kita lebih dekat dengan budaya Sunda.

    ini membuka peluang bukan hanya pada PI tapi juga dalam interaksi dengan masyarakat. Karakter orang Sunda adalah ramah dan luwes tapi juga kadang keukeuh, nyirian ( susah lupa sama yang jelek-jelek dari orang lain), pundung (gampang marah), dan mudah menyerah. Ini ditulis oleh Andreas Bintara dalam bukunya Sejarah Perjumpaan Kekristenan dengan Budaya Masyarakat ketika menyinggung komunitas Paguyuban Pasundan. Karena itu, orang Sunda yang kristen (termasuk saya yang eyang kakungnya orang Jogja tapi kakek nenek dari papa berasal dari Cikembar-Gunung Putri-Cirebon) harus terus belajar merefleksikan kekristenannya dalam kultur Sunda yang dipegang. Menjadi Sunda bukan berarti mesti meninggalkan iman. Beriman bukan berarti kehilangan loyalitas dan orisinalitas budaya. (khususnya yang bagus dan sesuai Alkitab).

    Jadi, apa GKP gereja suku? Ah...bukan tuh...ini gereja wilayah. Gereja yang isinya adalah orang-orang Kristen yang sadar betul di mana mereka tinggal dan berusaha menyadari bahwa Tanah Sunda itu, yang begitu, seperti yang tergambar dalam logo GKP

    ReplyDelete
  4. bagi saya GKP bukan gereja suku karena lebih ke teritorial yang ber-area di jawa bagian barat. Saya kebetulan dilahirkan dan dibesarkan di bandung dengan kultur sunda yang kental, walau sejauh ini gereja sendiri (GKP) belum secara kental mempengaruhi saya secara sunda. Namun tidak ada yang salah dengan teritorial ataupun suku bagi saya kedua nya punya sisi positif yang bisa kita sharingkan dengan orang sekitar kita. Yang terpenting sudahkah kita sebagai orang kristen menjalankan ajaran Kristus hingga orang disekitar kita bisa merasakan kasih yang sudah Tuhan berikan lebih dulu pada kita.

    Kita kadang sibuk memperdebatkan sesuatu yang kurang essensial. menurut saya ketika kita bahas GKP itu gereja suku atau gereja teritorial, sama seperti sedang membahas pendeta kalau mau khotbah naik ke mimbar dari kiri atau kanan? atau pendeta harus pakai pin salib di kiri atau dikanan? saya rasa bukan itu yang penting.

    terima kasih

    ReplyDelete
  5. https://www.youtube.com/watch?v=fal2VCS_wRc

    ReplyDelete
  6. https://www.youtube.com/watch?v=llIm61aJ7F4

    ReplyDelete