Monday, March 3, 2014

Ikutilah Hati Nurani!

Studi Kasus
Dodi adalah seorang mahasiswa yang terkenal pendiam, namun ia disegani oleh teman-temannya. Suatu ketika, ada Ujian Tengah Semester. Dodi duduk di barisan ketiga dari depan. Dia duduk di sebelah Johan yang terkenal tukang mencontek. Ketika ujian berlangsung, Dodi berpikir keras untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian tersebut. Sementara pengawas sedang berkeliling untuk mengawasi jalannya ujian, Johan mencontek melalui catatan yang sudah ia tuliskan di tangannya sebelum ujian berlangsung. Melihat hal tersebut, Dodi bingung, apakah harus melaporkan perbuatan Johan kepada pengawas atau dia membiarkannya saja. Dodi terus memperhatikan tingkah laku Johan tanpa melaporkannya kepada pengawas ujian. Hati Dodi bergejolak ketika itu juga. Rasanya mulut dia bergetar ingin berbicara, namun ia tak mau dianggap sebagai tukang mengadu. Lagipula kalau sampai Johan gagal, ia pasti merasa sangat bersalah. Akhirnya Dodi memutuskan untuk bungkam. Kata hatinya tak diikuti, ia lebih memilih memainkan logikanya. Selesai ujian, Dodi pun terus memikirkan perbuatannya tadi yang memilih diam dan tidak mengatakan yang sesungguhnya tentang perbuatan Johan. Ia merasa berdosa karena telah membiarkan kecurangan terjadi di dalam ujian. Apakah keputusan Dodi itu benar karena sudah membiarkan hati nuraninya dan lebih memilih pemikiran logisnya?
Hati Nurani
            Banyak sekali definisi yang ditawarkan mengenai hati nurani. Calvin berpendapat bahwa hati nurani adalah ‘suatu perantara’ diantara Allah dan manusia, karena Allah tidak membiarkan manusia memendam dalam dirinya apa yang diketahuinya, tetapi mengejarnya sampai membuat dia mengakui kesalahannya (Douma 2002, 99). Ini berarti bahwa hati nurani menjadi media perantara antara Allah dan manusia dalam mengambil keputusan dalam sebuah permasalahan. White dalam bukunya menuliskan pendapat Hallesby yang mengatakan bahwa hati nurani tidak dapat bertindak, melainkan hanya dapat menyampaikan penilaian. Hati nurani hanya membandingkan perbuatan kita atau kata-kata kita atau seluruh keberadaan kita dengan hukum moral dan kehendak Allah (White 1987, 16). Dengan demikian, hati nurani memiliki sifat yang pasif, namun sangat berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan di dalam kehidupan manusia.
            Dalam upaya menjelaskan hati nurani, Bertens membedakan hati nurani menjadi dua bentuk, yakni hati nurani retrospektif dan prospektif. Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang sudah lewat. Ia menyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan baik atau tidak baik. Jadi, hati nurani menjadi semacam instansi kehakiman dalam batin tentang perbuatan yang telah berlangsung (Bertens 1993, 54). Sementara itu, hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu, misalnya mengatakan “jangan” atau melarang untuk melakukan sesuatu. Dalam hati nurani prospektif ini sebenarnya terkandung semacam ramalan. Ia menyatakan, hati nurani pasti akan menghukum kita andaikata kita melakukan perbuatan itu. Dalam arti ini, hati nurani prospektif menunjuk kepada hati nurani retrospektif yang akan datang, jika perbuatan ini menjadi kenyataan.
            Berbeda dengan Bertens dalam menjelaskan hati nurani, White mengutip pemikiran Hallesby dalam bukunya yang menjelaskan hati nurani dengan membaginya ke dalam empat cara penilaian hati nurani. Pertama, hati nurani tidak mempertimbangkan kembali bukti, tetapi hanya membuat penilaian terakhir. Hati nurani tidak memihak, sebab ia menerima informasi yang diberikan kepadanya dan menyatakan penilaiannya. Kedua, hati nurani tidak dapat dibantah, mutlak, dan tidak dapat dibawa naik banding. Ketiga, hati nurani bersifat pasti, sebab hati nurani memberikan penilaian tanpa mengungkapkan alasan-alasannya. Keempat, hati nurani bersifat individu. Hati nurani seseorang tidak akan menilai dia dengan cara yang persis sama dengan hati nurani orang lain yang menilai orang itu juga (White 1987, 17).   
            Cara kerja hati nurani dalam diri manusia adalah sebelum suatu tindakan yang direncanakan dimulai, hati nurani mencoba berkomunikasi kepada manusia, tentang apakah tindakan tersebut benar atau salah. Pada tingkat ini, pertempuran berada di pikiran manusia. Hati nurani bergulat dalam keadaan yang agak kacau-balau dengan macam-macam usul, alasan, desakan hati, dan motivasi. Seberapa kuat ia berbicara sangat dipengaruhi oleh informasi yang telah dimasukkan ke dalam pikiran manusia dan oleh hal-hal tentang mana manusia telah berpikir paling banyak  pada waktu itu. Ketika suatu tindakan sedang dilakukan, hati nurani biasanya ada pada tingkat pengaruhnya yang paling lemah. Manusia menjadi begitu terlibat dalam apa yang sedang dikerjakannya, sehingga tidak lagi peka mendengar jeritan hati nurani. Mungkin saja yang jeritan itu terdengar, namun seringkali manusia tetap maju dengan cepat dalam melakukan tindakan sambil membuat usaha lemah tertentu dalam pikiran untuk membenarkan tindakan. Setelah tindakan itu selesai dilakukan, maka hati nurani sangat jelas terdengar. Hati nurani mendesak untuk membuat restitusi atas kerugian yang disebabkan oleh tindakan tersebut (White 1987, 21).
Peranan Hati Nurani dalam Mengambil Tindakan
            Dalam kehidupan moral manusia, hati nurani memiliki kedudukan kuat di dalamnya. Bahkan bisa dikatakan bahwa secara subyektif, hati nurani adalah norma terakhir untuk perbuatan-perbuatan kita. Namun demikian, belum tentu perbuatan yang dilakukan atas desakan hati nurani adalah baik juga secara obyektif. Hati nurani bisa keliru. Bisa saja hati nurani menyatakan sesuatu adalah baik, bahkan wajib dilakukan, padahal seara obyektif perbuatan itu buruk. Misalnya saja pembunuhan dan penganiayaan dilakukan oleh orang fanatik atau teroris yang menganggap dirinya diwajibkan oleh suara hati. Padahal, semua orang dengan pemikiran yang sehat akan menolak hal-hal tersebut. Hati nurani memang dapat membimbing kita dan dapat menjadi patokan untuk perilaku kita, tetapi apa yang sebenarnya diungkapkan oleh hati nurani bukan baik buruknya perbuatan itu sendiri, melainkan bersalah atau tidaknya si pelaku. Bila suatu perbuatan secara obyektif baik, tetapi suara hati menyatakan bahwa perbuatan itu buruk, maka dengan melakukan perbuatan itu secara moral orang tersebut bersalah (Bertens 1993, 62).
            Pada contoh kasus diatas, sebelum dodi mengambil suatu tindakan untuk melaporkan perbuatan Johan, hati nuraninya mencoba berkomunikasi kepada dirinya, tentang apakah tindakan tersebut benar atau salah. Pada titik ini, hati nurani Dodi bergulat dalam keadaan yang kacau-balau dengan macam-macam usul, alasan, dan desakan hati. Ketika melihat perbuatan Johan, bibir Dodi rasanya bergetar seolah ingin memberitahukan perbuatan Johan kepada pengawas ujian, tetapi Dodi lebih memilih untuk bungkam. Ketika pilihan itu dipilih Dodi, maka pada saat itu pula hati nurani Dodi mulai melemah. Jeritan hati nurani Dodi mungkin dengan lantang menjerit, namun jeritan pemikiran logis Dodi mengenai sebab-akibat yang akan terjadi bila dia melaporkan perilaku Johan lebih jelas terdengar oleh Dodi.
            Setelah pilihan yang diambil Dodi berlawanan dengan hati nuraninya, maka yang terjadi selanjutnya adalah Dodi merasa bersalah dan berdosa karena telah membiarkan kecurangan terjadi. Inilah yang dinamakan sebagai hati nurani retrospektif. Hati nurani ini seakan-akan menoleh mengingatkan Dodi akan kejadian pencontekan yang dilakukan Johan ketika ujian tadi. Hati nurani retrospektif Dodi menilai perbuatan-perbuatan Dodi yang telah membiarkan Johan mencontek saat ujian. Hati nurani Dodi menyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan Dodi itu tidak baik, sehingga muncul kegelisahan dalam hati Dodi.
            Lalu kemudian, apakah yang dilakukan Dodi itu sepenuhnya salah? Ataukah yang dilakukan Dodi memiliki kebenarannya tersendiri? Secara moral, jelas keputusan yang diambil Dodi untuk bungkam dengan kejadian pencontekan yang dilakukan oleh Johan adalah salah. Dodi tidak menuruti hati nuraninya yang menyatakan harus melaporkan kejadian itu kepada pengawas. Namun, ada alasan logis yang ditawarkan oleh Dodi. Jika dia memberitahu pengawas mengenai kejadian pencontekan yang dilakukan oleh Johan, maka dia akan mendapat label baru sebagai tukang mengadu, dan Johan akan mengalami kegagalan ujian. Alasan-alasan ini hanya dipakai untuk memperkuat argumen Dodi agar tidak dipersalahkan karena membiarkan kecurangan terjadi. Namun, alasan-alasan itu menjadi bukti bahwa memang pikiran logis manusia dapat menjatuhkan atau merendahkan kedudukan hati nurani yang tinggi dalam kehidupan manusia. Secara tidak langsung, pikiran logis Dodi membuat hati nuraninya tidak berfungsi untuk berkata jujur ditengah ketidakjujuran yang terjadi.
            Dodi bisa dikatakan bersalah secara moral dan etis. Perbuatan Dodi tidak dapat dibenarkan. Dodi menyampaikan apa yang tidak dikatakan oleh hati nurani. Secara etis, keputusan Dodi merugikan semua orang, termasuk Johan karena dengan tanpa sadar terjadi pembodohan secara tidak langsung yang dilakukan Dodi karena membiarkan Johan mencontek; juga merugikan teman-teman mereka yang lainnya karena mereka sudah susah payah belajar namun Johan dapat mencontek dan itu merupakan suatu ketidakadilan bagi mereka. Namun, secara etis keputusan Dodi juga bisa dikatakan benar secara subjektif (dalam hal ini Johan) karena jika dia memberitahu perbuataan Johan, maka Johan akan digagalkan dalam ujian tersebut.
            Jadi, dapatkah kita menghakimi sebuah perbuatan itu salah atau benar? Baik atau tidak? Sekali-kali tidak. Namun yang perlu diingat adalah ikuti hati nurani kita dalam bertindak, sebab hati nurani sesungguhnya berasal dari Allah. Memang tidak mudah untuk mengikuti hati nurani, membutuhkan keberanian dan kekuatan. Ikutilah hati nurani kita dengan memakai sedikit saja pertimbangan logis dari pemikiran kita, sebab jika terlalu banyak mempertimbangkan logika pemikiran kita maka hati nurani semakin tak terdengar. Mari dengarkan hati nurani.
Daftar Acuan
Bertens, Kees. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Douma, J. Kelakuan Yang Bertanggung jawab: Pembimbing ke dalam Etika Kristen.     Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

White, Jerry. Kejujuran, Moral, dan Hati Nurani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.

No comments:

Post a Comment