Studi Kasus
Dodi adalah seorang mahasiswa yang terkenal
pendiam, namun ia disegani oleh teman-temannya. Suatu ketika, ada Ujian Tengah
Semester. Dodi duduk di barisan ketiga dari depan. Dia duduk di sebelah Johan
yang terkenal tukang mencontek. Ketika ujian berlangsung, Dodi berpikir keras
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian tersebut. Sementara pengawas sedang
berkeliling untuk mengawasi jalannya ujian, Johan mencontek melalui catatan
yang sudah ia tuliskan di tangannya sebelum ujian berlangsung. Melihat hal
tersebut, Dodi bingung, apakah harus melaporkan perbuatan Johan kepada pengawas
atau dia membiarkannya saja. Dodi terus memperhatikan tingkah laku Johan tanpa
melaporkannya kepada pengawas ujian. Hati Dodi bergejolak ketika itu juga.
Rasanya mulut dia bergetar ingin berbicara, namun ia tak mau dianggap sebagai
tukang mengadu. Lagipula kalau sampai Johan gagal, ia pasti merasa sangat
bersalah. Akhirnya Dodi memutuskan untuk bungkam. Kata hatinya tak diikuti, ia
lebih memilih memainkan logikanya. Selesai ujian, Dodi pun terus memikirkan
perbuatannya tadi yang memilih diam dan tidak mengatakan yang sesungguhnya
tentang perbuatan Johan. Ia merasa berdosa karena telah membiarkan kecurangan
terjadi di dalam ujian. Apakah keputusan Dodi itu benar karena sudah membiarkan
hati nuraninya dan lebih memilih pemikiran logisnya?
Hati Nurani
Banyak sekali definisi yang
ditawarkan mengenai hati nurani. Calvin berpendapat bahwa hati nurani adalah
‘suatu perantara’ diantara Allah dan manusia, karena Allah tidak membiarkan
manusia memendam dalam dirinya apa yang diketahuinya, tetapi mengejarnya sampai
membuat dia mengakui kesalahannya (Douma 2002, 99). Ini berarti bahwa hati
nurani menjadi media perantara antara Allah dan manusia dalam mengambil
keputusan dalam sebuah permasalahan. White dalam bukunya menuliskan pendapat
Hallesby yang mengatakan bahwa hati nurani tidak dapat bertindak, melainkan
hanya dapat menyampaikan penilaian. Hati nurani hanya membandingkan perbuatan
kita atau kata-kata kita atau seluruh keberadaan kita dengan hukum moral dan
kehendak Allah (White 1987, 16). Dengan demikian, hati nurani memiliki sifat
yang pasif, namun sangat berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan di
dalam kehidupan manusia.
Dalam
upaya menjelaskan hati nurani, Bertens membedakan hati nurani menjadi dua
bentuk, yakni hati nurani retrospektif dan prospektif. Hati nurani retrospektif
memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa
lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang dan menilai
perbuatan-perbuatan yang sudah lewat. Ia menyatakan bahwa perbuatan yang telah
dilakukan baik atau tidak baik. Jadi, hati nurani menjadi semacam instansi
kehakiman dalam batin tentang perbuatan yang telah berlangsung (Bertens 1993,
54). Sementara itu, hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai
perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak
kita untuk melakukan sesuatu, misalnya mengatakan “jangan” atau melarang untuk
melakukan sesuatu. Dalam hati nurani prospektif ini sebenarnya terkandung
semacam ramalan. Ia menyatakan, hati nurani pasti akan menghukum kita andaikata
kita melakukan perbuatan itu. Dalam arti ini, hati nurani prospektif menunjuk
kepada hati nurani retrospektif yang akan datang, jika perbuatan ini menjadi
kenyataan.
Berbeda
dengan Bertens dalam menjelaskan hati nurani, White mengutip pemikiran Hallesby
dalam bukunya yang menjelaskan hati nurani dengan membaginya ke dalam empat
cara penilaian hati nurani. Pertama, hati nurani tidak mempertimbangkan kembali
bukti, tetapi hanya membuat penilaian terakhir. Hati nurani tidak memihak,
sebab ia menerima informasi yang diberikan kepadanya dan menyatakan
penilaiannya. Kedua, hati nurani tidak dapat dibantah, mutlak, dan tidak dapat
dibawa naik banding. Ketiga, hati nurani bersifat pasti, sebab hati nurani
memberikan penilaian tanpa mengungkapkan alasan-alasannya. Keempat, hati nurani
bersifat individu. Hati nurani seseorang tidak akan menilai dia dengan cara
yang persis sama dengan hati nurani orang lain yang menilai orang itu juga
(White 1987, 17).
Cara
kerja hati nurani dalam diri manusia adalah sebelum suatu tindakan yang
direncanakan dimulai, hati nurani mencoba berkomunikasi kepada manusia, tentang
apakah tindakan tersebut benar atau salah. Pada tingkat ini, pertempuran berada
di pikiran manusia. Hati nurani bergulat dalam keadaan yang agak kacau-balau
dengan macam-macam usul, alasan, desakan hati, dan motivasi. Seberapa kuat ia
berbicara sangat dipengaruhi oleh informasi yang telah dimasukkan ke dalam
pikiran manusia dan oleh hal-hal tentang mana manusia telah berpikir paling
banyak pada waktu itu. Ketika suatu
tindakan sedang dilakukan, hati nurani biasanya ada pada tingkat pengaruhnya
yang paling lemah. Manusia menjadi begitu terlibat dalam apa yang sedang
dikerjakannya, sehingga tidak lagi peka mendengar jeritan hati nurani. Mungkin
saja yang jeritan itu terdengar, namun seringkali manusia tetap maju dengan
cepat dalam melakukan tindakan sambil membuat usaha lemah tertentu dalam
pikiran untuk membenarkan tindakan. Setelah tindakan itu selesai dilakukan,
maka hati nurani sangat jelas terdengar. Hati nurani mendesak untuk membuat
restitusi atas kerugian yang disebabkan oleh tindakan tersebut (White 1987,
21).
Peranan Hati
Nurani dalam Mengambil Tindakan
Dalam
kehidupan moral manusia, hati nurani memiliki kedudukan kuat di dalamnya.
Bahkan bisa dikatakan bahwa secara subyektif, hati nurani adalah norma terakhir
untuk perbuatan-perbuatan kita. Namun demikian, belum tentu perbuatan yang
dilakukan atas desakan hati nurani adalah baik juga secara obyektif. Hati
nurani bisa keliru. Bisa saja hati nurani menyatakan sesuatu adalah baik,
bahkan wajib dilakukan, padahal seara obyektif perbuatan itu buruk. Misalnya
saja pembunuhan dan penganiayaan dilakukan oleh orang fanatik atau teroris yang
menganggap dirinya diwajibkan oleh suara hati. Padahal, semua orang dengan
pemikiran yang sehat akan menolak hal-hal tersebut. Hati nurani memang dapat
membimbing kita dan dapat menjadi patokan untuk perilaku kita, tetapi apa yang
sebenarnya diungkapkan oleh hati nurani bukan baik buruknya perbuatan itu
sendiri, melainkan bersalah atau tidaknya si pelaku. Bila suatu perbuatan
secara obyektif baik, tetapi suara hati menyatakan bahwa perbuatan itu buruk,
maka dengan melakukan perbuatan itu secara moral orang tersebut bersalah
(Bertens 1993, 62).
Pada
contoh kasus diatas, sebelum dodi mengambil suatu tindakan untuk melaporkan
perbuatan Johan, hati nuraninya mencoba berkomunikasi kepada dirinya, tentang
apakah tindakan tersebut benar atau salah. Pada titik ini, hati nurani Dodi
bergulat dalam keadaan yang kacau-balau dengan macam-macam usul, alasan, dan
desakan hati. Ketika melihat perbuatan Johan, bibir Dodi rasanya bergetar
seolah ingin memberitahukan perbuatan Johan kepada pengawas ujian, tetapi Dodi
lebih memilih untuk bungkam. Ketika pilihan itu dipilih Dodi, maka pada saat
itu pula hati nurani Dodi mulai melemah. Jeritan hati nurani Dodi mungkin
dengan lantang menjerit, namun jeritan pemikiran logis Dodi mengenai
sebab-akibat yang akan terjadi bila dia melaporkan perilaku Johan lebih jelas
terdengar oleh Dodi.
Setelah
pilihan yang diambil Dodi berlawanan dengan hati nuraninya, maka yang terjadi
selanjutnya adalah Dodi merasa bersalah dan berdosa karena telah membiarkan
kecurangan terjadi. Inilah yang dinamakan sebagai hati nurani retrospektif.
Hati nurani ini seakan-akan menoleh mengingatkan Dodi akan kejadian pencontekan
yang dilakukan Johan ketika ujian tadi. Hati nurani retrospektif Dodi menilai
perbuatan-perbuatan Dodi yang telah membiarkan Johan mencontek saat ujian. Hati
nurani Dodi menyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan Dodi itu tidak
baik, sehingga muncul kegelisahan dalam hati Dodi.
Lalu
kemudian, apakah yang dilakukan Dodi itu sepenuhnya salah? Ataukah yang dilakukan
Dodi memiliki kebenarannya tersendiri? Secara moral, jelas keputusan yang
diambil Dodi untuk bungkam dengan kejadian pencontekan yang dilakukan oleh
Johan adalah salah. Dodi tidak menuruti hati nuraninya yang menyatakan harus
melaporkan kejadian itu kepada pengawas. Namun, ada alasan logis yang
ditawarkan oleh Dodi. Jika dia memberitahu pengawas mengenai kejadian
pencontekan yang dilakukan oleh Johan, maka dia akan mendapat label baru
sebagai tukang mengadu, dan Johan akan mengalami kegagalan ujian. Alasan-alasan
ini hanya dipakai untuk memperkuat argumen Dodi agar tidak dipersalahkan karena
membiarkan kecurangan terjadi. Namun, alasan-alasan itu menjadi bukti bahwa
memang pikiran logis manusia dapat menjatuhkan atau merendahkan kedudukan hati
nurani yang tinggi dalam kehidupan manusia. Secara tidak langsung, pikiran
logis Dodi membuat hati nuraninya tidak berfungsi untuk berkata jujur ditengah
ketidakjujuran yang terjadi.
Dodi
bisa dikatakan bersalah secara moral dan etis. Perbuatan Dodi tidak dapat
dibenarkan. Dodi menyampaikan apa yang tidak dikatakan oleh hati nurani. Secara
etis, keputusan Dodi merugikan semua orang, termasuk Johan karena dengan tanpa
sadar terjadi pembodohan secara tidak langsung yang dilakukan Dodi karena
membiarkan Johan mencontek; juga merugikan teman-teman mereka yang lainnya
karena mereka sudah susah payah belajar namun Johan dapat mencontek dan itu
merupakan suatu ketidakadilan bagi mereka. Namun, secara etis keputusan Dodi
juga bisa dikatakan benar secara subjektif (dalam hal ini Johan) karena jika
dia memberitahu perbuataan Johan, maka Johan akan digagalkan dalam ujian
tersebut.
Jadi,
dapatkah kita menghakimi sebuah perbuatan itu salah atau benar? Baik atau
tidak? Sekali-kali tidak. Namun yang perlu diingat adalah ikuti hati nurani
kita dalam bertindak, sebab hati nurani sesungguhnya berasal dari Allah. Memang
tidak mudah untuk mengikuti hati nurani, membutuhkan keberanian dan kekuatan.
Ikutilah hati nurani kita dengan memakai sedikit saja pertimbangan logis dari
pemikiran kita, sebab jika terlalu banyak mempertimbangkan logika pemikiran
kita maka hati nurani semakin tak terdengar. Mari dengarkan hati nurani.
Daftar Acuan
Bertens, Kees. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Douma, J. Kelakuan
Yang Bertanggung jawab: Pembimbing ke dalam Etika Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.
White, Jerry. Kejujuran, Moral, dan Hati Nurani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.
No comments:
Post a Comment