Monday, March 3, 2014

Etika Perjanjian Lama

Pengantar
              Etika Perjanjian Lama sangat erat kaitannya dengan intervensi Allah terhadap kehidupan bangsa Israel. Allah menunjukkan perbuatan-perbuatan yang besar bagi bangsa Israel. Etika Perjanjian Lama merupakan salah satu titik-tolak Etika Kristen, sebab dalam Etika Perjanjian Lama terdapat penyataan kehendak Allah kepada Musa dan kepada Para Nabi. Perjanjian Lama terdiri dari Taurat, Nabi-nabi, dan kitab-kitab, yang bukan hanya diterima oleh orang Yahudi sebagai Firman Allah, tetapi juga diterima oleh orang-orang Kristen (Jongeneel 1980, 29). Etika Perjanjian Lama memiliki hubungan yang erat dengan hukum Taurat yang tertulis dalam kitab Taurat dan penjelasan para nabi mengenai hukum Taurat.
Hukum Taurat
              Hukum Taurat merupakan suatu yang berisikan rangkaian sederhana mengenai ketentuan-ketentuan hubungan perjanjian dan juga tingkah laku manusia sebagai umat Allah. Hukum Taurat dijadikan sebagai suatu bentuk yang menentukan etos dan memberi pembatasan terhadap perilaku umat Allah. Peranan Hukum Taurat sangat kuat di tengah-tengah umat Allah karena tidak hanya menentukan tindakan kehidupan tetapi juga peribadatan bangsa Israel. Hukum Taurat yang telah diberikan Allah melalui Musa bukan hanya sekadar untuk menanggapi perbuatan Allah, tetapi juga untuk memperlihatkan sifat Allah melalui perilaku manusia. Hukum Taurat menuntut manusia untuk hidup sesuai kehendak Allah dan juga memperhatikan kehidupan sosial dan individu manusia (Jongenel 1980, 81).
              Hukum Taurat dapat dikatakan sebagai bentuk respon umat atas tindakan Allah di dalam sejarah kehidupan mereka. Allah telah menunjukkan perbuatan-perbuatanya kepada umatnya melalui perjanjian kepada bapa leluhur, pembebasan dan sebagainya. Allah ingin umatnya juga menunjukkan suatu tindakan yang menunjukkan adanya suatu respon umat atas perbuatan Allah tersebut. Allah yang telah bertindak ke dalam kehidupan manusia menginginkan manusia hidup dalam kedaulatannya, melalui apa yang telah Allah berikan (Wright 1995, 153). Kehendak Allah-lah yang menjadi dasar utama dalam kehidupan manusia. Kehendak Allah bukan hanya sekadar mengabdikan diri kepada Allah, namun pengabdian kepada sesama manusia. Pengabdian tersebut ditunjukkan melalui perlakuan kita terhadap sesama manusia. Dalam melalukan kehendak Allah tersebut manusia membutuhkan batasan untuk mengetahui sejauh mana tindakan mereka yang sesuai dengan kehendak Allah (Fletcher 2007, 147).
              Di dalam Hukum Taurat kita dapat melihat bahwa Allah memberikan kesepuluh hukum Allah kepada bangsa Israel. Kesepuluh hukum tersebutlah yang dijadikan sebagai sebuah patokan tindakan umat. Kesepuluh hukum itu mengatur dan mengarahkan perilaku umat yang tetap berfokus pada kehendak Allah. Aturan yang diberikan tersebut sebenarnya bukan hanya semata-mata bentuk pengabdian kepada Allah, tetapi berupa pemberian “kebebasan” umat. Kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana memperlakukan sesama manusia. Hal ini juga ingin menunjukkan adanya tanggung jawab sosial, sehingga tidak boleh melakukan sesama dengan semena-mena (Kieser 1987, 182).
              Hukum Taurat sebenarnya merupakan sebagai karunia, karena hukum taurat membantu umat untuk mengetahui bagaimana cara mengasihi Allah dan juga sesama manusia. Jika hukum tersebut dipatuhi maka tercapailah kehidupan yangs sesuai dengan kehendak Allah. Namun, jika Hukum Taurat tidak dijalankan maka akan ada tuduhan/hukuman yang diberikan (Fletcher 2007, 164).
Pengajaran Nabi-nabi dan Kaitannya dengan Hukum Taurat
              Israel berbeda dari bangsa-bangsa di sekitarnya bukan hanya karena mereka percaya kepada TUHAN, tetapi juga karena mereka mempunyai utusan-utusan Allah yaitu para nabi, di tengah-tengah mereka. Nabi-nabi bertindak atas nama Tuhan. Para nabi melawan penindasan orang-orang miskin yang dilakukan oleh orang-orang kaya dan mengemukakan keberatan-keberatan azasi terhadap pembagian harta benda yang tidak seimbang (Jongeneel 1980, 81).
              Para nabi berpolemik dengan etika agama suku dari dunia sekitar Israel, dan berseru kepada seluruh bangsa Israel untuk tinggal tetap dan setia kepada YHWH dan hukum-Nya; menyampaikan kepada Israel kabar baik tentang menyingsingnya fajar hari baru dalam sejarah manusia, yaitu bahwa pada waktu yang ditentukan Tuhan, semua suku dan bangsa sedunia akan berkumpul di Yerusalem dan akan berdiri dan berbaris di sana dalam kebenaran dan damai sejahtera (Jongeneel 1980, 81)
              Nabi-nabi Israel (sesudah Musa) bertitik-tolak dari hukum Taurat. Kecaman-kecaman mereka (yang berbentuk nubuat) terhadap sikap hidup bangsa mereka, mereka dasarkan pada hukum Taurat. Tanpa ada hukum Taurat sebagai norma, mereka tidak punya hak dan panggilan untuk mengecam. Nabi-nabi Israel juga bertitik-tolak dari perjanjian anugerah yang menjadi dasar Hukum Taurat. Oleh sebab itu, melanggar Hukum Taurat tidak dipandangnya hanya sebagai pelanggaran sebuah hukum semata-mata, tetapi sebagai berubah setia atau murtad, tidak setia kepada Allah yang hidup (Verkuyl 1997, 117). Namun, di dalam tulisan-tulisan para nabi itu semakin mendalam keinsafan bahwa di dalam jalan Hukum Taurat tidak terdapat kebahagiaan. Hukum Taurat membuka tabir yang menyelubungi perlawanan kodrat manusia terhadap Hukum Taurat. Kebahagiaan hanya dapat diharapkan apabila Tuhan menjadikan kebahagiaan itu (Verkuyl 1997, 118).
Ciri-ciri Etika Perjanjian Lama
              Etika Perjanjian lama sangat memperlihatkan adanya suatu interaksi timbal-balik, Allah memberi suatu tindakan kepada manusia dan ditindak lanjuti dengan respon umat terhadap Allah. Allah bertindak kepada manusia dan ia menuntut manusia untuk hidup di dalam kedaulatanya, yaitu sesuai dengan kehendak Allah yang tertulis dalam kesepuluh hukum (hukum taurat). Etika Perjanjian Lama sangat menekankan Hukum Taurat yang diberikan Allah kepada bangsa Israel melalui Musa sebagai the ways of life bagi bangsa Israel. Di kemudian hari para Nabi yang adalah utusan Allah selalu bertolak pada Hukum Taurat ketika hendak bernubuat. Hukum Taurat tersebut yang dijadikan sebagai patokan utama untuk melihat apakah kehidupan umat masih dalam koridor Allah atau tidak.
              Hukum Taurat adalah bentuk kedaulatan Allah yang telah membebaskan sehingga harus menaati Hukum Taurat. Etika dalam Perjanjian Lama menitikberatkan hubungan yang bukan hanya diperuntukan bagi kemuliaan Allah saja, tetapi juga untuk keberlangsungan kehidupan sosial dengan sesama. Hubungan Horizontal dan vertikal tersebut sangatlah ditekankan untuk memperoleh suatu keseimbangan.
Kesimpulan dan Refleksi
              Hukum Taurat diberikan Allah kepada bangsa Israel sebagai tuntunan hidup mereka karena mereka baru saja terbebas dari perbudakan. Hukum Taurat memiliki fungsi memberikan keseimbangan pola hidup manusia baik kepada Allah dan juga sesama. Hukum Taurat menjadi ciri yang khusus bagi Bangsa Israel yang hidup diantara bangsa-bangsa yang menyembah dewa-dewa berhala. Kita dapat melihat bahwa sebenarnya apa yang telah Allah berikan ingin menekankan suatu keseimbangan manusia. Bangsa Israel yang baru saja memeperoleh pembebasan dari Allah diminta untuk merespon kasih Tuhan tersebut.
              Namun, Hukum Taurat sering kali dijadikan sebagai topeng bagi mereka yang fasik. Mereka melakukan Hukum Taurat hanya untuk sekadar memperoleh pandangan yang baik dari orang lain. Itulah sebabnya nabi-nabi yang merupakan utusan Allah berusaha membuka topeng mereka dan membangun kembali wibawa Hukum Taurat tersebut.
              Jadi, beribadah dan menjalankan hukum atau perintah Allah harus didasari pada ketulusan dan kesadaran kita untuk berbakti kepada Allah dan menjalankan segala perintah-Nya untuk kebaikan kita. Allah menetapkan peraturan bukan untuk mempersulit kehidupan manusia dan bukan juga untuk menjadikan hukum itu sebagai topeng, tetapi peraturan atau hukum ditetapkan Allah sebagai pedoman hidup manusia.
Daftar Acuan
Fletcher, Verne H. 2007. Lihatlah Sang Manusia! Suatu Pendekatan pada Etika Kristen Dasar. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Jongeneel, J.A.B. 1980. Hukum Kemerdekaan: Buku Pegangan Etik Kristen Jilid Satu. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Verkuyl, J. 1997. Etika Kristen I: Bagian Umum. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Wright. Christopher. 1995. Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kieser. Bernhard. 1987. Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan. Jakarta: BPK Gunung Mulia


1 comment:

  1. Boleh saya share... Ini menambah pengetahuan ttg agama

    ReplyDelete