Pengantar
Etika Perjanjian Lama sangat erat kaitannya
dengan intervensi Allah terhadap kehidupan bangsa Israel. Allah menunjukkan
perbuatan-perbuatan yang besar bagi bangsa Israel. Etika Perjanjian Lama
merupakan salah satu titik-tolak Etika Kristen, sebab dalam Etika Perjanjian
Lama terdapat penyataan kehendak Allah kepada Musa dan kepada Para Nabi.
Perjanjian Lama terdiri dari Taurat, Nabi-nabi, dan kitab-kitab, yang bukan
hanya diterima oleh orang Yahudi sebagai Firman Allah, tetapi juga diterima
oleh orang-orang Kristen (Jongeneel 1980, 29). Etika Perjanjian Lama memiliki
hubungan yang erat dengan hukum Taurat yang tertulis dalam kitab Taurat dan
penjelasan para nabi mengenai hukum Taurat.
Hukum Taurat
Hukum Taurat merupakan suatu yang berisikan rangkaian
sederhana mengenai ketentuan-ketentuan hubungan perjanjian dan juga tingkah
laku manusia sebagai umat Allah. Hukum Taurat dijadikan sebagai suatu bentuk
yang menentukan etos dan memberi pembatasan terhadap perilaku umat Allah.
Peranan Hukum Taurat sangat kuat di tengah-tengah umat Allah karena tidak hanya
menentukan tindakan kehidupan tetapi juga peribadatan bangsa Israel. Hukum
Taurat yang telah diberikan Allah melalui Musa bukan hanya sekadar untuk
menanggapi perbuatan Allah, tetapi juga untuk memperlihatkan sifat Allah
melalui perilaku manusia. Hukum Taurat menuntut manusia untuk hidup sesuai
kehendak Allah dan juga memperhatikan kehidupan sosial dan individu manusia
(Jongenel 1980, 81).
Hukum Taurat dapat dikatakan sebagai bentuk respon umat
atas tindakan Allah di dalam sejarah kehidupan mereka. Allah telah menunjukkan
perbuatan-perbuatanya kepada umatnya melalui perjanjian kepada bapa leluhur,
pembebasan dan sebagainya. Allah ingin umatnya juga menunjukkan suatu tindakan
yang menunjukkan adanya suatu respon umat atas perbuatan Allah tersebut. Allah
yang telah bertindak ke dalam kehidupan manusia menginginkan manusia hidup
dalam kedaulatannya, melalui apa yang telah Allah berikan (Wright 1995, 153).
Kehendak Allah-lah yang menjadi dasar utama dalam kehidupan manusia. Kehendak
Allah bukan hanya sekadar mengabdikan diri kepada Allah, namun pengabdian
kepada sesama manusia. Pengabdian tersebut ditunjukkan melalui perlakuan kita
terhadap sesama manusia. Dalam melalukan kehendak Allah tersebut manusia
membutuhkan batasan untuk mengetahui sejauh mana tindakan mereka yang sesuai
dengan kehendak Allah (Fletcher 2007, 147).
Di dalam Hukum Taurat kita dapat melihat bahwa Allah
memberikan kesepuluh hukum Allah kepada bangsa Israel. Kesepuluh hukum
tersebutlah yang dijadikan sebagai sebuah patokan tindakan umat. Kesepuluh
hukum itu mengatur dan mengarahkan perilaku umat yang tetap berfokus pada
kehendak Allah. Aturan yang diberikan tersebut sebenarnya bukan hanya
semata-mata bentuk pengabdian kepada Allah, tetapi berupa pemberian “kebebasan”
umat. Kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana memperlakukan sesama
manusia. Hal ini juga ingin menunjukkan adanya tanggung jawab sosial, sehingga
tidak boleh melakukan sesama dengan semena-mena (Kieser 1987, 182).
Hukum Taurat sebenarnya merupakan sebagai karunia,
karena hukum taurat membantu umat untuk mengetahui bagaimana cara mengasihi
Allah dan juga sesama manusia. Jika hukum tersebut dipatuhi maka tercapailah
kehidupan yangs sesuai dengan kehendak Allah. Namun, jika Hukum Taurat tidak
dijalankan maka akan ada tuduhan/hukuman yang diberikan (Fletcher 2007, 164).
Pengajaran Nabi-nabi dan Kaitannya dengan
Hukum Taurat
Israel berbeda dari bangsa-bangsa
di sekitarnya bukan hanya karena mereka percaya kepada TUHAN, tetapi juga
karena mereka mempunyai utusan-utusan Allah yaitu para nabi, di tengah-tengah
mereka. Nabi-nabi bertindak atas nama Tuhan. Para nabi melawan penindasan
orang-orang miskin yang dilakukan oleh orang-orang kaya dan mengemukakan
keberatan-keberatan azasi terhadap pembagian harta benda yang tidak seimbang
(Jongeneel 1980, 81).
Para nabi berpolemik dengan etika
agama suku dari dunia sekitar Israel, dan berseru kepada seluruh bangsa Israel
untuk tinggal tetap dan setia kepada YHWH dan hukum-Nya; menyampaikan kepada
Israel kabar baik tentang menyingsingnya fajar hari baru dalam sejarah manusia,
yaitu bahwa pada waktu yang ditentukan Tuhan, semua suku dan bangsa sedunia
akan berkumpul di Yerusalem dan akan berdiri dan berbaris di sana dalam
kebenaran dan damai sejahtera (Jongeneel 1980, 81)
Nabi-nabi Israel (sesudah Musa)
bertitik-tolak dari hukum Taurat. Kecaman-kecaman mereka (yang berbentuk
nubuat) terhadap sikap hidup bangsa mereka, mereka dasarkan pada hukum Taurat.
Tanpa ada hukum Taurat sebagai norma, mereka tidak punya hak dan panggilan
untuk mengecam. Nabi-nabi Israel juga bertitik-tolak dari perjanjian anugerah
yang menjadi dasar Hukum Taurat. Oleh sebab itu, melanggar Hukum Taurat tidak
dipandangnya hanya sebagai pelanggaran sebuah hukum semata-mata, tetapi sebagai
berubah setia atau murtad, tidak setia kepada Allah yang
hidup (Verkuyl 1997, 117). Namun, di dalam tulisan-tulisan para nabi itu
semakin mendalam keinsafan bahwa di dalam jalan Hukum Taurat tidak terdapat
kebahagiaan. Hukum Taurat membuka tabir yang menyelubungi perlawanan kodrat
manusia terhadap Hukum Taurat. Kebahagiaan hanya dapat diharapkan apabila Tuhan
menjadikan kebahagiaan itu (Verkuyl 1997, 118).
Ciri-ciri Etika Perjanjian Lama
Etika
Perjanjian lama sangat memperlihatkan adanya suatu interaksi timbal-balik,
Allah memberi suatu tindakan kepada manusia dan ditindak lanjuti dengan respon
umat terhadap Allah. Allah bertindak kepada manusia dan ia menuntut manusia
untuk hidup di dalam kedaulatanya, yaitu sesuai dengan kehendak Allah yang
tertulis dalam kesepuluh hukum (hukum taurat). Etika Perjanjian Lama sangat
menekankan Hukum Taurat yang diberikan Allah kepada bangsa Israel melalui Musa
sebagai the ways of life bagi bangsa
Israel. Di kemudian hari para Nabi yang adalah utusan Allah selalu bertolak
pada Hukum Taurat ketika hendak bernubuat. Hukum Taurat tersebut yang dijadikan
sebagai patokan utama untuk melihat apakah kehidupan umat masih dalam koridor
Allah atau tidak.
Hukum Taurat adalah bentuk
kedaulatan Allah yang telah membebaskan sehingga harus menaati Hukum Taurat.
Etika dalam Perjanjian Lama menitikberatkan hubungan yang bukan hanya
diperuntukan bagi kemuliaan Allah saja, tetapi juga untuk keberlangsungan
kehidupan sosial dengan sesama. Hubungan Horizontal dan vertikal tersebut
sangatlah ditekankan untuk memperoleh suatu keseimbangan.
Kesimpulan dan Refleksi
Hukum
Taurat diberikan Allah kepada bangsa Israel sebagai tuntunan hidup mereka
karena mereka baru saja terbebas dari perbudakan. Hukum Taurat memiliki fungsi
memberikan keseimbangan pola hidup manusia baik kepada Allah dan juga sesama.
Hukum Taurat menjadi ciri yang khusus bagi Bangsa Israel yang hidup diantara
bangsa-bangsa yang menyembah dewa-dewa berhala. Kita dapat melihat bahwa
sebenarnya apa yang telah Allah berikan ingin menekankan suatu keseimbangan
manusia. Bangsa Israel yang baru saja memeperoleh pembebasan dari Allah diminta
untuk merespon kasih Tuhan tersebut.
Namun,
Hukum Taurat sering kali dijadikan sebagai topeng bagi mereka yang fasik.
Mereka melakukan Hukum Taurat hanya untuk sekadar memperoleh pandangan yang
baik dari orang lain. Itulah sebabnya nabi-nabi yang merupakan utusan Allah
berusaha membuka topeng mereka dan membangun kembali wibawa Hukum Taurat
tersebut.
Jadi,
beribadah dan menjalankan hukum atau perintah Allah harus didasari pada
ketulusan dan kesadaran kita untuk berbakti kepada Allah dan menjalankan segala
perintah-Nya untuk kebaikan kita. Allah menetapkan peraturan bukan untuk
mempersulit kehidupan manusia dan bukan juga untuk menjadikan hukum itu sebagai
topeng, tetapi peraturan atau hukum ditetapkan Allah sebagai pedoman hidup
manusia.
Daftar Acuan
Fletcher, Verne H. 2007. Lihatlah Sang Manusia! Suatu Pendekatan pada Etika Kristen Dasar. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Jongeneel, J.A.B. 1980. Hukum Kemerdekaan: Buku Pegangan Etik Kristen Jilid Satu. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Verkuyl,
J. 1997. Etika Kristen I: Bagian Umum.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Wright.
Christopher. 1995. Hidup Sebagai Umat
Allah: Etika Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kieser.
Bernhard. 1987. Moral Dasar: Kaitan Iman
dan Perbuatan. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Boleh saya share... Ini menambah pengetahuan ttg agama
ReplyDelete