Pendahuluan
1.
Penulis
Penulis
dari Injil ketiga ini tidak diketahui secara pasti. Iraneus dari Lyon
mengatakan bahwa Lukas (2 M) teman seperjalanan Paulus merupakan penulisnya.
Kanon Muratoria dan prakata anti-Marcion pada injil Lukas, serta Clemens dari
Aleksandria, origenes dan tertulianus juga menyebutkan bahwa Lukas adalah
penulisnya. Akan tetapi, ketepatan tradisi-tradisi tersebut juga masih belum dapat dipastikan. Lukas merupakan
jilid pertama dari dua-jilid sejarah yang dilanjutkan di dalam Kisah Para
Rasul. Gaya dan jenis bahasa kedua kitab tersebut begitu mirip sehingga tidak
diragukan lagi bahwa keduanya merupakan hasil karya dari satu penulis. Kedua
injil tersebut juga sama-sama ditujukan kepada seseorang yang bernama
Teofilus (Drane 2005, 211).
Menurut
Paulus, Lukas adalah seorang dokter, dan memang sering dikemukakan bahwa
penulis injil Lukas menunjukkan pengetahuan khusus tentang bahasa kedokteran,
serta perhatian di dalam mendiagnosa penyakit. Terdapat satu atau dua tempat di
Injilnya, Lukas memperlihatkan sikap lebih memahami pekerjaan dokter daripada
Markus. Hal tersebut terlihat pada cerita di mana Yesus menyembuhkan seorang
wanita yang mengalami pendarahan yang tidak dapat disembuhkan. Lukas di dalam
Perjanjian Baru disebut sebanyak 3 kali. Pada setiap kesempatan ia dikatakan
bersama dengan Paulus dan dalam surat Kolose, Paulus berkata Lukas bukan orang
Yahudi. Gaya bahasa Yunani yang terdapat di dalam tulisan tersebut memang
memberikan kesan bahwa penulisnya adalah seorang penutur bahasa Yunani. Menurut
Eusebius, Lukas berasal dari Antiokhia di Siria, dan salah satu naskah kuno
Kisah Para Rasul menyebutkan secara tersirat bahwa ia berada di Antiokhia
ketika jemaat di situ menerima kabar tentang kelaparan yang akan menimpa mereka
(Drane 2005, 212).
2. Waktu dan Tempat Penulisan
Waktu
ketika Lukas menuliskan kedua tulisannya hanya bisa diperkirakan. Lukas
menggunakan Markus dan Q sebagai sumbernya. Dia melihat kembali ke penghancuran
Yerusalem dan kematian Paulus. Lukas menulis kisah tersebut dari perspektif
generasi ketiga, yang menunjukkan banyak perhatian terhadap zaman sejarah
keselamatan. melalui data tersebut kita bisa memperkirakan injil Lukas dibuat
sekitar tahun 90 CE (Schnelle 1998,
243).
3.
Tujuan
Lukas
memberitahukan tentang tujuan penulisan di dalam kata pengantar. Ia menulis
kepada seseorang yang bernama Teofilus, “supaya engkau dapat mengetahui, bahwa
segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar”. Lukas menulis injilnya
untuk menolong Teofilus dan orang percaya lainnya agar memperoleh pengertian
yang baik tentang iman Kristen. Ia menceritakan sebanyak mungkin tentang
kehidupan dan pengajaran Yesus sendiri. Oleh sebab itu, Lukas memulai ceritanya
tentang Yesus dengan agama Yahudi. dalam dua pasal pertama injilnya, ia
memperlihatkan kesinambungan agama Kristen dengan agama Yahudi dan Perjanjian
Lama. Pada waktu yang bersamaan dia menekankan bahwa Yesus merupakan
penggenapan dari semua janji Allah, dan dengan demikian agama Perjanjian Lama
sudah menjadi mubazir (Drane 2005, 213).
Pada
waktu Lukas menulis, peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus sudah berlalu,
kenyataan tersebut membuat generasi-generasi Kristen berikutnya lebih menaruh
perhatian terhadap atas sejarah abad pertama daripada atas peristiwa-peristiwa
zaman mereka sendiri. akan tetapi di dalam laporannya mengenai kehidupan dan
pelayanan Yesus, Lukas menekankan adanya hubungan yang penting antara peristiwa-peristiwa
dalam kehidupan Yesus dengan kehidupan jemaat kontemporernya. Lukas menekankan
kehadiran Yesus yang terus-menerus bersama pengikut-pengikutnya sebagai suatu
koreksi atas pandangan beberapa orang sezamannya yang mulai tidak sabar sebab
kedatangan Yesus untuk kedua kalinya “Parousia”
belum juga terjadi. Selain itu, Lukas mengatakan bahwa kabar baik tentang Yesus
berlaku bagi semua orang. Menunjukkan bahwa kasih Allah merambak sampai ke
golongan masyarakat yang paling rendah sekalipun (Drane, 2005, 213).
Tafsiran
Ayat 10: Ada
dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang
lain pemungut cukai.
Dalam ayat ini, sangat dimungkinkan
bahwa kegiatan berdoa yang dilakukan oleh orang Farisi dan si pemungut cukai
dilakukan ketika tidak ada orang lain yang sedang berdoa, atau dengan kata lain
hanya ada mereka berdua di dalam Bait Allah (Geldenhuys 1951, 450). Menurut
Nolland, kegiatan berdoa yang dilakukan oleh mereka berdua terjadi pada
hari-hari biasa, bukan hari-hari khusus untuk berdoa (Nolland 1993, 875). Dalam
ayat ini, orang Farisi dimaknai sebagai seorang pemimpin religius yang memiliki
nilai moral tinggi dan sangat terbiasa dengan kegiatan-kegiatan seperti ini
(Morris 1992, 289). Keadaan tersebut sangat berbanding terbalik dengan pemungut
cukai yang adalah seorang yang dianggap sebagai pengkhianat bagi bangsanya
sendiri, dan sangat jauh dari kegiatan-kegiatan berdoa ataupun moralitas hidup
yang tinggi (Morris 1992, 289; Nolland 1993, 875).
Dalam perumpamaan
ini, penulis Lukas mengkondisikan mereka berdua bertemu di dalam satu ruangan
yang sama. Perbedaan latar belakang yang mencolok dalam ayat ini ingin dipakai
untuk menunjukkan perbedaan yang akan terjadi dalam ayat-ayat selanjutnya.
Penulis Lukas juga memakai latar waktu diluar hari Sabat, dimana orang-orang
Yahudi biasa berdoa. Latar waktu yang dipakai penulis Lukas adalah hari-hari
biasa, dimana mereka yang datang berdoa ke Bait Allah hanyalah mereka yang
membutuhkan waktu khusus ataupun ingin memanjatkan permohonan-permohonan
tertentu kepada Allah.
Ayat 11: Orang
Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap
syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan
perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut
cukai ini;
Dalam ayat ini, makna kata “berdiri”
yang dipakai oleh penulis Injil Lukas dapat diartikan sebagai “berdiri dengan
posisi sempuna atau tegak” (Nolland 1993, 875). Menurrut Geldenhuys, posisi
tegak yang dilakukan oleh orang Farisi tersebut menunjukkan bahwa ia adalah
seseorang yang benar dan memiliki kebanggaan atas kesuciannya tersebut
(Geldenhuys 1951, 450). Kebanggaan atas dirinya tersebut ditunjukkan melalui
isi doanya yang mendiskreditkan pemungut cukai yang ada di dekatnya. Kebanggaan
tersebut juga ditunjukkan atas sikap doa yang berdiri dengan tegak tersebut,
sehingga dapat diasumsikan bahwa orang Farisi tersebut memiliki kebanggaan
karena ia dapat berbeda dari orang-orang yang pada masa itu dianggap “tidak
suci.”
Ayat 12: aku
berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala
penghasilanku.
Dalam tradisi rabbinic,
berpuasa dua kali seminggu dapat dikatakan sebagai suatu perwujudan disiplin
suci yang dilakukan sejak masa Perjanjian Lama, dan hal tersebut sebenarnya
sudah lebih dari cukup sebagai bentuk ketaatan yang tertulis dalam Perjanjian
Lama (Nolland 1993, 876; Geldenhuys 1951, 451). Pemberian persepuluhan dari
segala penghasilan juga merupakan sesuatu yang melebihi standar hukum
Perjanjian Lama, dimana hanya beberapa penghasilan saja yang disarankan untuk
menjadi persepuluhan (Geldenhuys 1951, 451). Ayat ini menjadi contoh kegiatan
yang dilakukan dalam usaha orang Farisi tersebut untuk menjaga kesucian
dirinya. Ayat ini juga sekaligus memberikan penekanan bahwa kegiatan-kegiatan
tersebut adalah kegiatan yang sangat jauh berbeda dengan apa yang dilakukan
oleh pemungut cukai dalam kesehariannya.
Ayat 13: Tetapi
pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke
langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang
berdosa ini.
Dalam ayat ini,
terlihat bahwa sang pemungut cukai juga membandingkan dirinya dengan orang
Farisi tersebut. Penulis Injil Lukas menegaskan penggambaran pemungut cukai
sebagai seseorang yang memiliki perilaku negatif melalui ketidakberaniannya
untuk menatap langit, seperti yang dilakukan oleh orang Farisi (Nolland 1993,
877). Dalam doanya, ia sangat menyadari bahwa hidupnya jauh dari kata “suci”
dan memohon pengampunan yang asalnya dari Tuhan untuk mengampuni segenap
dosanya (Geldenhuys 1951, 451). Praktek “pemukulan diri” yang dilakukan
pemungut cukai dalam ayat ini menjadi penunjukkan dan penekanan bahwa ia sangat
berdosa, sekaligus menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang sebenarnya “najis.”
Ayat 14: Aku
berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan
Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan
direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.
Ayat ini ingin menunjukkan bahwa
pemungut cukai menjadi seseorang yang “ditinggikan” karena ia telah mengakui
dosa-dosanya, dan menyadari akan dosa-dosa tersebut. Lain halnya dengan orang
Farisi yang hanya menunjukkan “kesempurnaan” yang mungkin digunakan untuk
menutupi kekurangan yang ada pada dirinya. Makna “meninggikan diri” dapat
diartikan sebagai suatu perilaku yang negatif karena digunakan untuk menunjukan
hal-hal yang sebenarnya untuk konsumsi pribadi. Hal tersebutlah yang dilakukan
oleh orang Farisi, sehingga tujuan berdoa-nya menjadi untuk kesombongan diri,
bukan memuliakan Allah.
Kesimpulan dan Refleksi
Dalam
Lukas 18:10-14 ini kami identifikasi sebagai injil yang menceritakan ilustrasi
doa orang Farisi dan pemungut cukai. Ilustrasi tersebut diceritakan Yesus
karena ada orang-orang yang menganggap dirinya benar dan memadang rendah semua
orang lain. Orang Farisi terkenal dengan ketaatannya dalam beribadah. Ketika
berdoa, orang Farisi ini berdiri tegak seolah ingin menunjukkan
bahwa ia adalah seseorang yang benar dan memiliki kebanggaan atas kesuciannya
tersebut dan dalam doanya dia
merendahkan pemungut cukai. Orang Farisi itu membenarkan dirinya sendiri bahkan
ketika ia berada di hadapan Allah. Sementara itu Yesus mengilustrasikan
pemungut cukai yang “memukuli dirinya sendiri” dalam ayat
ini 13 sebagai penunjukkan dan penekanan bahwa ia sangat berdosa, sekaligus
menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang sebenarnya “najis.” Ia juga menunduk karena malu akan perilakunya.
Berbeda dengan orang Farisi, pemungut cukai ini tidak melakukan pembelaan diri
bahkan pembenaran diri. Dia justru merendahkan diri di hadirat Allah dan
mengakui (jujur) akan dosa-dosa yang telah ia perbuat. Sehingga, sebagai
kesimpulan Yesus di ayat 14 dikatakan bahwa pemungut cukai itulah yang
dibenarkan Allah karena kerendah hatiannya dan kejujurannya mengakui segala
kesalahannya, sementara orang Farisi itu tidak dibenarkan Allah karena ia telah
membenarkan perbuatan dalam dirinya sendiri.
Ilustrasi
ini ketika disampaikan, maka ada beberapa hal penekanan yang diperlukan. Pertama,
yang harus ditekankan adalah bahwa tidak ada salahnya bersikap suci dan
legaliter seperti orang-orang Farisi, tetapi bukan berarti jika melakukan itu
semua kita harus menyombongkan diri dan merasa hidup yang paling benar.
Terkadang kita pun menilai orang dari apa yang terlihat dilakukan oleh mereka.
Orang yang sering beribadah sering kita cap sebagai orang yang sangat beriman,
sementara yang jarang beribadah sering kita cap buruk. Kita tidak pernah
menelusuri lebih dalam apakah mereka yang sering beribadah benar-benar tulus
beribadah atau hanya sekadar ingin mendapatkan prestise saja dari orang lain. Dan kepada orang yang jarang
beribadah kita selalu melabelkan mereka cap yang buruk dan tidak pernah mau
mencoba berpikir ke arah yang lebih positif. Kita terlalu cepat menilai orang
lain dari apa yang nampak dari luarnya saja.
Kedua,
ketika berada di hadirat Allah, hendaknya kita seperti pemungut cukai yang dengan
rendah hati mengakui segala kesalahan dan kekurangan kita, bukan sebaliknya
malah mengungkit apa yang telah kita lakukan untuk Allah (misalnya beribadah,
memberikan persembahan, dll.).
Ketiga,
hubungan kita sebagai manusia dengan Allah akan baik jika hubungan kita dengan
sesama juga baik. Jika terhadap sesama kita berlaku seperti orang Farisi yang
membanding-bandingkan hal buruk orang lain dengan segala kebaikan yang ada
dalam diri kita, maka sia-sialah hubungan yang kita bangun dengan Allah. Orang
Farisi begitu merendahkan pemungut cukai, pezinah, perampok, orang lalim, dan
yang lainnya. Ia begitu memandang rendah mereka semua tanpa ia sadari bahwa
dengan demikian ia telah direndahkan di hadirat Allah. Sebagai sesama manusia,
kita bersama ada untuk saling menopang, bukan untuk saling merendahkan.
Daftar Acuan
Drane,
John.2005. Memahami Perjanjian Baru.
Jakarta: BPK Gunung Mulia
Geldenhuys, Norval. Commentary on The Gospel of Luke. Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1951.
Morris, Leon. Tyndale New Testament Commentarie: Luke. Leicester: Inter-Varsity
Press, 1992.
Nolland, John. World Biblical Commentary: Volume 35B. Texas: Word Books, 1993.
Schenelle,
Udo. 1998. The History and Theology of
The New Testament Writings. London: SCM Press LTD.
No comments:
Post a Comment