Monday, March 3, 2014

Tafsiran Lukas 18: 10-14

Pendahuluan
1.      Penulis
Penulis dari Injil ketiga ini tidak diketahui secara pasti. Iraneus dari Lyon mengatakan bahwa Lukas (2 M) teman seperjalanan Paulus merupakan penulisnya. Kanon Muratoria dan prakata anti-Marcion pada injil Lukas, serta Clemens dari Aleksandria, origenes dan tertulianus juga menyebutkan bahwa Lukas adalah penulisnya. Akan tetapi, ketepatan tradisi-tradisi tersebut juga  masih belum dapat dipastikan. Lukas merupakan jilid pertama dari dua-jilid sejarah yang dilanjutkan di dalam Kisah Para Rasul. Gaya dan jenis bahasa kedua kitab tersebut begitu mirip sehingga tidak diragukan lagi bahwa keduanya merupakan hasil karya dari satu penulis. Kedua injil tersebut juga sama-sama ditujukan kepada seseorang yang bernama Teofilus  (Drane 2005, 211).
Menurut Paulus, Lukas adalah seorang dokter, dan memang sering dikemukakan bahwa penulis injil Lukas menunjukkan pengetahuan khusus tentang bahasa kedokteran, serta perhatian di dalam mendiagnosa penyakit. Terdapat satu atau dua tempat di Injilnya, Lukas memperlihatkan sikap lebih memahami pekerjaan dokter daripada Markus. Hal tersebut terlihat pada cerita di mana Yesus menyembuhkan seorang wanita yang mengalami pendarahan yang tidak dapat disembuhkan. Lukas di dalam Perjanjian Baru disebut sebanyak 3 kali. Pada setiap kesempatan ia dikatakan bersama dengan Paulus dan dalam surat Kolose, Paulus berkata Lukas bukan orang Yahudi. Gaya bahasa Yunani yang terdapat di dalam tulisan tersebut memang memberikan kesan bahwa penulisnya adalah seorang penutur bahasa Yunani. Menurut Eusebius, Lukas berasal dari Antiokhia di Siria, dan salah satu naskah kuno Kisah Para Rasul menyebutkan secara tersirat bahwa ia berada di Antiokhia ketika jemaat di situ menerima kabar tentang kelaparan yang akan menimpa mereka (Drane 2005, 212). 
      2.      Waktu dan Tempat Penulisan
Waktu ketika Lukas menuliskan kedua tulisannya hanya bisa diperkirakan. Lukas menggunakan Markus dan Q sebagai sumbernya. Dia melihat kembali ke penghancuran Yerusalem dan kematian Paulus. Lukas menulis kisah tersebut dari perspektif generasi ketiga, yang menunjukkan banyak perhatian terhadap zaman sejarah keselamatan. melalui data tersebut kita bisa memperkirakan injil Lukas dibuat sekitar tahun 90 CE (Schnelle 1998, 243).  

      3.      Tujuan
Lukas memberitahukan tentang tujuan penulisan di dalam kata pengantar. Ia menulis kepada seseorang yang bernama Teofilus, “supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar”. Lukas menulis injilnya untuk menolong Teofilus dan orang percaya lainnya agar memperoleh pengertian yang baik tentang iman Kristen. Ia menceritakan sebanyak mungkin tentang kehidupan dan pengajaran Yesus sendiri. Oleh sebab itu, Lukas memulai ceritanya tentang Yesus dengan agama Yahudi. dalam dua pasal pertama injilnya, ia memperlihatkan kesinambungan agama Kristen dengan agama Yahudi dan Perjanjian Lama. Pada waktu yang bersamaan dia menekankan bahwa Yesus merupakan penggenapan dari semua janji Allah, dan dengan demikian agama Perjanjian Lama sudah menjadi mubazir (Drane 2005, 213).
Pada waktu Lukas menulis, peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus sudah berlalu, kenyataan tersebut membuat generasi-generasi Kristen berikutnya lebih menaruh perhatian terhadap atas sejarah abad pertama daripada atas peristiwa-peristiwa zaman mereka sendiri. akan tetapi di dalam laporannya mengenai kehidupan dan pelayanan Yesus, Lukas menekankan adanya hubungan yang penting antara peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Yesus dengan kehidupan jemaat kontemporernya. Lukas menekankan kehadiran Yesus yang terus-menerus bersama pengikut-pengikutnya sebagai suatu koreksi atas pandangan beberapa orang sezamannya yang mulai tidak sabar sebab kedatangan Yesus untuk kedua kalinya “Parousia” belum juga terjadi. Selain itu, Lukas mengatakan bahwa kabar baik tentang Yesus berlaku bagi semua orang. Menunjukkan bahwa kasih Allah merambak sampai ke golongan masyarakat yang paling rendah sekalipun (Drane,  2005, 213). 

Tafsiran
Ayat 10: Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.
            Dalam ayat ini, sangat dimungkinkan bahwa kegiatan berdoa yang dilakukan oleh orang Farisi dan si pemungut cukai dilakukan ketika tidak ada orang lain yang sedang berdoa, atau dengan kata lain hanya ada mereka berdua di dalam Bait Allah (Geldenhuys 1951, 450). Menurut Nolland, kegiatan berdoa yang dilakukan oleh mereka berdua terjadi pada hari-hari biasa, bukan hari-hari khusus untuk berdoa (Nolland 1993, 875). Dalam ayat ini, orang Farisi dimaknai sebagai seorang pemimpin religius yang memiliki nilai moral tinggi dan sangat terbiasa dengan kegiatan-kegiatan seperti ini (Morris 1992, 289). Keadaan tersebut sangat berbanding terbalik dengan pemungut cukai yang adalah seorang yang dianggap sebagai pengkhianat bagi bangsanya sendiri, dan sangat jauh dari kegiatan-kegiatan berdoa ataupun moralitas hidup yang tinggi (Morris 1992, 289; Nolland 1993, 875).
            Dalam perumpamaan ini, penulis Lukas mengkondisikan mereka berdua bertemu di dalam satu ruangan yang sama. Perbedaan latar belakang yang mencolok dalam ayat ini ingin dipakai untuk menunjukkan perbedaan yang akan terjadi dalam ayat-ayat selanjutnya. Penulis Lukas juga memakai latar waktu diluar hari Sabat, dimana orang-orang Yahudi biasa berdoa. Latar waktu yang dipakai penulis Lukas adalah hari-hari biasa, dimana mereka yang datang berdoa ke Bait Allah hanyalah mereka yang membutuhkan waktu khusus ataupun ingin memanjatkan permohonan-permohonan tertentu kepada Allah. 
Ayat 11: Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini;
            Dalam ayat ini, makna kata “berdiri” yang dipakai oleh penulis Injil Lukas dapat diartikan sebagai “berdiri dengan posisi sempuna atau tegak” (Nolland 1993, 875). Menurrut Geldenhuys, posisi tegak yang dilakukan oleh orang Farisi tersebut menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang benar dan memiliki kebanggaan atas kesuciannya tersebut (Geldenhuys 1951, 450). Kebanggaan atas dirinya tersebut ditunjukkan melalui isi doanya yang mendiskreditkan pemungut cukai yang ada di dekatnya. Kebanggaan tersebut juga ditunjukkan atas sikap doa yang berdiri dengan tegak tersebut, sehingga dapat diasumsikan bahwa orang Farisi tersebut memiliki kebanggaan karena ia dapat berbeda dari orang-orang yang pada masa itu dianggap “tidak suci.”
Ayat 12: aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. 
            Dalam tradisi rabbinic, berpuasa dua kali seminggu dapat dikatakan sebagai suatu perwujudan disiplin suci yang dilakukan sejak masa Perjanjian Lama, dan hal tersebut sebenarnya sudah lebih dari cukup sebagai bentuk ketaatan yang tertulis dalam Perjanjian Lama (Nolland 1993, 876; Geldenhuys 1951, 451). Pemberian persepuluhan dari segala penghasilan juga merupakan sesuatu yang melebihi standar hukum Perjanjian Lama, dimana hanya beberapa penghasilan saja yang disarankan untuk menjadi persepuluhan (Geldenhuys 1951, 451). Ayat ini menjadi contoh kegiatan yang dilakukan dalam usaha orang Farisi tersebut untuk menjaga kesucian dirinya. Ayat ini juga sekaligus memberikan penekanan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut adalah kegiatan yang sangat jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pemungut cukai dalam kesehariannya.
Ayat 13: Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. 
            Dalam ayat ini, terlihat bahwa sang pemungut cukai juga membandingkan dirinya dengan orang Farisi tersebut. Penulis Injil Lukas menegaskan penggambaran pemungut cukai sebagai seseorang yang memiliki perilaku negatif melalui ketidakberaniannya untuk menatap langit, seperti yang dilakukan oleh orang Farisi (Nolland 1993, 877). Dalam doanya, ia sangat menyadari bahwa hidupnya jauh dari kata “suci” dan memohon pengampunan yang asalnya dari Tuhan untuk mengampuni segenap dosanya (Geldenhuys 1951, 451). Praktek “pemukulan diri” yang dilakukan pemungut cukai dalam ayat ini menjadi penunjukkan dan penekanan bahwa ia sangat berdosa, sekaligus menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang sebenarnya “najis.”
Ayat 14: Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.
            Ayat ini ingin menunjukkan bahwa pemungut cukai menjadi seseorang yang “ditinggikan” karena ia telah mengakui dosa-dosanya, dan menyadari akan dosa-dosa tersebut. Lain halnya dengan orang Farisi yang hanya menunjukkan “kesempurnaan” yang mungkin digunakan untuk menutupi kekurangan yang ada pada dirinya. Makna “meninggikan diri” dapat diartikan sebagai suatu perilaku yang negatif karena digunakan untuk menunjukan hal-hal yang sebenarnya untuk konsumsi pribadi. Hal tersebutlah yang dilakukan oleh orang Farisi, sehingga tujuan berdoa-nya menjadi untuk kesombongan diri, bukan memuliakan Allah.
Kesimpulan dan Refleksi
            Dalam Lukas 18:10-14 ini kami identifikasi sebagai injil yang menceritakan ilustrasi doa orang Farisi dan pemungut cukai. Ilustrasi tersebut diceritakan Yesus karena ada orang-orang yang menganggap dirinya benar dan memadang rendah semua orang lain. Orang Farisi terkenal dengan ketaatannya dalam beribadah. Ketika berdoa, orang Farisi ini berdiri tegak seolah ingin menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang benar dan memiliki kebanggaan atas kesuciannya tersebut dan dalam doanya dia merendahkan pemungut cukai. Orang Farisi itu membenarkan dirinya sendiri bahkan ketika ia berada di hadapan Allah. Sementara itu Yesus mengilustrasikan pemungut cukai yang “memukuli dirinya sendiri” dalam ayat ini 13 sebagai penunjukkan dan penekanan bahwa ia sangat berdosa, sekaligus menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang sebenarnya “najis.” Ia juga menunduk karena malu akan perilakunya. Berbeda dengan orang Farisi, pemungut cukai ini tidak melakukan pembelaan diri bahkan pembenaran diri. Dia justru merendahkan diri di hadirat Allah dan mengakui (jujur) akan dosa-dosa yang telah ia perbuat. Sehingga, sebagai kesimpulan Yesus di ayat 14 dikatakan bahwa pemungut cukai itulah yang dibenarkan Allah karena kerendah hatiannya dan kejujurannya mengakui segala kesalahannya, sementara orang Farisi itu tidak dibenarkan Allah karena ia telah membenarkan perbuatan dalam dirinya sendiri.
            Ilustrasi ini ketika disampaikan, maka ada beberapa hal penekanan yang diperlukan. Pertama, yang harus ditekankan adalah bahwa tidak ada salahnya bersikap suci dan legaliter seperti orang-orang Farisi, tetapi bukan berarti jika melakukan itu semua kita harus menyombongkan diri dan merasa hidup yang paling benar. Terkadang kita pun menilai orang dari apa yang terlihat dilakukan oleh mereka. Orang yang sering beribadah sering kita cap sebagai orang yang sangat beriman, sementara yang jarang beribadah sering kita cap buruk. Kita tidak pernah menelusuri lebih dalam apakah mereka yang sering beribadah benar-benar tulus beribadah atau hanya sekadar ingin mendapatkan prestise saja dari orang lain. Dan kepada orang yang jarang beribadah kita selalu melabelkan mereka cap yang buruk dan tidak pernah mau mencoba berpikir ke arah yang lebih positif. Kita terlalu cepat menilai orang lain dari apa yang nampak dari luarnya saja.
            Kedua, ketika berada di hadirat Allah, hendaknya kita seperti pemungut cukai yang dengan rendah hati mengakui segala kesalahan dan kekurangan kita, bukan sebaliknya malah mengungkit apa yang telah kita lakukan untuk Allah (misalnya beribadah, memberikan persembahan, dll.).
            Ketiga, hubungan kita sebagai manusia dengan Allah akan baik jika hubungan kita dengan sesama juga baik. Jika terhadap sesama kita berlaku seperti orang Farisi yang membanding-bandingkan hal buruk orang lain dengan segala kebaikan yang ada dalam diri kita, maka sia-sialah hubungan yang kita bangun dengan Allah. Orang Farisi begitu merendahkan pemungut cukai, pezinah, perampok, orang lalim, dan yang lainnya. Ia begitu memandang rendah mereka semua tanpa ia sadari bahwa dengan demikian ia telah direndahkan di hadirat Allah. Sebagai sesama manusia, kita bersama ada untuk saling menopang, bukan untuk saling merendahkan.
Daftar Acuan
Drane, John.2005. Memahami Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Geldenhuys, Norval. Commentary on The Gospel of Luke.  Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1951.
Morris, Leon. Tyndale New Testament Commentarie: Luke. Leicester: Inter-Varsity Press, 1992.
Nolland, John. World Biblical Commentary: Volume 35B. Texas: Word Books, 1993.

Schenelle, Udo. 1998. The History and Theology of The New Testament Writings. London: SCM Press LTD.

No comments:

Post a Comment