Wednesday, December 26, 2012

Friedrich Nietzsche


Kehidupan dan Masa Lalu Nietzsche
            Nietzsche adalah seorang filsuf yang lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di Rocken di wilayah Sachsen. Dia adalah seorang anak laki-laki berperangai halus dari sebuah keluarga Protestan Lutheran yang sangat saleh. Ayahnya adalah seorang pastor Lutheran, dan dia berharap agar kelak Nietzsche itu menjadi seorang pendeta. Ketika berusia lima tahun, ayahnya meninggal dan Nietzcshe tinggal di lingkungan keluarga ibunya yang kebanyakan perempuan. Teman-teman sekolahnya di sana menjulukinya “si pendeta kecil”. Bahkan sampai dewasa, orang-orang di sekitarnya melihat Nietzcshe sebagai seorang Kristen, seperti orang lain (Hardiman 2007, 257)
            Pada tahun 1854, Nietzsche masuk Gymnasiumn di kota Naumburg, namun 4 tahun kemudian ibunya memintanya belajar di sebuah sekolah asrama Lutheran yang sangat termasyhur di kota Pforta. Di sana dia sudah membaca karya-karya para sastrawan dan pemikir-pemikir besar, seperti Schiller, Hoderlin, dan Byron, dan dia sangat kagum pada kejeniusan kebudayaan Yunani kuno, maka saat itu dia juga meminati Plato dan Aeschylus. Pada tahun 1864, dia belajar di Universitas Bonn bersama temannya dari Pforta yang kemudian juga termasyhur sebagai pemikir dan filsuf, Paul Deussen. Pada tahun 1865, dia belajar folologi di kota Leipzig, di bawah bimbingan Profesor Ritschl. Di kota inilah, secara kebetulan di tukang loak, dia menemukan buku Schopenhauer, Die Welt als Wille und Vorstellung. Di kota ini pula, dia meninggalkan agamanya (Hardiman 2007, 259).
            Keasyikan studinya terputus ketika tahun 1867 dia diminta menunaikan wajib militer di bagian artileri di sebuah barak di Naumburg. Dia kembali lagi ke Leipzig dan belajar lagi ketika terjatuh dari kudanya dan terluka. Pada masa inilah dia berkenalan dengan Richard Wagner, dan bahkan komponis Jerman termasyhur itu menjadi sahabatnya. Persahabatan itu juga mempengaruhi tulisan Nietzsche pada periode pertama riwayat intelektualnya, Die Geburt der Tragodie aus dem Geiste der Musik (Asal-usul Tragedi dari Semangat Musik). Sekitar tahun 1869, oleh Ritschl dia diminta menjadi dosen di Universitas Basel. Waktu itu usianya baru 24 tahun dan belum meraih gelar doktor. Antara tahun 1873-1876, dia menerbitkan empat buah esai dengan satu judul umum Unzeitgemasse Betrachtungen (Kontemplasi-kontemplasi Tak Aktual). Pada tahun 1876, dia menerbutkan esai keempat yang berjudul Richard Wagner in Bayreuth, dan pada saat ini, hubungannya dengan Wagner retak. Nietzsche merasa diperalat oleh Wagner untuk menyebarluaskan Wagnerisme, dia pun kecewa dan salah sangka bahwa musik Wagner merupakan kelahiran kembali seni Yunani Kuno, sebab ternyata Wagner lompat ke iman Kristen (Hardiman 2007, 259).
            Setelah patah arang dengan Wagner, mulailah tahap kedua dari riwayat intelektual Nietzsche. Pada tahap ini, dia menjadi kurang meminati seni dan lebih meminati filsafat dan ilmu, maka dia lebih menyukai Sokrates daripada filsuf-filsuf pra-Sokrates. Periode kedua ini sering disebut “periode positivistis”, sebuah sebutan yang tidak disepakati oleh semua sejarawan, dan karyanya yang menandai periode ini adalah Menschliches, Allzumenschliches (Manusiawi, Terlalu Manusiawi). Kemudian periode ketiga adalah suatu periode ketika Nietzsche menemukan kemandiriannya dalam berfilsafat. Selama periode terakhir inilah, kesehatannya juga memburuk dan dia menjadi sakit-sakitan. Begitu juga dia merasa semakin kesepian, sebab dia butuh teman yang bisa diajak bicara secara sejajar, tetapi banyak orang tak memahami pikiran-pikirannya. Selama periode ini dia berpindah-pindah dari Jerman, ke Italia, ke Swiss, dan sementara itu menghasilkan karya-karya pokoknya, seperti Also Sprach Zarathustra (Demikianlah Sabda Zarathustra), Der Antichrist (Sang Antikristus), Ecce Homo (Itulah Manusia), dan lain-lainnya. Dua buku terakhir itu tidak hanya dipenuhi sanjungan-sanjungan diri, tetapi juga ditulis untuk menghancurkan moralitas dan agama Kristen yang menurutnya menghisap darah manusia yang hidup (Hardiman 2007, 260).
            Ketegangan mental yang hebat dan semangat yang menggebu-gebu untuk menyanjung dirinya, di bulan Januari 1889, Nietzsche menjadi gila. Pada saat itu dia sempat menulis surat-surat ganjil kepada teman-temannya, misalnya dia memperkenalkan diri sebagai Ferdinan de Lesseps, atau sebagai “Yang Tersalib”, dan bahkan sebagai Allah sendiri. Meski demikian, dia masih mampu mengapresiasi musik dan karya sastra, dan tetap ramah tamah kepada tamunya. Pada masa kegilaannya ini, karya-karyanya menjadi termasyhur, tetapi dia sama sekali tak bisa menikmati kemasyhurannya. Saudarinya Elizabeth, dengan setia merawatnya sampai dia meninggal dunia di Weimar pada Agustus 1990 karena Pneumonia (Hardiman 2007, 261).
Aforisme
            Pemikiran Nietzsche dituangkan dalam bentuk aforisme-aforisme. Membaca aforisme tidaklah sulit, karena berupa kalimat-kalimat pendek yang mudah dibaca secara harafiah namun yang sulit adalah memahami maksud dari kalimat-kalimat itu. Dalam hal ini, Nietzsche adalah filsuf yang paling sulit dipahami sepanjang sejarah filsafat modern. Tulisan-tulisannya tidak membentuk sistem, melainkan mengandung pertentangan satu sama lain. (Hardiman 2007, 261).
            Pemakaian aforisme berhubungan dengan penolakan Nietzsche terhadap sistem. Alasannya adalah sebuah sistem berpikir harus didasarkan pada premis-premis, namun dalam rangka sistem itu, premis tersebut tak bisa dipersoalkan lagi. Dengan begitu asumsi-asumsi filosofis sang filsuf diandaikan begitu saja, seolah benar pada dirinya. Bagi Nietzsche, kebenaran mustahil dikemas dalam satu sistem. Sikap antisistem ini sama sekali tak berarti bahwa Nietzsche tidak menggunakan premis-premis. Dia menggunakannya tetapi tidak untuk menggiring para pembaca pada sebuah kesimpulan atau penyelesaian masalah, melainkan untuk mencari, menyelami, mengoyak asumsi-asumsi tersembunyi sebuah gagasan, termasuk pikirannya sendiri. Nietzsche bukan hanya “berfilsafat dengan gada”, yakni ingin menghancurkan apa-apa yang diandaikan begitu saja, tapi juga menjadi “pengajar kecurigaan” (Hardiman 2007, 262).
Moralitas Anti-Alam
            Ada masa ketika nafsu-nafsu merupakan kefatalan-kefatalan, ketika mereka menjerumuskan korban mereka ke tingkat yang rendah akibat kebodohan mereka, ada masa yang jauh kemudian, ketika nafsu-nafsu di“spiritualkan”. Tadinya orang memerangi nafsu itu sendiri karena kebodohan yang inheren dalam nafsu itu: orang berkonspirasi untuk mematikannya (Hadikusumo 2000, 55).
            Spiritualitas sensualitas itu disebut kasih. Ini merupakan kemenangan besar atas Kekristenan. Kemenangan selanjutnya adalah spiritualitas atas permusuhan. Ini merupakan cara memahami sedalam-dalamnya kegunaan memiliki musuh: secara singkat, ini adalah berbuat dan berpikir sebelumnya. Gereja selamanya menginginkan penghancuran musuh-musuhnya. Dalam politik pun, permusuhan telah menjadi jauh lebih spiritual, jauh lebih terarah, jauh lebih cermat, dan jauh lebih sabar. Hampir semua partai memahami bahwa demi kelangsungan hidup mereka maka partai oposisi harus tetap hidup dan kuat; demikian juga dalam perpolitikan tingkat tinggi (Hadikusumo 2000,56).
            Nietzsche merumuskan suatu asas. Semua naturalisme dalam moralitas, yaitu moralitas sehat, itu didominasi oleh suatu instink kehidupan, sebagian perintah kehidupan itu dipenuhi melalui aturan tertentu mengenai yang “boleh” dan “tidak boleh”. Dengan demikian, menghilangkan sebagian unsur-unsur yang menghambat dan melawan jalan kehidupan. Moralitas antialam adalah semua moralitas yang telah diajarkan hingga kini, diagungkan dan dikotbahkan, itu justru bertentangan dengan instink kehidupan. Moralitas kini merupakan pengutukan yang kadang terselubung, kadang keras, dan angkuh terhadap instink-instink ini. Dengan mengatakan bahwa “Tuhan bisa melihat sampai ke dalam hatimu”, maka moralitas mengingkari keinginan-keinginan hidup yang terdalam dan tertinggi dan menjadikan Tuhan musuh seumur hidup dan kehidupan berakhir pada saat Kerajaan Allah dimulai (Hadikusumo 2000, 58).
            Jika seseorang memahami kejahatan dari pemberontakan melawan kehidupan yang dalam moralitas Kristen telah menjadi sesuatu yang hampir suci, orang dengan demikian telah memahami sesuatu yang lain: kesia-siaan, kekhayalan, keabsurdan, dan kepalsuan pemberontakan seperti itu karena, pada akhirnya pengutukan atas kehidupan oleh mereka yang hidup tidak lain adalah satu gejala dari satu jenis kehidupan tertentu. Orang harus bertempat di luar kehidupan, dan di sisi lain harus mengetahui mengenai kehidupan itu sama mendalamnya dengan setiap, sebanyak, dan sema orang yang telah mengalaminya, sebelum diperbolehkan menyinggung masalah nilai kehidupan. Ini merupakan alasan yang cukup untuk memahami masalah ini bagi orang Kristen adalah masalah yang tidak terpecahkan. Ketika kita berbicara mengenai nilai-nilai, kita berbicara dengan inspirasi dan dari perspektif kehidupan. Kehidupan itu sendiri melakukan penilaian melalui kita bilamana kita telah menetapkan nilai-nilai tersebut. Dari sini diketahui bahwa bahkan moralitas antialam yang membayangkan Tuhan sebagai konsep yang berlawanan dengan dan sebagai kutukan terhadap kehidupan hanyalah merupakan satu pertimbangan nilai oleh kehidupan (Hadikusumo 2000, 59).
Disposisi Religius
            Jiwa manusia beserta batasannya; dimensi-dimensi kehidupan batin yang telah dicapai hingga saat ini, puncaknya, ngarainya, dan jauhnya, seluruh sejarah terdahulu tentang jiwa dan kemungkinan-kemungkinannya yang belum dijajagi bagi seorang psikolog sejati dan pecinta ‘perburuan besar’, inilah medan perburuan yang telah ditahbiskan sebelumnya. Untuk mengetahui dan membentuk sejarah masalah pengetahuan dan kesadaran dalam jiwa homines religiosi, misalnya kita perlu memiliki kesadaran yang mendalam, terluka, dan mengerikan seperti kesadaran intelektual Pascal. Sekali pun begitu kita masih memerlukan luasnya langit di atas sana dengan spiritualitas yang terang dan jahat untuk kita amati besarnya pengalaman-pengalaman yang berbahaya dan menyakitkan ini, untuk menatanya, dan kemudian merumuskannya (Winarno 2002,56).
            Keimanan yang diharuskan dan seringkali dicapai oleh Kekristenan awal di tengah-tengah kebebasan jiwa yang skeptis di belahan dunia selatan, di mana mazhab-mazhab filsafat tidak hanya berperang selama berabad-abad namun juga di mana kekaisaran romawi mendidik manusia menjadi toleran, tidak sama dengan keimanan naif dan rendah yang diyakini oleh Luther. Keimanan awal ini lebih mirip dengan keyakinan Pascal, sebuah keimanan yang memiliki aspek penalaran yang mengerikan, yang keras, tahan lama, seperti cacign tak dapat dibunuh sekaligus dengan satu pengorbanan, yakni pengorbanan atas kebebasan, kebanggaan, keyakinan diri spiritual; juga berarti penaklukan dan pencemoohan diri atau penggundulan diri. Jenis keimanan ini mengasumsikan bahwa kepatuhan jiwa pada dasarnya memang menyakitkan , bahwa sejarah masa lalu dan kebiasaan dari jenis jiwa seperti ini biasanya tahan terhadap absudissimum yang dihadapi oleh keimanan itu sendiri. Orang-orang zaman modern yang ditekan dan disesuaikan dengan bahasa Kristen, tidak lagi memiliki perasaan yang sangat baik., yang kesanggupan merasakannya terletak dalam paradoks rumusan yang sedemikian menakutkan, mempercayakan, dan dipertanyakan: yang disampaikan dalam bentuk re-evaluasi atas semua nilai lama (Winarno 2002, 57).
            Katolisisme tampaknya lebih terinternalisasi pada ras Latin dibandingkan semua bentuk Kekristenan diantara orang-orang utara; sebagai akibatnya, ketiadaan keimanan memiliki arti yang relatif berbeda di negara-negara Katolik dibandingkan negara-negara Protestan. Di negara Katolik ini berarti pemberontakan terhadap jiwa ras mereka, sementara bagi Nietzsche, ketiadaan keimanan lebih berarti kembali pada jiwa (atau ketiadaan jiwa) dari ras ini. Tidak diragukan lagi jika ras orang utara berasal dari ras barbar, bahkan dalam kaitannya dengan hadiah yang diberian pada agama (Winarno 2002, 59).
Refleksi dari Pemikiran Nietzsche
            Proyek Nietzsche ini bukanlah suatu kegilaan atau ketidakrasionalan. Ia memiliki logikanya sendiri yang sangat koheren dan pasti. Hal ini membuatnya bisa dikomunikasikan dan bisa diterima untuk mencapai tujuan anti-idealisme. Dalam buku “50 Filsuf Kontemporer”, pada bagian Nietzsche, dipaparkan kesulitan untuk menerima pemikiran Nietzsche ini.
            Pertama, jika kehendak untuk berkuasa itu adalah segalanya, mengapa Nietzsche ingin memberi penjelasan untuk itu? Mungkin ia akan menjawabnya dengan mengatakan bahwa ia tidak berupaya menjelaskannya, tetapi hanya memberi sebuah contoh tentang hal ini melalui gaya berfilsafat aforismenya. Meskipun demikian, tidak ada seorang pun pembaca karyanya yang tidak melihat pesan yang menyertai gayanya itu. Sudah tidak diragukan lagi bahwa sebagai pemikir, Nietzsche adalah seorang yang cukup unik. Ia tidak menulis puisi murni. Maka dari itu, teorinya harus dilihat sebagai gerakan dalam permainan filsafat; menolaknya berarti menolak satu dimensi penting dalam pemikiran Nietzsche. Di pihak lain, mengakuinya berarti mencurigai kemungkinan bahwa kita bertemu dengan seorang pemikir yang pemikirannya heterogen secara radikal (Admiranto 2001, 334).
            Kedua, anti-idealisme Nietzsche akan jatuh atau tetap bertahan berdasarkan kemungkinan bahwa suatu peristiwa bisa direduksikan pada suatu pemerian tentang hal itu; klaim semacam itu jelas akan dipertanyakan jika metafora ada dalam inti bahasa, sebagaimana pernah dikatakan penulis seperti Kristeva. Akhirnya, jika kita tidak ingin Nietzsche dikatakan sebagai “penolak” hidup, apakah itu berarti ia tidak boleh menerima bahwa hidup itu sebagian mensyaratkan adanya penolakan terhadap kehidupan itu sendiri, bahwa keinginan untuk melakukan ilusi bukan hanya berada dalam bentuk seni, melainkan juga dalam bentuk kehendak untuk mendapat kebahagiaan? (Admiranto 2001, 335)
Daftar Acuan
Admiranto, A. Gunawan (Terj.). 50 Filsuf Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Hadikusumo, Hartono (Terj.). Senjakala Berhala dan Anti-Krist Friederich Nietzsche. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Winarno, Basuki Heri (Terj.). Beyond Good and Evil- Friederich Nietzsche, Prelude Menuju Filsafat Masa Depan. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002.

No comments:

Post a Comment