Sejarah Singkat Berdirinya Gereja Kristen Pasundan
Pekabaran Injil di Tanah Pasundan
bukanlah pekerjaan yang mudah bagi para zendeling. Kraemer
mengungkapkan bahwa para zendeling kesulitan
melakukan pekabaran Injil di Tanah Pasundan. Bahkan Kraemer mengatakan tanah
Pasundan sebagai Nova Zembla Spiritual[1] (Kraemer
1958, 98). Beberapa hal yang menjadikan sulit bagi pekabaran Injil berkembang
di tanah Pasundan ini adalah karena para zendeling memakai “cara mereka” dan
tidak melihat bagaimana konteks masyarakat Sunda. Para zendeling tak tahu dan
mengacuhkan terminologi Sunda dan tentang cara orang Sunda
mengungkapkan/merumuskan problema-problema spriritual mereka. Namun, setelah
mereka sadar akan hal itu, pekabaran Injil gencar dilakukan di tanah Pasundan.
Pada awal abad ke-20 yakni sekitar tahun 1930, sudah ada
keinginan dari sebagian anggota Gereja di Jawa Barat untuk berdiri sendiri dan
tidak selalu berada dalam asuhan Zending. Pada tahun 1933, Prof. Dr. Hendrik
Kraemer ditugaskan untuk memeriksa keadaan Jemaat-jemaat Pasundan. Selama
hampir 4 bulan, ia mengunjungi Jemaat-jemaat Pasundan dan menarik sebuah
kesimpulan bahwa Jemaat Pasundan harus dibiarkan mandiri bagaimanapun
kondisinya, dan para zendeling bertugas mengawasi saja dari jauh. Sudah sekitar
70 tahun NZV mengasuh Jemaat Pasundan, namun mereka belum berani melepaskan
jemaat ini[2]. Namun Kraemer
tetap yakin bahwa Gereja Pasundan harus dilepas oleh NZV karena bagaimanapun
gereja-gereja muda harus berdiri sendiri agar potensi untuk berkembang muncul
dari gereja-gereja muda ini (Soejana 1974, 37-38).
Pada
hari Rabu, 14 November 1934 bertempat di gedung gereja jemaat Bandung,
dilakukan upacara peresmian Gereja Kristen Pasundan menjadi gereja yang berdiri
sendiri. Upacara peresmian ini disaksikan oeh utusan-utusan dari semua
jemaat-jemaat Pasundan, utusan-utusan Gereja-gereja lainnya yang ada di Bandung
dan para pendeta NZV yang ada di Jawa Barat dan diresmikan oleh Dr. N.A.C.
Slotemaker de Bruine, konsol zending yang bertindak selaku wakil pimpinan NZV
(Soejana 1974, 44). Dengan demikian, tanggal 14 November 1934 dijadikan tanggal
resmi berdirinya Sinode GKP yang bekerja dalam lingkup wilayah Jawa bagian
Barat.
GKP: Sebuah
Gereja Suku atau Teritorial?
Menarik
ketika banyak orang yang mengatakan GKP sebagai gereja suku Sunda, kemudian
disanggah oleh beberapa pihak yang mengatakan bahwa GKP adalah gereja
teritorial. Pertanyaan pun kadang muncul dari orang-orang yang baru mengenal
GKP, apakah GKP itu gereja suku? Kalau bukan gereja suku, mengapa GKP
menerbitkan buku Nyanyian Kidung Kabungahan yang berbahasa Sunda? Inilah
kejadian riil yang saya alami selama menjadi anggota GKP. Saya bukan bersuku
Sunda, namun saya adalah anggota jemaat GKP. Saya tidak bisa berbahasa Sunda,
namun saya adalah anggota jemaat GKP yang turut menyanyikan lagu Kidung
Kabungahan dalam ibadah.
Menarik
ketika pengalaman ini saya telusuri jejak sejarahnya. GKP yang wilayah
pekabaran Injilnya berada dalam aras
wilayah Jawa bagian Barat menyatakan diri sebagai gereja teritorial. Namun,
tidak dapat dipungkiri bahwa awal terbentuknya GKP karena panggilan pekabaran
Injil kepada pribumi Sunda. Kraemer melaporkan bahwa Albers, Grashius, dan Van
der Linden melakukan pekabaran Injil pertama kali ke tanah Pasundan setelah
pemerintah Belanda didesak Esser dan King karena mereka merasa berhutang budi
pada pribumi Sunda di Jawa Barat[3]
(Kraemer 1958, 97). Pekabaran Injil yang dilakukan di tanah Pasundan juga
melihat konteks orang Sunda, misalnya Anthing yang berusaha
mengkontekstualisasi Kekristenan dengan budaya Sunda. Anthing dalam lingkup
budaya Sunda mampu mempertahankan tradisi sunat dalam budaya Sunda sebagai
suatu ikatan persaudaraan dalam masyarakat Sunda atau biasa disebut Tali
Paranti. Selain itu, Anthing juga melakukan pekabaran Injil dengan memberikan mantra dan tembang menjadi alat untuk
pewartaan iman Kristen kepada penduduk pribumi Sunda (Dalope 2012) .
Pada
masa sekarang setelah GKP menjadi sebuah gereja yang mandiri pun, metode
pekabaran Injil a la Anthing masih dipertahankan. Misalnya penggunaan Kidung
Kabungahan dalam ibadah. Proses kontekstualisasi jaman Anthing masih digunakan
pada masa sekarang. Jika ditinjau lagi, penggunaan Kidung Kabungahan dinilai
tidak lagi efisien. Beberapa jemaat GKP di Jakarta yang sudah tidak tersentuh
dengan kebudayaan Sunda lagi. Mereka justru kesulitan menyanyikan lagu berlanggem dan berbahasa Sunda. Lagi,
anggota Jemaat GKP pun sudah banyak yang bukan orang Sunda atau orang yang
berbudaya Sunda. Proses kontekstualisasi jaman Anthing yang masih diterapkan
pada masa kini justru menjadikan GKP terlihat dualisme. GKP menyatakan diri
sebagai gereja teritorial dan gereja berbudaya Sunda. Jadi tidak heran apabila
ada orang-orang yang bertanya, apakah GKP merupakan gereja suku Sunda jika
kontekstualisasi Anthing ini masih dipertahankan utuh tanpa ada proses
kontekstualisasi masa sekarang.
GKP: Bertumbuh dan
Berkembang di Tengah Masyarakat Jawa Barat[4]
Sejak proses pekabaran Injil hingga terbentuk menjadi
sebuah sinode gereja, GKP diperhadapkan dengan situasi dan kondisi masyarakat
Jawa Barat. Mayoritas masyarakat Jawa Barat adalah etnis Sunda dan pemeluk
agama Islam. Pertautan Islam dengan masyarakat Sunda berlangsung sejak abad
ke-19. Jika orang berbicara mengenai masyarakat Sunda, maka salah satu cirinya
adalah Islam (Ayatrohaedi 1996, 96). Tali temali antara Islam dan ke-Sunda-an
telah melewati rentang waktu panjang. Kesadaran itu, kemudian dipertahankan dan
dikukuhkan ulang dalam musyawarah masyarakat Sunda pada tahun 1967, yang
menyatakan manunggalnya antara Sunda dan Islam (Ayatrohaedi 1996, 98). Islam
dengan demikian telah berhasil melakukan integrasi sosial ke orang Sunda. Namun,
jauh sebelum itu, pada masa pekabaran Injil di tanah Pasundan, orang Sunda
telah menganut sistem bahwa meninggalkan Islam sama dengan meninggalkan
kebudayaan mereka.
Lalu,
mengapa sampai orang Sunda memahami dan menganut sistem jika meninggalkan Islam
sama dengan meninggalkan kebudayaan mereka? Alasannya ialah, Islam telah
berhasil masuk ke stratifikasi sosial orang Sunda, dari lapisan terbawah sampai
ke atas, baik masyarakat agraris maupun urban, sehingga Islam menguasai batin
orang Sunda. Islam juga telah masuk jauh ke relung-relung institusional, antara
lain di bidang hukum, arsitektur bangunan, dan kesusasteraan Sunda. Islam juga
telah menjadi agama yang bersifat komunal, dan telah menyatu dengan sistem dan
struktur sosial. Pada akhirnya, Islam telah sampai pada taraf proses akulturasi
budaya yang efektif (Supriatno 2012).
Selain
masalah agama, orang Sunda juga dikenal dan dikategorikan orang yang memiliki
kepribadian ramah, santun, tutur katanya halus, rendah hati, bersifat komunal,
dan tidak ambisius. Orang Sunda juga memiliki kepribadian menghindari konflik,
tidak ambisius, tidak menyukai friksi dan sangat mengutamakan kehidupan penuh
kekeluargaan. Kepribadian orang Sunda yang seperti itu sangat dipengaruhi oleh
kultus harmoni yang dihayati orang Sunda (Supriatno 2012).
Selain
kepribadian orang Sunda, tanah Sunda pun memiliki rekam jejak sebagai wilayah
yang diminati menjadi tujuan untuk menetap dan menikah berbagai suku dan
berbagai bangsa. Mereka dapat diterima untuk mengintegrasikan dirinya ke
lingkungan masyarakat dan kultur orang Sunda. Bahkan beberapa orang diakui
sebagai tokoh Sunda karena mereka dinilai telah menghayati dan mempergunakan
nilai-nilai budaya Sunda, meski mereka bukanlah keturunan Sunda asli. Ini
menandakan inklusifnya orang Sunda atas kehadiran para pendatang dan terbuka
atas keragaman (Rosidi 1984, 11-13).
Sejarah
memang mencatat bahwa orang Sunda yang menerima kehadiran para zendeling memang
menggambarkan inklusifitas mereka, namun tidak tampak dari orang Sunda
keramah-tamahan dan keterbukaan mereka atas keragaman. Sebab ketika para
zendeling mendirikan sekolah-sekolah Kristen yang diperuntukkan untuk umum, sedikit sekali anak-anak Sunda yang datang, Jika mereka
datang dan kemudian memeluk agama Kristen karena pergaulannya dengan para
misionaris, maka sekolah itu akan dijauhi seperti orang menghindari wabah
(Kraemer 1958, 98). GKP yang memiliki latar belakang budaya Sunda, kini
menunjukkan inklusifitas dan keterbukaannya terhadap keberagaman suku. GKP
terbuka tidak hanya bagi suku Sunda saja. Dampak dari keterbukaan itu, kini GKP
menjadi gereja yang pluralistik dalam suku. Inilah yang membuat GKP semakin
kukuh dengan konsep gereja teritorial, yakni gereja yang melayani pekabaran
Injil di tanah Jawa Bagian Barat / Pasundan, bukan gereja yang melayani suku
Sunda / Pasundan.
Refleksi
GKP sebagai gereja yang telah mandiri selama 79 tahun
masih harus banyak belajar dari perjalanan panjang sejarah kemandirian mereka.
GKP lahir dan berkembang di daerah yang disebut tanah Pasundan. Masyarakat
Sunda yang terkenal inklusif dan ramah ternyata tak seperti yang dibayangkan.
Mereka justru menutup diri dengan kekristenan pada awalnya. Namun, bukan
merekalah yang salah. Mereka hanya mempertahankan tradisi mereka yang begitu
erat dan sarat akan nilai kekeluargaan, sementara Kekristenan yang ditampilkan
para zendeling pada awalnya sangat bersifat eksklusif dan tidak memperhatikan
nilai budaya Sunda. Beruntungnya, para zending Belanda masih memiliki Mr.
Anthing, orang yang mau belajar dan memahami kepribadian serta tradisi orang
Sunda sehingga Kekristenan bisa masuk dalam komunitas mereka. Dari pekabaran
Injil menurut Mr. Anthing inilah, GKP belajar sebuah kontekstualisasi teologi
Kekristenan.
Tak
terbayangkan apabila tidak ada sosok Anthing, mungkin GKP tidak akan pernah ada
di dalam sejarah gereja-gereja di Indonesia. Kontekstualisasi Anthing membuahkan
hasil yang cukup gemilang. Namun, GKP masih belum sadar bahwa mereka berkembang
bukan lagi di tanah Pasundan yang bersuku Sunda dan memahami budaya Sunda, yang
dulu Anthing dan rekan-rekannya hadapi. GKP tidak mengembangkan
kontekstualisasi yang dimulai oleh Anthing, tetapi hanya mengikuti saja.
Sehingga, ketika merumuskan identitasnya, GKP terjebak pada dualisme yang
saling bertentangan. Di satu sisi GKP ingin terbuka dan menerima seluruh suku
dan budaya yang ada untuk masuk ke dalam komunitasnya (inklusif), tetapi di
sisi lainnya GKP masih tetap mempertahankan pengembangan kebudayaan Sunda itu
(ekslusif) di tengah banyaknya anggota jemaat yang tidak lagi mengenal
kebudayaan Sunda. Agaknya GKP harus berkaca diri dan melihat apa yang harus
dilakukan agar tidak terjebak pada dualisme identitas seperti yang terjadi saat
ini. GKP harus berupaya mengembangkan teologi kontekstual Anthing sebab dunia
Pasundan yang dikenal oleh Anthing dahulu kala, kini sudah bergeser jauh akibat
perkembangan sosial politik.
Daftar Acuan
Ayatrohaedi. Bahasa Sunda di Daerah Cirebon. Jakarta:
Balai Pustaka, 1996.
Dalope, Leornard Bayu L.
“Menggali Teologi Lokal: Sebuah Kisah dari Jemaat Anthing.” Dalam Identitas
GKP di Tengah Kepelbagaian, oleh Hariman Andrey Pattianakotta, 41-47. Jakarta: Binalitbang GKP Tanah Tinggi,
2012.
Kraemer, Hendrik. From Missionfield to Independent Church. Boekencentrum
– The Hague, 1958.
Rosidi, Ayip. Manusia Sunda. Jakarta: Idayu Press,
1984.
Soejana, Koernia Atje. Benih Yang Tumbuh II. Salatiga:
Percetakan Universitas Kristen “Satya
Wacana”, 1974.
Supriatno. “Pergulatan
Gereja Kristen Pasundan di Tengah Masyarakat Jawa Barat: Sebuah Catatan Reflektif.” Dalam Identitas GKP di Tengah Kepelbagaian,
oleh Hariman Andrey Pattianakotta,
98-136. Jakarta: Binalitbang GKP Tanah Tinggi, 2012.
[1] Nova
Zembla adalah padang pasir yang tandus. Maksud Kraemer adalah tanah Pasundan
diumpamakan sebagai wilayah yang secara spiritual tandus dan kosong.
[2] Salah
satu penyebabnya ialah mentalitas anggota jemaat yang masih suka dipimpin oleh
para Zendeling Barat. Kraemer mengungkapkan bahwa bila guru-guru (Guru
Injil-pemimpin pribumi) diizinkan untuk melayani sakramen, anggota jemaat tidak
akan berkata, “Lihatlah, betapa nilai guru kita menjadi naik”, tetapi:
“Lihatlah, betapa nilai sakramen menjadi turun. Kita tetap meminta seorang
pendeta (Pendeta kulit putih)” (Soejana 1975, 37).
[3] Jawa
Barat yang dimaksudkan bukanlah Provinsi Jawa Barat pada masa sekarang, tetapi
Jawa bagian Barat yang mencakup Jakarta dan Banten.
[4] Jawa
Barat yang dimaksudkan bukanlah provinsi Jawa Barat sekarang ini, tetapi
wilayah pada saat pekabaran Injil dahulu.
http://www.tokobagus.com/iklan/alkitab-sutji-kuno-terbitan-amsterdam-tahun-1891-51252755.html
ReplyDeleteSyalom...
ReplyDeleteMencoba untuk berdiskusi bersama penulis, Saya kira tidak masalah "mempertahankan" budaya Sunda. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini anggota Jemaat GKP sudah banyak yang bukan suku Sunda. Tapi apakah bisa dibilang sudah tidak pas lagi untuk “Nyunda” (berbudaya Sunda). Saya mengenal beberapa Jemaat yang notabene bukan suku Sunda (Batak, Jawa bahkan ada yang dari Ambon) tetapi kemampuan berbahasa Sunda-nya jauh lebih baik daripada Saya yang keturunan Sunda-Jawa, yang lahir besar di tanah Sunda. Tidak cuma dalam hal bahasa, dalam bidang seni pun Jemaat-jemaat ini termasuk yang "Sunda banget".
Saat ini di Jemaat Bandung (saya anggota Jemaat Bandung) kebaktian bahasa Sunda hanya ada 1x dalam satu bulan, jadi tidak selalu berkebaktian dengan bahasa Sunda bukan? Jika dibandingkan dengan era sampai tahun 2000-an awal, dimana kebaktian bahasa Sunda dilakukan tiap minggu (jadwal kebaktian ke-2) maka proporsinya sudah jauh berkurang bukan? Jika Penulis dalam kajiannya diatas menyebutkan bahwa Jemaat GKP sudah banyak yang diluar suku Sunda dan tidak mengerti budaya Sunda, bagaimana dengan Jemaat yang sehari-harinya "Sunda banget"? Termasuk nenek buyut saya yang jauh lebih fasih berbicara dengan bahasa Sunda daripada bahasa Indonesia?
Dan juga jangan dilupakan, bahwasanya kegiatan PI juga saat ini masih dilakukan di daerah-daerah pelosok yang bisa dikatakan "Sunda banget".
Dualisme? Saya rasa memang begitu. Menurut saya, GKP adalah Gereja teritorial yang terbeban, berkeinginan untuk melestarikan budaya Sunda. Bukankah itu sesuatu hal yang indah? Sambil memuji dan memuliakan Tuhan kita turut melestarikan budaya yang hampir hilang ditelan jaman.
Menurut Saya dalam konteks budaya Sunda ini, masalahnya adalah bagaimana GKP bisa membuat budaya Sunda diterima untuk diaplikasikan dalam kegiatan ber-Gereja, membuat GKP menjadi lebih "modern" tanpa meninggalkan budaya Sunda itu sendiri.
Syalom bung..
DeleteTerima kasih atas responsnya dan ini yg saya tunggu karena saya jg mau dengar pendapat warga jemaat GKP jg.. maaf baru sempat membalas komentar bung..
Pada dasarnya saya tidak menolak budaya sunda masih tetap dipertahankan dlm tubuh GKP.. yg menjadi kekhawatiran saya ialah bagaimana dgn jemaat non-Sunda yg tdk mengerti bahasa dan kebudayaan Sunda? Terkhusus yg ada di wil. Jakarta.
Saya setuju dgn pendapat anda bahwa GKP terbeban untuk melestarikan budaya Sunda. GKP beda dgn gereja teritorial yg lain yg ada di Indonesia, misalnya GPM (Gereja Protestan Maluku) atau gereja lainnya. GKP hadir di daerah Jawa bagian Barat. GKP hadir di 3 provinsi, Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.. maksud dan tujuan penulisan ini bukan semata2 menolak kebudayaan Sunda yg dilestarikan GKP, tetapi mari kita jg meperhatikan budaya lainnya yg ada di GKP. Memang akan terasa bila bung jg berjemaat di GKP yg ada di Jakarta. Ketika kidung kabungahan dilantunkan, berapa org yg bisa mengucapkan lafalnya dgn benar? Bahkan pernah di jemaat tempat saya berjemaat (GKP Tanah Tinggi), dalam suatu hari Minggu, ada lagu dari kidung kabungahan yg harus dinyanyikan, tetapi suasana hening, hanya 1-2 org saja yg bernyanyi dan berani belajar menyanyikannya.
Sekali lagi, saya tidak bermaksud menolak itu semua. Saya sangat menghargai warisan budaya yang GKP miliki, yakni budaya Sunda. Dan keinginan terbesar sy adalah belajar budaya dan berbahasa Sunda, sebab sebagian besar GKP ada di tanah Sunda. Benar statemen bung yg mengatakan bahwa byk jemaat yg non-Sunda tetapi fasih berbahasa Sunda dan berbudaya Sunda. Sy jg menemuinya di jemaat Ciwidey. Yg sy maksudkan adalah, mari kita melihat budaya lain yg ada di GKP. Sunda mungkin sudah menjadi ciri khas GKP, tetapi jgn sampai itu menjadi beban bagi warga jemaat GKP yg tdk bs berbahasa Sunda dan tdk mengenal budaya Sunda.
Terima kasih utk responsnya, jika ada komentar dan tulisan saya yg tdk berkenan mohon maaf dan mohon koreksi, sebab sy hanya manusia yg jg memiliki keterbatasn, termasuk Informasi.
Salam
Menarik memang tulisan ini, tapi GKP memang bukan gereja suku melainkan gereja teritorial. Pada awalnya pun demikian, karena memang ketika berdiri sendiri terlepas dari NZV pada Sidang Rad Agengnya, ada banyak orang dari suku lain yang menjadi bagian dari kesepakatan bersinodal. Kenapa ada banyak orang Sunda? Ya, karena memang ada di Tanah Sunda, wajarlah jika memang kita lebih dekat dengan budaya Sunda.
ReplyDeleteini membuka peluang bukan hanya pada PI tapi juga dalam interaksi dengan masyarakat. Karakter orang Sunda adalah ramah dan luwes tapi juga kadang keukeuh, nyirian ( susah lupa sama yang jelek-jelek dari orang lain), pundung (gampang marah), dan mudah menyerah. Ini ditulis oleh Andreas Bintara dalam bukunya Sejarah Perjumpaan Kekristenan dengan Budaya Masyarakat ketika menyinggung komunitas Paguyuban Pasundan. Karena itu, orang Sunda yang kristen (termasuk saya yang eyang kakungnya orang Jogja tapi kakek nenek dari papa berasal dari Cikembar-Gunung Putri-Cirebon) harus terus belajar merefleksikan kekristenannya dalam kultur Sunda yang dipegang. Menjadi Sunda bukan berarti mesti meninggalkan iman. Beriman bukan berarti kehilangan loyalitas dan orisinalitas budaya. (khususnya yang bagus dan sesuai Alkitab).
Jadi, apa GKP gereja suku? Ah...bukan tuh...ini gereja wilayah. Gereja yang isinya adalah orang-orang Kristen yang sadar betul di mana mereka tinggal dan berusaha menyadari bahwa Tanah Sunda itu, yang begitu, seperti yang tergambar dalam logo GKP
bagi saya GKP bukan gereja suku karena lebih ke teritorial yang ber-area di jawa bagian barat. Saya kebetulan dilahirkan dan dibesarkan di bandung dengan kultur sunda yang kental, walau sejauh ini gereja sendiri (GKP) belum secara kental mempengaruhi saya secara sunda. Namun tidak ada yang salah dengan teritorial ataupun suku bagi saya kedua nya punya sisi positif yang bisa kita sharingkan dengan orang sekitar kita. Yang terpenting sudahkah kita sebagai orang kristen menjalankan ajaran Kristus hingga orang disekitar kita bisa merasakan kasih yang sudah Tuhan berikan lebih dulu pada kita.
ReplyDeleteKita kadang sibuk memperdebatkan sesuatu yang kurang essensial. menurut saya ketika kita bahas GKP itu gereja suku atau gereja teritorial, sama seperti sedang membahas pendeta kalau mau khotbah naik ke mimbar dari kiri atau kanan? atau pendeta harus pakai pin salib di kiri atau dikanan? saya rasa bukan itu yang penting.
terima kasih
https://www.youtube.com/watch?v=fal2VCS_wRc
ReplyDeletehttps://www.youtube.com/watch?v=llIm61aJ7F4
ReplyDelete